Friday, September 18, 2009

JAGA BHINNEKA TUNGGAL IKA - TOLAK RUU PORNOGRAFI

JAGA BHINNEKA TUNGGAL IKA - TOLAK RUU PORNOGRAFI

Thursday, September 17, 2009

Materi/Naskah RUU APP 2006 & RUUP 2008

*** Silahkan download materi/naskah yang terkait dengan RUU APP 2006 dan RUUP 2008 dalam format PDF dan PPS di situs berikut ini.

Tuesday, October 21, 2008

AKSI HENING MENOLAK RUU PORNO, BALI 23/10/2008

Kerabat Puspawarna,

Kumpulan manusia jaman batu, picik lagi misoginis, di DPR---yang konon mewakili suara rakyat---teguh bersikeras menggolkan RUU Tentang Pornografi (RUU TP). Padahal penolakan keras muncul dari berbagai daerah di Indonesia (yang bukan saja sekadar memprotes, tapi juga mengancam, this ain't no joke, memisahkan diri dari Indonesia).

Argumen-argumen penolakan nan cerdas-tajam-komperehensif yang disampaikan langsung oleh berbagai elemen masyarakat di Bali kepada anggota Panitia Khusus RUU TP saat uji publik pada 13 Oktober di gedung DPRD Bali ternyata cuma dianggap angin lalu. Kabar terakhir menyebutkan bahwa RUU TP kemungkinan besar akan masuk ke rapat paripurna pada 30 Oktober 2008 yang artinya sebentar lagi RUU ini bakal naik kelas menjadi Undang Undang.

Whew, seandainya saja anda hadir menyaksikan seberapa mencla-mencle anggota panitia tersebut membeberkan alasan pembenarannya. Ketauan banget kualitas personel Pansus tersebut. Entah memang dungu bin tolol atau pura-pura dungu. Argumen-argumennya semata normatif, mbulet, bisanya cuman bilang "RUU ini untuk memberantas maraknya pornografi" dan sejenisnya tanpa fondasi argumen yang kuat apalagi runcing. Saya sendiri sampai heran, kenapa homo sapien bodoh-bebal macam mereka bisa mendapat tempat sebegitu terhormat.

Malah ada salah satu anggotanya adalah seorang wanita yang bergelar profesor tapi kok bisa gak tau jika RUU TP ini sampai tembus justru kaumnyalah yang bakal jadi korban paling maksimum.

Coba deh baca ulang lagi kesimpulan ringkas-padat kenapa RUU TP harus ditolak:
1) Definisi “Pornografi” pada RUU Pornografi sangat luas, setiap orang bisa menjadi tersangka dan setiap perbuatan bisa dituduh sebagai tindakan pornografi.
“Pasal Karet” pasti merugikan rakyat!
2) RUU Tentang Pornografi didasarkan pada standar moral dan kepercayaan satu kelompok masyarakat tertentu saja. Artinya: RUU Tentang Pornografi tidak menghormati keragaman budaya dan kepercayaan yang ada di Indonesia.
RUU Tentang Pornografi mengkhianati Bhinneka Tunggal Ika!
3) RUU Tentang Pornografi melecehkan kaum perempuan karena memandang mereka semata-mata sebagai mahluk yang membangkitkan nafsu seksual.
Lawan RUU Pornografi yang menistakan Ibu dan saudara perempuan kita!
4) RUU Tentang Pornografi berpeluang memicu disintegrasi bangsa. Tidak ada satupun suku di Indonesia yang mau direndahkan kebudayaannnya sebagai kebudayaan porno. Lawan RUU Pornografi yang tidak menghormati kebudayaan nusantara!

Jadi jangan pernah menyerah. Jangan mau dikibuli oleh manusia-manusia gua Penegak Keadilan Seksual.

Ayo kita bergerak lagi, lawan lagi kesewenangan ini, berperansertalah di aksi damai;
Hari/Tanggal/Jam: Kamis, 23 Oktober 2008, 15.00
Tempat: Pantai Sanur (Dunkin Donuts terus lurus)
Pakaian: Putih, bawa bendera/pita merah putih
Agenda: panggung budaya, penyebaran leaflet, pemasangan spanduk-spanduk penolakan

NB: Untuk aksi kali ini akan minim orasi. Lebih banyak berupa gerakan penyadaran ke masyarakat luas seberapa berbahayanya RUU TP ini. Pula, beberapa hari lalu kami dari Komponen Rakyat Bali mulai menyuarakan isu ini ke dunia internasional---ya udah, sekalian aja dah kita angkat ke publik mancanegara. Oleh sebuah rumah produksi Australia, selain telah diwawancara langsung, peraturan kacrut anti pluralisme ini akan diberi ruang cukup lega di sebuah acara televisi (kemungkinan stasiunnya ABC Australia) berupa "feature" sepanjang 10 menit.

Furthermore, tokoh-tokoh pluralis lain macam Anand Khrisna, Guntur Romli, dsb, juga sudah banyak berbagi cerita di sebuah diskusi di Ubud Writers Festival yang dihadiri oleh puluhan orang dari berbagai negara. Oh, pemilihan lokasi aksi di Sanur juga bertujuan menggaet perhatian masyarakat global sebab kebetulan di tempat tersebut sedang berlangsung Asian Beach Games. Semoga gerakan perlawanan ini mendapat atensi besar dari dunia internasional---dan berujung baik, tentu saja. Kita lihat saja nanti.

Merdeka Menjadi Bianglala,
RUDOLF DETHU
Relawan Komponen Rakyat Bali

Serentak Kita Tolak RUU PORNO - 23/10/2008

Anda termasuk orang yang peduli dengan perlindungan anak dan perempuankorban pornografi?

Apakah anda merupakan warga Indonesia yang berpegang pada falsafahPancasila dan UUD 1945?

Apakah anda pecinta seni, budaya dan warisan leluhur bangsa Indonesia?

Apabila anda termasuk didalamnya, maka bergabunglah dalam aksi:
Pada 23 Oktober 2008 pukul 12.00 WIB
Massa Aksi Berkumpul di Taman Ria Senayan Jl.Gatot Soebroto
RUTE : DARI TAMAN RIA LONG MARCH KE GEDUNG DPR
DRESSCODE : PAKAIAN TRADISIONAL

Mari Bersama-sama Serukan Penolakan Ini Demi Terciptanya Indonesiayang Adil dan Beradab.

Contact person : Umi, Jo dan LBH APIK Jakarta (021-87797289)

Tuesday, October 14, 2008

Free Special Event: A “Pornographic” Discussion

Free Special Event

A “Pornographic” Discussion

“In 2006, Indonesia’s House of Representatives introduced a draft of legislation: Anti Pornography Bill. The bill soon drew a nation-wide opposition from various rights groups. The House eventually postponed the bill. On July 2008, the revised form of the bill re-surfaced on the House’s floor under a new name; Pornography Bill. A similar wave of rejection takes place in every corners of the nation. This time, the pro-bill legislators apparently will prevail…”

Join the leaders of the Bali’s People Component (KRB), the loose coalition of artists, intellectuals and activists that spearheads the opposition against the bill in Bali. Discuss various “off the record” aspects behind the bill and how the bill would trample upon individual rights for cultural, religious and artistic freedom, not to mention the right for privacy!. Share your thoughts and give your support to the cause.

Place: Neka Art Museum
Time: 01.00 PM-end
Admission: Free

Friday, October 10, 2008

JAGA BHINNEKA TUNGGAL IKA, TOLAK RUU PORNOGRAFI !


JAGA BHINNEKA TUNGGAL IKA, TOLAK RUU PORNOGRAFI !

Kenapa Menolak?

1) Definisi “Pornografi” pada RUU Pornografi sangat luas, setiap orang bisa menjadi tersangka dan setiap perbuatan bisa dituduh sebagai tindakan pornografi. “Pasal Karet” pasti merugikan rakyat!
2) RUU Pornografi didasarkan pada standar moral dan kepercayaan satu kelompok masyarakat tertentu saja. Artinya: RUU Pornografi tidak menghormati keragaman budaya dan kepercayaan yang ada di Indonesia. RUU Pornografi menghianati Bhinneka Tunggal Ika!
3) RUU Pornografi melecehkan kaum perempuan karena memandang mereka semata-mata sebagai mahluk yang membangkitkan nafsu seksual. Lawan RUU Pornografi yang menistakan Ibu dan saudara perempuan kita!
4) RUU Pornografi berpeluang memicu disintegrasi bangsa. Tidak ada satupun suku di Indonesia yang mau direndahkan kebudayaannnya sebagai kebudayaan porno. Lawan RUU Pornografi yang tidak menghormati kebudayaan nusantara!

Apa yang bisa kawan-kawan lakukan?

1) Ikut turun ke jalan mengikuti setiap aksi budaya yang dilakukan Komponen Rakyat Bali (KRB). Tunjukkan perlawanan Bali yang damai, santun dan indah!
2) Hubungi kerabat yang menjadi pejabat atau anggota Dewan, minta mereka untuk menyuarakan penolakan pada RUU Pornografi.
3) Kibarkan bendera Merah Putih di depan rumah sebagai tanda setia pada Indonesia, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
4) Kibarkan bendera menolak RUU Pornografi di Bale Banjar masing-masing.
5) Kirim SMS “Atas nama Pancasila, Kami menolak RUU Pornografi” ke:
Presiden RI : 9949
Balkan Kaplale (Ketua Pansus RUU Pornografi DPR RI) 081383891001


Mari Berjuang Untuk Bhinneka Tunggal Ika!

KOMPONEN RAKYAT BALI
Jalan Tukad Citarum 999X, Panjer, Denpasar
http://jiwamerdeka.blogspot.com/

Sunday, September 28, 2008

Ulysses

Ulysses

ADA seorang perempuan yang mudah dilupakan dunia tapi seharusnya tak dilupakan kesusastraan. Namanya Margaret Anderson.

Ia lahir pada 1886 di Indianapolis, Amerika Serikat, di sebuah keluarga yang berada, dengan seorang ibu yang hampir setiap tahun tergerak untuk pindah ke rumah baru—dengan mebel, taplak, gorden, dan lukisan dinding baru.

Margaret tak seperti ibunya, tapi ia punya keresahannya sendiri.

Pada suatu malam, ketika ia berumur 21 tahun, setelah seharian merasa murung, ia terbangun dari tidur. ”Pikiran persis pertama: aku tahu kenapa aku murung,” demikianlah tulisnya, mengenang. ”Tak ada yang bersemangat yang terjadi—nothing inspired is going on. Kedua: aku menuntut hidup harus bersemangat tiap saat. Ketiga: satu-satunya cara untuk menjamin itu adalah mendapatkan percakapan yang bersemangat tiap saat. Keempat: kebanyakan orang tak bisa jauh dalam percakapan….” Akhirnya kelima: ”Kalau aku punya sebuah majalah, aku akan dapat mengisi waktu dengan percakapan yang terbagus yang bisa disajikan dunia….”

Syahdan, pada umur 28 tahun, ketika ia sudah lumayan dikenal sebagai penulis resensi buku di beberapa media, di Chicago, Margaret menerbitkan majalah The Little Review. ”Omong-omong tentang seni”, itulah semboyannya.

Tapi tentu saja tak sembarang omong-omong. Nomor pertama majalah kecil itu berbicara soal Nietzsche, feminisme, dan psikoanalisis— hal-hal yang bisa menyentakkan orang Amerika dari tidur borjuis mereka yang tertib dan taklid.
Seperti lazimnya majalah seni dan sastra, The Little Review tak laku. Juga sulit mendapat sponsor. Margaret kehabisan uang, diusir dari rumah sewaannya, dan harus menutup kantor majalahnya. Tapi ia tetap menginginkan percakapan yang bersemangat, dan ketika ia ketemu Jane Heap, seorang seniman yang aktif dalam gerakan seni rupa baru Chicago , cita-citanya bangkit lagi. Kedua perempuan itu, yang kemudian berpacaran, meneruskan The Little Review dengan memindahkannya ke New York . Seraya membuka toko buku di Washington Square, di sudut kota tempat inspirasi tak mudah mati itu, kedua perempuan itu membuat sejarah.

The Little Review memuat karya para sastrawan yang kemudian jadi percakapan seluruh dunia: T.S. Eliot, Hemingway, Amy Lowell, Francis Picabia, Sandburg, Gertrude Stein…. Sejak awal, Ezra Pound jadi penasihat dan koresponden majalah itu di London, dan dari Eropa André Breton dan Jean Cocteau mengirimkan tulisan mereka.

Juga: James Joyce, dengan Ulysses-nya.

Tapi sejarah sastra tak pernah mudah, terutama di masa ketika modernisme bersedia membenturkan diri menghadapi apa yang ”normal”—yakni segala hal yang ukurannya dibentuk oleh tata sosial yang ada, oleh bahasa yang diwariskan, dan oleh ketakutan terhadap yang tak pasti, yang tak jelas, yang beda. Sejarah sastra memang jadi berarti ketika sastrawan dan karyanya tak memilih kenyamanan yang ditentukan oleh kelaziman sosial.

Margaret membuktikan itu dengan dirinya—sejak ia, dalam ketiadaan uang, berani hidup di bawah tenda yang didirikannya sendiri di tepi Danau Michigan , sampai dengan ketika ia berani menerbitkan Ulysses, dalam bentuk cerita bersambung sejak 1918.

Joyce baru merampungkan karya besarnya yang setebal 732 halaman ini pada akhir Oktober 1921. Sengaja disandingkan dengan epos Yunani kuno karya Homeros, Ulysses tak berkisah tentang para pahlawan, melainkan tentang kehidupan sehari-hari Kota Dublin, Irlandia, dengan dua tokoh yang berbeda, Stephen Daedalus dan Leopold Bloom.

Novel yang terdiri atas tiga bagian besar dengan 18 episode ini tak mudah dibaca, meskipun tiap bagian memukau, liris, juga ketika ”arus kesadaran” sang tokoh merasuk ke dalam paragraf seakan-akan puisi yang meracau. Joyce sendiri mengatakan—mungkin serius, mungkin main-main—bahwa ke dalam Ulysses ia memasukkan ”begitu banyak teka-teki dan enigma hingga para profesor akan berabad-abad sibuk berdebat tentang apa yang saya maksud”.

Tapi di dunia ini ada para profesor, atau para peminat sastra yang bersungguh-sungguh yang menemukan kenikmatan dan kearifan dalam percakapan (”percakapan yang bersemangat,” kata Margaret Anderson), dan ada orang yang tak begitu berminat meskipun teramat bersungguh-sungguh: para sensor.

Dalam Ulysses sang sensor merasa menemukan ”pornografi”. Pada 1920, orang-orang yang merasa diri bermoral dan saleh yang bergabung dalam ”The New York Society for the Suppression of Vice” berhasil memenangkan dakwaannya di pengadilan, dan hakim menyetop The Little Review memuat novel itu.

Majalah itu disita. Margaret Anderson dan Jane Heap dihukum sebagai penyebar kecabulan. Masing-masing didenda $ 100. The Little Review yang miskin dana itu pun kehilangan masa depan. Akhirnya kedua perempuan itu memutuskan untuk meninggalkan Amerika—di mana kekuasaan uang dan ”moralitas” dipergunakan untuk mengimpit mereka yang berbeda—dan melanjutkan The Little Review di Eropa. Ulysses juga telantar. Tak ada penerbit baik di Amerika maupun di Inggris yang mau mencetak dan menyebarkan novel itu. Baru pada 1931, di Paris, seorang perempuan lain, Sylvia Beach, berani melakukannya, diam-diam dari toko bukunya yang sampai kini tak mentereng di tepi Sungai Seine, Shakespeare and Co”.

Sejak itu, zaman berubah, juga ”moralitas” dan kecemasan. Pada 1933, hakim John M. Woolsey mengizinkan novel itu beredar. Porno? Merangsang? Hakim itu telah membacanya dan ia mengatakan bahwa ia, bersama dua orang temannya, tak bangkit syahwatnya karena Ulysses.

Pada akhirnya seorang lelaki bisa mengerti kearifan yang dibawa Margaret Anderson, Jane Heap, dan Sylvia Beach: ”moralitas” itu hanya bangunan kekuasaan mereka yang waswas akan libido diri sendiri.

Goenawan Mohamad
32/XXXVII 29 September 2008

Thursday, September 25, 2008

Rezim Ngeyel

Teman-teman semua, kita berhadapan dengan REZIM NGEYEL.

Kemarin saya mengikuti pertemuan menolak RUU Pornografi yg diadakan LBH APIK di Jakarta Media Center (25 September 2008). Kesimpulan sementara saya melihat reaksi teman-teman dari berbagai daerah seperti ini: Suara penolakan merata di kalangan aktivis, tapi tidak terformulasi secara strategis.

Pansus DPR RI urusan porno (Balkan dkk) adalah kelompok yg tidak menghargai demokrasi. Di salah satu stasiun TV Balkan bilang: "Kalau tentara punya senjata, kami punya voting!".

Balkan pendekatannya terhadap demokrasi sangat struktural (50%+1 suara), sementara bangsa ini ada (kepulauan di Nusantara mau bersatu) karena konsensus berdasar substansi. Cara pikir Balkan dkk mengancam NKRI. Sesungguhnya karena berbagai persoalan yang dihadapi Papua (terhina karena standarisasi Ujian Nasional, RUUP, kerusakan lingkungan, pembagian kekayaan alam yg tidak adil antara pusat-daerah, kasus HAM dkk) --dengan meminjam logika Balkanisasi -- maka Papua bisa pisah dari Indonesia dengan 50%+1 suara rakyat Papua. Balkan ketok palu, Papuan kibar bendera. Begitulah kalau pola Balkan diterapkan dalam melihat demokrasi.

Kalau Sumpah Pemuda adalah cikalbakal kebulatan tekad pembentukan NKRI, maka proses RUUP yang diketuai Balkan akan menjadi cikal bakal lahirnya keinginan merdeka berbagai suku bangsa. Kelompok Balkanisasi hanya melihat demokrasi adalah role of majority (yang arogan), mereka abai kalau demokrasi mengamanatkan kita to learn how to live together (in harmony).

Balkan dkk memberi contoh (BURUK): "Kalau di Senayan bisa memaksa voting, kenapa di daerah (yang tertindas atau beda kultural) tidak direferendum?" Rakyat kebanyakan akan semakin membenci Jakarta (Senayan/center gov), dan akibatnya: Mereka akan mencari alternatif pemecahannya (termasuk politik pemisahan). Permintaan Otsus (Otonomi Khusus) dari berbagai daerah (termasuk Bali) tidak lain ungkapan yang terbungkus, kalau saya membaca pesan dibalik Otsu secara terbuka penjelasannya seperti ini: "Kami sebenarnya tak begitu suka Indonesia, tapi karena tak enak saja pisah dari Indonesia, sudahlah.. beri kami Otsus."

Dulu Jogja memang memperjuangkan Otsus karena alasan keunikan kultural, tapi sekarang perjuangan mendapat Otsus adalah keinginan merdeka yang diperlunak.

Munculnya anggota DPR RI semacam Balkan dkk (Balkanisasi) mengganggu kehidupan kita berbangsa. Saya ngeri membayangkan nasib bangsa ini.

Salam Bhinneka Tunggal Ika,
Sugi Lanus
Spokesperson Komponen Rakyat Bali

Wednesday, September 24, 2008

Elemen Masyarakat Jabar Tolak RUU Pornografi

Rabu, 24 September 2008 00:17 WIB
BANDUNG, KOMPAS - Berbagai elemen masyarakat Jawa Barat yang tergabung dalam Koalisi Organisasi Non-Pemerintah Jabar menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Pornografi, Selasa (23/9) di Bandung. Mereka menyikapi RUU itu sebagai upaya penyeragaman kultur dan pluralitas bangsa Indonesia.

Direktur Institut Perempuan Ellin Rozana mengatakan, definisi pornografi sebagai materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, gambar, kartun, syair, percakapan, ataupun media komunikasi lain yang dapat membangkitkan hasrat seksual menimbulkan ambiguitas pemahaman.

”Tidak ada batasan jelas tentang materi apa yang bisa digolongkan sebagai materi seksualitas, serta sejauh mana hal itu dapat merangsang hasrat seksual,” kata Ellin.

Definisi dan pemahaman tentang pornografi, kata Ellin, pada dasarnya bersifat subyektif dan amat dipengaruhi oleh konteks sosial dan kultur tempat seseorang tinggal dan dibesarkan. Membuat satu definisi yang paten tentang pornografi ialah upaya penyeragaman.

Pasal 8 RUU Pornografi juga dinilai tidak berempati terhadap perempuan sebagai korban industri seksual. Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi obyek atau model yang mengandung pornografi.

”Perempuan yang menjadi obyek industri seksual adalah korban ketidakmampuan ekonomi, keterbatasan pemahaman, serta terjebak dalam konstruksi budaya patriarki yang kerap kali menjadikan tubuh mereka sebagai komoditas. Karena itu, menghukum mereka sama artinya menjatuhkan hukuman ganda,” ujar Ellin.

Ketua Forum Aktivis Bandung (FAB) Radhar Tribaskoro mengatakan, penolakan terhadap RUU Pornografi tidak berarti pembelaan terhadap pornografi.

Sedangkan Ketua Kelompok Peduli Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KP3A) Ani Herningsih mengatakan, RUU itu berpotensi memicu tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. Sebab, Pasal 21 menyebutkan masyarakat dapat berperan serta mencegah penggunaan dan penyebarluasan pornografi.

”Hal ini bisa memicu sweeping dan pembakaran kaset atau majalah pornografi oleh oknum sipil,” katanya.

Di Bali, sekitar 3.000 warga Pulau Bali kembali turun ke jalan di Denpasar, Selasa. Mereka menegaskan sikap untuk menolak keberadaan dan pembahasan RUU Pornografi karena RUU itu dinilai mencederai keberagaman Indonesia.

Untuk semua
Di Pontianak, seperti dilaporkan Antara, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Kalimantan Barat berunjuk rasa di Tugu Degulis Universitas Tanjungpura, Selasa, mendukung pengesahan RUU Pornografi.
Ketua FSLDK Kalbar Deky Mulyadi mengatakan, RUU Pornografi tidak punya kepentingan terhadap agama maupun golongan tertentu. ”RUU Pornografi untuk semua umat beragama,” katanya.

Menurut dia, rancangan undang-undang tersebut merupakan langkah awal membentuk moralitas masyarakat Indonesia yang lebih baik.

Ia menambahkan, dukungan FSLDK Kalbar terhadap RUU Pornografi karena RUU itu tidak membatasi seseorang dalam berkarya atau berkreasi seni. RUU itu juga dinilai tidak bermaksud menempatkan perempuan sebagai obyek kriminalisasi. ”Rancangan undang-undang ini mempunyai sanksi lebih jelas dan tegas untuk memberikan efek jera,” kata Deky. (REK/BEN)

Tuesday, September 23, 2008

Kertas Posisi: Catatan Singkat Atas RUU Pornografi

Kertas Posisi : Catatan Singkat Atas RUU Pornografi
A Patra M Zen
Ketua Badan Pengurus
Yayasan LBH Indonesia

Pengantar
Di banyak negara, masalah pornografi memang diatur dalam dalam undang-undang. Pendefinisian pornografi dan muatan yang diatur mesti dilakukan lewat pertimbangan yang serius agar tidak menimbulkan masalah dalam penerapannya.
Apa yang disebut dengan pornografi sangat bergantung dari pandangan individu. Definisi ini bisa berbeda antara satu budaya masyarakat dengan budaya masyarakat yang lain. Istilah ini pun dapat berbeda dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Pengaturan dalam undang-undang diperlukan terutama untuk material-material yang secara sengaja diproduksi untuk tujuan memenuhi birahi seksual (sexual arousal) konsumennya. Pengaturan juga ditujukan untuk melindungi kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak.
Dengan demikian, bisa saja pengaturan dan sanksinya dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau criminal law, antara lain seperti di Kanada (1951) yang mengatur pornografi yang melibatkan anak-anak. Di negara ini dibentuk The Committee on Sexual Offences against Children and Youth (the Badgley Committee) dan the Special Committee on Pornography and Prostitution (the Fraser Committee) untuk melakukan pengawasan.
Section 163.1 of the Criminal Code Kanada yang diterbitkan pada 1993. memuat definisi pornografi anak, yakni: "(1) visual representations of explicit sexual activity involving anyone under the age of 18 or depicted as being so; (2) other visual representations of a sexual nature of persons under the age of 18; and; (3) written material or visual depictions that advocate or counsel illegal sexual activity involving persons under that age."
Aturan yang hampir sama dapat ditemukan di Inggris, yakni Section 160 Criminal Justice Act (1988), yang mengatur pornografi anak-anak dibawah 16 tahun. Selain itu, Inggris memiliki the Obscene Publications Act (1959) yang mengatur publikasi material yang memuat pornografi.
A. Definisi yang Amat Luas
Di Indonesia, definisi pornografi dalam Pasal 1 ayat (1) RUU Pornografi sebagai berikut:
"Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat."
Definisi di atas sangat luas dan sulit untuk diterapkan, apalagi ditambah dengan anak kalimat nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat, karena seperti dikemukakan di bagian awal, nilai-nilai budaya masyarakat berlainan di masing-masing wilayah.
B. Materi dan Sanksi Pidana Sudah Diatur dalam UU yang Telah Berlaku
Selanjutnya, jika melihat ketentuan pidana yang diatur dalam UU ini, maka UU ini pada dasarnya mengatur masalah publikasi materi pornografi dan pornografi melibatkan anak-anak.

Tabel Sanksi Pidana dalam RUU Pornografi
No. 1
Pasal: Pasal 30
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000. 000,00 (enam miliar rupiah).
No. 2
Pasal: Pasal 31
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah).
No. 3
Pasal: Pasal 32
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang melibatkan anak
Pidana: Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000. 000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000. 000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
No. 4
Pasal: Pasal 33
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi
Pidana: Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000. 000,00 (dua miliar rupiah).
No. 5
Pasal: Pasal 34
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi
Pidana: Pidana paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah)
No. 6
Pasal: Pasal 35
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000. 000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000. 000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
No. 7
Pasal: Pasal 36
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi
Pidana: Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000. 000,00 (lima miliar rupiah).
No. 8
Pasal: Pasal 37
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000. 000,00 (enam miliar rupiah).
No. 9
Pasal: Pasal 38
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang mempertontonkan diri atau dipertontonkan dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya
Pidana: Dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000. 000,00 (lima miliar rupiah).
No. 10
Pasal: Pasal 39
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah).
No. 11
Pasal: Pasal 40
Unsur Tindak Pidana: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37, dan Pasal 38 melibatkan anak dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37, dan Pasal 38
Pidana: Ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Sumber: Diolah dari RUU Pornografi.

Sejumlah muatan dalam RUU Pornografi pada dasarnya, telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah berlaku. Berikut ini contoh-contoh materi muatan dalam RUU Pornografi yang pada prinsipnya sudah diatur dalam undang-undang yang lain.
Muatan RUU Pornografi telah diatur dalam UU Perlindungan Anak
Khusus untuk pengaturan pornografi anak dalam RUU Pornografi, materi yang diatur, pada dasarnya telah dimuat dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan pidana dalam UU Perlindungan Anak secara luas telah mengatur sanksi pidana terhadap kejahatan terhadap anak, termasuk diskriminasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan ancaman kekerasan, penganiayaan, pemaksaan persetubuhan, perbuatan cabul, memperdagangkan, menjual atau menculik anak, serta mengeksploitasi seksual anak dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Sebagai tambahan materi tersebut juga telah dimuat dalam the Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children Prostitution and Child Pornography, dimana Indonesia pada 24 September 2001 tercatat sebagai Negara Pihak yang menandatangani Protokol Opsional ini.

Muatan RUU Pornografi Sudah Dimuat dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik
Berkaitan dengan penyebaran informasi dan dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan juga sudah diatur dalam UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam UU tersebut, setiap orang yang memenuhi unsur tindak pidana, dipidana paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

C. Penyempurnaan KUHP
Sejumlah muatan dalam RUU Pornografi pada dasarnya sudah dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, antara lain: pasal-pasal yang berkaitan dengan perbuatan cabul. Pasal 289 KUHP menyatakan: "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."
Jika terdapat tindak pidana berkaitan dengan kehormatan kesusilaan yang masih perlu diatur, tentu lebih tepat dimuat dalam KUHP. Secara umum, definisi yang dapat digunakan berkaitan dengan unsur-unsurnya, yakni: (1) merendahkan martabat manusia; (2) eksploitasi; (3) pemaksaan, dan (4) kekerasan.

D. Kesimpulan
Proses pembahasan RUU Pornografi sebaiknya disingkronkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, terutama berkaitan dengan definisi. Lebih pas materi undang-undang ini, terutama berkaitan dengan perbuatan pidana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Jakarta, September 2008
Agustinus Edy Kristianto
Director of Publication and Civic Education
Board of Directors Indonesian Legal Aid Foundation/Foundation Indonesienne d'aide Juridique
Jalan Diponegoro No. 74 Jakarta 10320
INDONESIA
Visit our website: http://www.ylbhi.or.id/

RUU Pornografi Harus Sinkron Dengan Undang-Undang Lainnya

Siaran Pers
Yayasan LBH Indonesia
Nomor 019/SP/YLBHI/IX/ 2008

RUU Pornografi Harus Sinkron Dengan Undang-Undang Lainnya

Rencana DPR mengesahkan RUU Pornografi menjadi undang-undang pada Rabu, 23 September 2008, kemungkinan besar akan batal, menyusul keberatan sejumlah pihak atas materi yang tercantum dalam RUU tersebut. RUU Pornografi, yang sebelumnya sempat dinamakan RUU Antipornografi dan Antipornoaksi, keberadaannya memang selalu mengundang polemik di masyarakat. Diyakini bahwa keberadaan dan sejumlah materi yang tercantum dalam RUU Pornografi tersebut melanggar prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia, terutama hak-hak dasar kaum perempuan.

Kami menilai bahwa pembahasan RUU Pornografi yang telah dilakukan selama ini tidak sinkron dengan keberadaan dan prinsip-prinsip yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan lainnya di Indonesia (Kertas Posisi terlampir). Hal itu terutama berkaitan dengan pendefinisian istilah pornografi yang kami nilai terlalu luas dan sulit diterapkan di masyarakat. Terutama sekali pada kalimat "nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat" yang faktanya bahwa nilai budaya masyarakat berlainan di setiap wilayah.

Pasal 1 ayat (1) RUU Pornografi mendefinisikan pornografi sebagai, "…materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat."

Selain itu juga kami menilai bahwa keberadaan RUU Pornografi secara nyata-nyata telah mengabaikan prinsip-prinsip dan ketentuan hukum menyangkut materi pornografi yang sebetulnya sudah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia. Materi pornografi anak sudah tercantum dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; berkaitan dengan penyebaran materi melalui informasi dan dokumen elektronik sudah tercantum dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; materi-materi lain tentang kesusilaan, misalnya, telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti dalam Pasal 289 KUHP yang menyatakan: "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."

Kami meminta supaya pembentuk undang-undang melakukan sinkronisasi atas keberadaan dan materi RUU Pornografi dengan undang-undang lain yang ada di Indonesia. Lebih tepat jika sepanjang menyangkut perbuatan-perbuatan pidana, diatur dalam KUHP.

Jakarta, 23 September 2008
Yayasan LBH Indonesia
Badan Pengurus
Agustinus Edy Kristianto
Direktur Publikasi dan Pendidikan Publik

Monday, September 22, 2008

AKSI BUDAYA 23/09/08

Jangan pantang menyerah.
Jangan mau kecolongan lagi.
Ayo terus lawan, terus dan terus lawan, mari beramai-rami turun ke jalan menolak RUU Pornografi BESOK Selasa 23 September 2008

Kumpul di Parkir Timur Renon jam 9 pagi.
Bawa pita/bendera Merah Putih.

Demo kali ini bertema Parade Budaya + pertunjukan musik & tari.
Direncanakan juga beberapa perwakilan Masyarakat Bali kembali hendak menemui Ketua DPRD---kali ini disertai Gubernur juga, meminta mereka sebagai representasi formal provinsi Bali untuk secara resmi menandatangani penolakan terhadap RUU yang jelas-jelas mencederai puspawarna, pelangi indah perbedaan di bumi Nusantara ini.

Selalu junjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika!
Karena majemuk adalah Indonesia!

Merdeka Menjadi Bianglala,
RUDOLF DETHU
Relawan Komponen Rakyat Bali

Friday, September 19, 2008

RUU Pornografi: Tubuh Hanya Dilihat Sebagai Objek Seksual

RUU Pornografi: Tubuh Hanya Dilihat Sebagai Objek Seksual.
Sugi Lanus, Komponen Rakyat Bali

Bagi orang Bali, tubuh bukanlah sekedar obyek seksualitas, tapi obyek ekstetik. Tubuh adalah wahana kita mengungkapkan jiwa dan ekspresi estetik kita.

Pendekatan RUU Pornografi ini lebih memandang tubuh sebagai isu moral dan tidak sensitif terhadap keberagaman masyarakat Indonesia yang multikultur dalam memandang tubuh dan ketelanjangan. Definisi RUU ini sangat bias dan dangkal dalam melihat tubuh dan dalam membatasi apa yang dimaksud dengan pornografi. Lihat Papua, lihat seniman Bali, lihat candi-candi purba. Tidak semua rumpun bangsa ini, tidak semua ranah budaya di bumi Nusantara ini menabukan ketelanjangan. Mereka punya perspektif ecocentris, bahwa bagi mereka ketelanjangan adalah kedekatan mereka dengan alam. Kelamin, imaji persetubuhan, dalam konsepsi Bali tidak melulu ditabukan, ketelanjangan dan persetubuhan bisa jadi renungan estetik dan religius. Seperti juga Suku Asmat, orang Bali punya renungan mendalam dan filosofis melihat tubuh. Lihat sebuah tarian sakral di Trunyan, tarian tersebut bercerita tentang persetubuhan semeseta, simbolik dan sublim, lambang kesuburan. Lingga dan yoni adalah manisfestasi keilahian yang mewujud dalam alam semesta.

Kalau kita cermati dengan teliti, RUU ini memangkas cara berpikir yang holistik. Tubuh dipandang hasrat seksualitas. Ini diskriminatif, dan tidak punya sensitifitas kebhinekaan dalam memandang tubuh. Persoalaan materi seksualitas dan pornografi dalam RUU Ponografi ini dilihat secara monolitik, memandang tubuh sebagai persoalaan moral.

Saksikan saja Borobudur, ada bagian yang ditutupi yaitu bagian Kamadatu: Untuk mencapai pencerahan bathiniah seseorang harus mampu memahami dan melampaui tahapan tubuh dan persoalan gairah yang melingkupi pikiran kita. Kalau ingin memasuki kesadaran bathin yang tidak tersentuh gairah seksuil, orang harus merenungi dan melampaui seksualitas itu sendiri.
Perlu dicatat bahwa kelompok yang menolak RUU Pornografi tersebut bukan berarti kami mendukung pornografi. Kami menolak tegas pornografi dan pelanggaran kesusilaan dengan pengaturannya berdasarkan penegakan pasal-pasal kesusilaan sebagaimana perundang-undangan dan peraturan yang ada.

RUU Ponografi ini harus ditolak karena justru "meniadakan" peraturan lainnya yang telah ada. Salah satu argumen yang dikemukakan oleh penggagas RUU Pornografi ini adalah: bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat;

Bila kita menilik perundang-undangan yang ada, justeru sangat tegas dan jelas. Beberapa perundangan tersebut yang telah mengatur persoalan pornografi harus segera ditegakkan oleh penegak hukum di negera ini. Jadi jawabannya bukan UU baru, tapi penegakan hukum.
Dapat dijabarkan undang-undang yang telah tersedia sebagai berikut: KUHP Pasal 282 dan 283, UU No 32 Th 2002 Tentang Penyiaran, UU No 1 Th 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No 182, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 7 tahun 1994, UU No 40 Th 1999 tentang Pers, UU No 8 Th 1992 tentang Perfilman.

Melihat sudah banyaknya aturan yang telah dibuat, maka penyusunan RUUP ini sama sekali tidak penting. Dan seharusnya sudah dapat disadari oleh pihak-pihak yang berkeras ingin memberlakukan aturan terhadap pornografi.

Pornografi yang marak bukan cermin ketiadaan UU, tapi cermin bahwa di negara ini lemah dalam hal implementasi kebijakan. Banyak sekali aturan dibuat tetapi apakah dapat menjamin pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan pada hak dasar (asasi) manusia yang sifatnya sangat universal, dan jelas diakui oleh negara ini dengan meratifikasi Deklarasi HAM yang termuat dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999; ini adalah pertanyaan yang juga relevan diajukan saat ini.

Bagian-bagian dari RUU Pornografi ini justru menempatkan perempuan pelaku kriminal. RUU ini tidak sensitive gender atau gender mainstreaming.

Hal lain yang patut menjadi perhatian penting
Pembahasan RUU ini sangat tidak mengikuti mekanisme yang sudah diatur dalam UU No 10 Tahun 2004 Tentang Tatacara Pembuatan Undang-Undang. Dari beberapa sumber didapatkan adanya pelanggaran terhadap Tata Tertib pembuatan Undang-Undang, misalnya banyak voting yang dipaksakan dalam situasi yang tidak kuorum. Salah satu anggota Panja dari Fraksi PDIP (pernyataan diambil dari hasil audiensi dengan fraksi PDIP pada tanggal 30 Juni 2008 di Gd DPRRI Lt 5, Ruang 525, Pk 10.00 WIB) menyatakan ada tandatangan anggota Panja yang dipalsukan untuk memenuhi voting yang setuju pembahasan RUU ini diteruskan. Dan anggota Panja yang tidak hadir dalam rapat dinyatakan sebagai suara yang setuju.

Dan dalam UU No 10 tahun 2004 juga menyatakan bahwa prinsip pembuatan Undang-Undang harus memuat unsur kenusantaraan, dimana ini bisa diarahkan kepada propinsi-propinsi yang langsung menyatakan keberatan akan keberadaan UU ini, misalnya saja Bali, Papua, dan Suku-suku di Indonesia Timur. Jelas sekali UU ini sudah mengabaikan unsur-unsur keberagaman yang secara konten ditolak dalam beberapa pasal-pasal yang ada di RUU Pornografi.

Jika RUU ini disahkan jelas sekali, bahwa perda-perda diskriminatif dan bernuansa keagamaan tertentu akan lebih mendapatkan penguatan dan payung hukum nasional; RUU ini berpotensi untuk digunakan sebagai cantolan yang jitu untuk menguatkan bahwa Perda-Perda tersebut agar bisa tetap bertahan. Catatan terakhir, ada 973 Perda bermasalah yang dicabut Depdagri karena ketidakjelasan dan kontraversi, serta ketidakjelasan perundangan nasional yang bisa memayunginya.

Catatan: Tiga paragraf terakhir diadaptasi dari Kertas Posisi Penolakan RUU Pornografi yang disiapkan oleh ANBTI dan beberapa komponen masyarakat yang menolak RUU Pornografi.

Thursday, September 18, 2008

RUU PP - Mari Mengencingi Manusia Goa Penggembala Onta

Kerabat Puspawarna,

Sesuai rencana, kemarin pada Selasa, 16 September 2008 tepat jam 9 pagi berbagai eksponen di Bali yang menolak RUU Pornografi melimpah turun ke jalan. Dari pengamatan amatir saya, ada sekitar 300 - 500 orang yang turut meramaikan demo (beberapa versi menyebut mencapai 1000 orang, thousands, malah 5 thousands---yang ini agak berlebihan).
Sebuah prestasi yang cukup menggembirakan mengingat rapat penggalangan massa baru diadakan siang sehari sebelumnya. Dan yang paling penting, sebagian besar pentolan-pentolan baik dari kelompok massa formal maupun informal macam Komponen Rakyat Bali, National Integration Movement, Ardham, LBH; serta tokoh-tokoh berpengaruh, datang berbondong-bondong, rela berpanas-panas demi menunjukkan simpatinya pada perjuangan ini.
Dari kalangan seniman tampak pelukis ternama, sang maestro Nyoman Gunarsa; Penyair Tan Lioe Ie, punk rocker Superman Is Dead dengan formasi lengkap + Roy Dji Hard & sahabat-sahabat Poppies Dogs, reggae ambassador Joni Agung ditemani kelompok penggemar Vespa, grunge last gentleman Robi Navicula pula Lakota Moira, rockabilly axeman Wiz Hydrant beserta Sonya, videografer Ridwan Rudianto, artis visual kawakan Ayip, Guru Besar Institut Seni Indonesia Bali Profesor Doktor I Wayan Dibia---dari kelompok ISI ada juga perupa Kun Adnyana hingga Ibu Bandem, nyokapnya Dewi Bandem, anggota milis ini; tentu juga para SuicideGlamNationalists, juragan televisi lokal Ida Bagus Mantra, demonstran veteran Ngurah Karyadi, elemen mahasiswa, aktivis perempuan, LSM, pribadi-pribadi yang bersimpati dari beragam latar belakang agama, wih, banyak banget, komplet, sungguh sangat bineka, amat puspawarna. Dari lapangan Parkir Timur Renon rombongan anti RUU bergerak menuju DPRD.
Begitu tiba di gedung (konon) wakil rakyat tersebut, rupanya jajaran eselon utama DPRD seperti Pak Ketua dan wakilnya sudah menunggu. Mungkin karena rombongan datang dalam jumlah besar, melebihi kapasitas ruang rapat, akhirnya dialihkan ke wantilan DPRD.
Setelah dibuka dengan beberapa pentas kesenian tradisional Bali yang “porno” (dari kacamata itu loyalis Arab-Taliban-Wahabi, paguyuban cecunguk monokultur Penegak Keadilan Seksual), kembali disuarakan butir-butir alasan pembangkangan terhadap RUU Pornografi serta tindak lanjutnya. Sama seperti Maret 2006 silam, DPRD Bali merespons positif unek-unek masyarakat Bali dan sepakat menolak RUU Pornografi serta berencana pada 22 September 2008 (sehari sebelum jadwal pengesahan) akan berangkat ke Jakarta untuk menegaskan sikap tersebut. Sementara itu, rencana perwakilan masyarakat Bali untuk menghadap langsung ke Presiden serta langkah hukum judicial review sedang disusun matang-matang. Oh, jika anda mengutip ujaran sinis dari tokoh antagonis di Batman, “Why so serious?”, well, berarti anda sama sekali tak paham urgensinya. RUU ini jika sukses digolkan maka semua sendi-sendi kehidupan di masyarakat akan balik lagi ke jaman dinosaurus. Bayangkan Afghanistan. Bayangkan Arab Saudi. Atau yang paling gampang bin sederhana untuk dicerna bagi anda-anda yang apatis dan menganggap perkara RUU Pornografi cuma remeh-temeh: BAYANGKAN seluruh pria dan wanita berdandan seperti anggota FPI, PKS, HTI, MMI; semua kaum sepuh pakaiannya diwajibkan meniru Abu Bakar Ba’asyir (hidup Arab, dirgahayu laki-laki pra-sejarah pemerkosa hak-hak perempuan!). DAN akan anda lihat banyak baliho-baliho "berbusana benar" macam begini bertebaran:

Lebih ekstrem, bukan tidak mungkin ke depannya Indonesia bakalan kayak gini:

Anda mau diseragamkan? Bali menolak. Saya juga ogah. Saya sama sekali tidak akan pernah mau tunduk pada mahluk bebal idiot bernama Balkan Kaplele serta partai pendorong syari’ah Partai Keadilan Sejahtera yang belakangan sok plural (ahem, yeah, right, you Saudia Arabia aficionados!). Saya sama sekali tidak akan pernah mau diperintah-perintah mahluk-mahluk bodoh berpikiran dangkal anggota tim perumus lulusan sekolah jaman batu itu. Saya tidak akan pernah mau wanita-wanita cantik dan baik hati pujaan saya dikriminalisasi, dianggap sebagai penyebab semua kemaksiatan di dunia, didikte untuk membungkus seluruh tubuh indahnya, dinistai, dinodai harga dirinya, diperlakukan bak hewan. Again and again: kenapa bukan manusia-manusia gua itu saja yang memborgol penis sifilisnya, kenapa harus para wanita yang dikerdilkan haknya?














Anda jangan pernah mau dibohongi, ini bukan Islamisasi. Ini ARABISASI.

Itu baru soal berbusana saja. Masih banyak, amat banyak lagi, aspek kehidupan lain yang akan cedera oleh produk dungu bikinan mahluk padang pasir bernama RUU Pornografi dan Pornoaksi tersebut.

Nah, jika anda sepakat dengan saya, jika anda ogah diatur-atur oleh oknum-oknum cacat mental penggembala onta bertopeng religi, ayo kembali turun ke jalan pada Selasa, 23 September 2008 ini (the exact time et cetera will be informed soon). Kumpul lagi di Parkir Timur Renon. Kita harus lawan, harus terus lawan, harus terus dan terus lawan pembodohan sistematis ini! Wahai kaum hawa yang akan paling menderita, yang akan menjadi bulan-bulanan---bahkan disamakan dengan hewan, yang akan jadi korban produk dari era dinosaurus ini, bangunlah dan bergerak. Jangan takut berhadapan dengan kumpulan orang bodoh dari jaman pra-sejarah karena mereka cuman didukung oleh pengangguran-pengangguran berkedok penegak keimanan yang sama dongoknya. Para wanita cantik dan pintar, jangan mau dijadikan hadiah Ramadan oleh manusia gua bernama Mahfudz Siddiq! Ayo lawan!

Merdeka Menjadi Bianglala,
RUDOLF DETHU
Relawan Komponen Rakyat Bali

*Baca juga diskusi ini agar cakrawala anda lebih terbuka di Forum Apa Kabar
*Ini berita tentang demo kemaren, diambil dari Bale Bengong
*Bukan main-main, ini sudah gawat sekali, Balkan Kaplele bersikeras akan mengesahkan RUU PP. Baca di bawah ini, dari Kompas edisi terbaru, Kamis 18 September 2008:

Permohonan Dukungan Penolakan Pengesahan RUU tentang Pornografi

Jakarta, 8 September 2008
No. : 35/ JKP3/ IX/2008
Perihal : Surat Permohonan Dukungan Penolakan Pengesahan RUU tentang Pornografi di Prolegnas Periode 2005-2009

Kepada Yth.
LSM, Kelompok Masyarakat, Organisasi Mahasiswa, Organisasi Masyarakat
di
Indonesia

Dengan hormat,
Bersama surat ini, kami memperkenalkan diri sebagai Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) yang dari tahun 2005 melakukan advokasi terhadap kebijakan baru yang terkait dengan kepentingan perempuan yang menjadi prioritas dalam Prolegnas periode 2005-2009. Beberapa kebijakan yang sudah atau sedang kami advokasi antara lain UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Kewarganegaraan, RUU Keimigrasian, RUU Kesehatan, R-KUHP, Amandemen UU Perkawinan, dan RUU Pornografi.

Terkait dengan salah satu kebijakan yang sedang dibahas di DPR RI saat ini yakni RUU tentang Pornografi, secara substansial dan prosedur pembahasan, kami menilainya masih banyak sekali kekurangannya. Oleh karena itu kami, JKP3 meminta dukungan dari semua organisasi yang Anda pimpin agar DPR RI melalui Sidang Paripurnanya menunda pengesahan RUU tentang Pornografi tersebut untuk periode Prolegnas 2005-2009.

Saat ini Pembahasan RUU tentang Pornografi telah masuk ke tahapan Timus (Tim Perumus), untuk kemudian akan diserahkan kembali naskahnya ke Panja (Panitia Kerja). Tahapan berikutnya akan diserahkan ke Bamus (Badan Musyawarah) untuk mendapatkan persetujuan tanggal pengesahan di Sidang Paripurna. Berdasarkan jadwal persidangan yang kami dapatkan, target pengesahan RUU tentang Pornografi ini sekitar 17 September 2008.

Apa yang menjadi concern JKP3 terhadap masalah pornografi sebagai berikut:
1. Penutupan akses anak terhadap materi pornografi serta penggunaan dan pencitraan anak sebagai komoditas pornografi. (Data statistik: LBH APIK dan Indonesia ACT)
2. Mengawal agar RUU ini tidak mengkriminalkan perempuan yang berperan sebagai model pornografi, apalagi yang merupakan "korban" pornografi.
3. Menuntut RUU ini agar fokus pada regulasi dan pemberian sanksi bagi pelaku usaha pornografi.
4. Memastikan pengaturan pornografi tidak mengatur di luar masalah pornografi yang hendak diselesaikan misalnya pengaturan mengenai pornoaksi atau gerak tubuh, pertunjukkan, budaya, seni, ekspresi individu, pendidikan seksual, perilaku seksual individu, dan hal-hal lain yang terkait dengan wilayah privat individu.
5. Memastikan RUU ini hanya mengatur pornografi di ruang publik dan tidak mengatur wilayah privat individu orang dewasi kecuali jika ada kekerasan di dalamnya.
6. Mengawal RUU Pornografi fokus untuk menjawab permasalahan aktual pornografi dan tidak menjadikannya sebagai ajang politisasi.
7. Mendukung pengaturan khusus mengenai pornografi yang menjawab secara tepat masalah pornografi dan tidak menimbulkan masalah baru di masyarakat.

Ketujuh hal diatas menjadi indikator untuk menilai apakah RUU Pornografi layak disebut sebagai RUU pornografi (fokus hanya pada pengaturan pornografi)? Apakah RUU telah mencerminkan perlindungan terhadap perempuan dan anak? Apakah mengatur ruang publik sehingga menutup akses anak terhadap pornografi? Apakah tetap menghormati ruang privat orang dewasa? Apakah memberi sanksi yang berat bagi pelaku industri pornografi dan tidak justru mengkriminalkan perempuan dan anak?

Di bawah ini beberapa hal penting yang menjadi kritisi dari kami berdasarkan draft RUU tentang Pornografi tertanggal 23 Juli 2008 .
1. Proses Pembahasan
Dalam proses pembahasan di Panja, dilakukan secara tertutup dan tidak ada informasi perkembangan pembahasan tersebut di media internal DPR ataupun media massa. Tiadanya sosialisasi kepada publik dan pihak-pihak yang terkait atas RUU Pornografi (yang notabene RUU yang berbeda dengan RUU APP) serta pembahasan di DPR yang tertutup, mengabaikan konteks situasi kepentingan masyarakat terhadap keberadaan RUU tentang Pornografi tersebut. Panja yang tertutup ini memperlihatkan tidak adanya political will anggota Panja untuk membuat rapat Panja ini menjadi terbuka bagi publik sebagaimana praktek-praktek pembahasan yang pernah ada (RUU Kewarganegaraan, RUU PTPPO dan RUU Pelayanan Publik), karena hal ini dimungkinkan dalam Tatib DPR.

2. Definisi
Dalam RUU tentang Pornografi (mengacu pada draft RUU III 23 Juli 2008), definisi Pornografi adalah "materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisanm suara, bunyi, gambar bergerak, animas, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Defenisi ini masih mengandung kelemahan yang mendasar dan terkesan menyesatkan (keluar dari wilayah pornografi).

Jika klausa "materi seksualitas" digunakan sebagai definisi pornografi, maka akan mereduksi makna seksualitas yang merupakan inti kehidupan jati diri manusia. Sehingga, bukan sesuatu yang seharusnya dikriminalkan. Selain itu kata "gerak tubuh" tidak termasuk dalam "grafis" atau tulisan, gambar, visual (Lihat KBBI), sehingga tidak termasuk kategori pornografi.
Klausa "membangkitkan hasrat seksual", masih tidak jelas sehingga dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (KBBI), tahun 2005, seksualitas meliputi ciri, sifat, atau peranan seks; dorongan seks; kehidupan seks.
Pada intinya, seksualitas adalah cara manusia mendefinisikannya sebagai makhluk seksual. Maknanya juga meliputi hasrat erotis, praktek-praktek dan identitas seksual, termasuk didalamnya perasaan-perasaan dan relasi seksual; cara bagaimana individu manusia dirumuskan atau ditentukan sebagai makhluk seksual oleh lainnya maupun cara individu mendefinisikan dirinya (misalnya bagaimana perempuan menampilkan dirinya sebagai seorang yang feminin atau feminitas, maskulinitas). Sehingga, materi seksualitas meliputi seluruh kehidupan manusia itu sendiri.

Kata "seksualitas" mengandung unsur erotika dan sensualitas yang merupakan sesuatu yang perlu dihargai dan tidak dapat disamakan dengan pornografi. Unsur utama dari pornografi adalah kecabulan (obscenity) dan ajakan untuk berbuat cabul. Pornografi pada dasarnya adalah tulisan atau gambaran tentang kemesuman dan kecabulan.
"Istilah pornografi menurut sejarahnya berasal dari bahasa Yunani; dari kata porne yang artinya prostitusi, pelacur; dan graphien yang artinya menggambar, menulis, gambar, atau tulisan.
Menurut Webster's New Dictionary (1990), pornografi berasal dari bahasa Yunani porne, yang artinya pelacur, dan graphein, yang artinya gambar, atau tulisan. Secara harfiah pornografi kemudian diartikan sebagai tulisan tentang kemesuman (the writing of harlots), atau penggambaran tentang tindak pelacuran (depictions of acts of prostitutes)."
(dikutip dari Naskah Akademik RUU Pornografi tanggal 13 Desember 2007)

3. Pasal 7 yang telah disepakati Panja berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi obyek atau model yang mengandung muatan pornografi". Rumusan ini sangat tidak adil bagi perempuan yang selama ini (dalam konstruksi budaya patriarkhi) tubuhnya kerap menjadi target eksploitasi dan komoditisasi dalam dunia prostitusi maupun pornografi (viktimisasi). Persetujuan korban (perempuan) seharusnya tidak dapat menjadi pembenaran atau menjadi alasan untuk menyalahkan bahkan mengkriminalkan mereka. Ini tentunya bertentangan dengan strategi pemberdayaan perempuan yang telah digulirkan oleh pemerintah selama ini. Rumusan ini bahkan tidak menyelamatkan anak-anak yang seharusnya dilindungi yang bahkan ‘consent’ (persetujuan) nya tidak bisa dijadikan pertimbangan untuk tidak melindungi mereka. RUU sepantasnya meregulasi pelaku industri
pornografi atau pihak-pihak yang yang lebih powerful dan lebih mengambil keuntungan dari pemanfaatan tubuh perempuan.

4. Bila RUU tentang Pornografi saat ini disahkan (hasil pembahasan terakhir), bakal mengkriminalkan para prostitusi jalanan juga pelaku ‘pornoaksi’ yang seharusnya di luar wilayah kompetensi RUU tentang Pornografi ini, yakni melalui ketentuan ‘jasa pornografi’ dalam Pasal 4 ayat (2). Jasa Pornografi ini yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 2 sebagai: "segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang- perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet dan komunikasi elektronik lainnya, serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya." Dalam DIM yang disepakati dan diputuskan Panja, ayat (2) point d. berbunyi: ‘menawarkan atau mengiklankan baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual’. Rumusan point (d) ini akan mengenai prostitut jalanan yang notabene merupakan korban kemiskinan struktural. Upaya mengkriminalkan prostitut tidak saja muncul di RUU Pornografi ini, tetapi juga dalam RUU Revisi KUHP maupun Perda-Perda diskriminatif yang sudah banyak bermunculan di berbagai daerah seiring dengan kebijakan Otonomi Daerah. Ketentuan-ketentuan seperti ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan karena melegitimasi upaya viktimisasi terhadap korban.

5. Panja juga telah menyepakati Pasal 5 (DIM 74) yang mengintervensi wilayah privat orang dewasa tanpa mempertimbangkan kepentingan hak-hak seksual orang dewasa sepanjang pornografi tersebut bukanlah dalam kategori hardporn yang pada umumnya eksploitatif, berisi kekerasan seksual terhadap perempuan dan atau melibatkan anak sebagai model (jenis pornografi yang dilarang). Pasal 5 tersebut berbunyi: "Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan barang pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4(1), kecuali yang diberikan kewenangan sesuai peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam Pasal 4(1) tentang pornografi yang dilarang juga memasukkan yang sifatnya softporn seperti ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, kegiatan seksual biasa (non degrading/unhuman dan non violence/exploitative) yang seharusnya tidak dikriminalkan bagi orang dewasa untuk memiliki atau menggunakannya demi kepentingan seksualnya sendiri yang tidak merugikan orang lain. Yang perlu dikriminalkan dalam konteks ini adalah pihak-pihak yang mendistribusikannya di ruang publik (media cetak/elektronik dll) sehingga mudah diakses anak-anak, atau membiarkan terakses (misalnya di warnet2), menawarkan atau membuat kelalaian (orang dewasa) sehingga terakses anak-anak.

6. RUU Pornografi juga belum mengakomodir kejahatan terkait pornografi yang marak terjadi dalam sepuluh tahun terakhir dan juga mengaburkan siapa pelaku dan korban. Padahal sejak awal masyarakat sipil (JKP3) sudah mengusulkan agar di pertimbangkan modus-modus kejahatan pornografi yang sangat merugikan perempuan. Bukan justru fokusnya pada mengkriminalkan model yang umumnya perempuan sebagai obyek pornografi. Pada dasarnya kejahatan dalam pornografi yang ditemukan sering dilakukan pelaku terutama industri pornografi dengan modus:
a. Penipuan atau penyesatan dalam pembuatan pornografi: korban diiming-imingi sejumlah uang; dijanjikan sesuatu; dibujuk atau didesak untuk membuka pakaiannya; dijanjikan untuk tidak disebarluaskan;
b. penyalahgunaan tujuan pengambilan gambar: yang sedianya bukan ditujukan untuk pornografi (seperti casting/pembuatan iklan), tetapi pada akhirnya dijadikan/dibuat dan atau disebarluaskan sebagai produk pornografi, tanpa persetujuan perempuan (objek); termasuk juga penggunaan tehnik, pencahayaan dan sudut pengambilan gambar yang mengekspose bagian tubuh tertentu (payudara, selangkangan, atau paha) di luar kehendak/kontrol dari perempuan;
c. pengambilan gambar atas aktifitas seksual dan atau tubuh seseorang tanpa seizin dan sepengetahuan orang tersebut, kemudian disebarluaskan oleh si pembuat gambar;
d. penyebarluasan tanpa sepengetahuan dan seizin orang yang bersangkutan, atas gambar-gambar dirinya dan atau miliknya yang sebenarnya merupakan hak privasi dari orang tersebut (pengambilan gambar dilakukan oleh dirinya untuk konsumsi dirinya sendiri, penyebarluasannya tanpa sepengetahuan dan seizin subyek gambar adalah pelanggaran hak privasinya);
e. memanfaatkan ketidakberdayaan perempuan karena kemiskinan struktural, sehingga perempuan mudah dijebak untuk menjadi objek pornografi;
f. memanipulasi ‘kesadaran’ perempuan yang berada dalam konstruksi budaya patriarki yang memposisikan perempuan sebagai objek, serta dalam situasi kapitalisme global, di mana materi menjadi ukuran utama.

7. Pertunjukan seni, budaya, adat istiadat dan tradisi sama dengan Pornografi?
Dalam RUU tentang Pornografi ini, pertunjukan seni dan budaya serta kepentingan adat istiadat dan tradisi yang bersifat ritual diperbolehkan untuk
pembuatan, penyebarluasan dan penggunaannya. Namun dalam pasal 14 ini, pertunjukan seni dan budaya serta kepentingan adat istiadat dan tradisi yang bersifat ritual tersebut dimasukkan dalam materi seksualitas dimana istilah materi seksualitas ini juga dijadikan definisi pornografi. Sehingga dengan kata lain RUU tentang Pornografi ini menggolongkan pertunjukan seni dan budaya serta kepentingan adat istiadat dan tradisi yang bersifat ritual ke dalam materi ponografi.

Berdasarkan ketujuh hal kritis di atas, maka kami JKP3 menilai bahwa RUU tentang Pornografi ini masih belum mengakomodir prinsip-prinsip utama pengaturan pornografi (tujuh indikator JKP3) tersebut di atas, dan tidak menjadikan keberagaman budaya dan adat istiadat bangsa Indonesia sebagai suatu pertimbangan penting dalam menyusun RUU ini.
Oleh karena itu, kami meminta dukungan dari semua organisasi untuk mengirimkan surat penolakan pengesahan RUU tentang Pornografi kepada Ketua Panja, Ketua Pansus dan Ketua DPR RI
...

Salam,
Ratna Batara Munti
Koordinator JKP3

RUU PORNOGRAFI MENGHANCURKAN KONSEP NEGARA BANGSA

RUU PORNOGRAFI MENGHANCURKAN KONSEP NEGARA BANGSA
By : Fauzie*

Mengapa RUU Pornografi harus ditolak ?

Pertama, RUU Pornografi adalah sebuah isu legislasi yang paling controversial sepanjang sejarah pembahasan RUU di Parlemen. Sebagai produk kebijakan publik, RUU ini belum selesai di tingkat konsep. Belum ada "konsensus nilai" tentang apa itu pornografi. Kalaupun DPR hendak memaksakan diri untuk segera mengesahkan RUU ini, itu artinya DPR akan mengesahkan RUU Pornografi sebagai konsep yang belum selesai. Tentunya, RUU yang dipaksakan akan menimbulkan persoalan yang lebih pelik lagi dari isu pornografi itu sendiri.

Kedua, RUU ini berpotensi menghancurkan konsep "negara bangsa" yang multi kultur yang telah dibangun selama kurang lebih 63 tahun sejak Indonesia merdeka. Negara kita adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Bahkan dalam UUD 1945 pasca amandemen telah diatur dengan jelas mengenai prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Kecenderungan yang muncul saat ini adalah; bahwa RUU Pornografi telah mengabaikan asas kebangsaan, kenusantaraan, kebhinekaan, keadilan, kesetaraan gender, dan kepastian hukum sebagai bagian penting dari perlindungan HAM. Ketidakmampuan DPR secara cerdas memahami konstitusi, negara hukum dan demokrasi, membuat UU yang dibuatnya telah menabrak konstitusi sebagai kredo demokrasi.

Ketiga, tidak ada definisi final yang memuaskan semua pihak tentang konsep "pornografi", bahkan ada kecenderungan definisi pornografi dibentuk berdasarkan pada sumber kekuatan nilai tertentu yang bersifat partikularistik. Negara ini adalah negara bangsa yang multi kultur, jika RUU ini hendak dijadikan UU, maka UU ini tidak boleh hanya. merepresentasikan kekuatan nilai yang lahir dari kelompok tertentu, lebih jauh RUU ini harus mampu merepresentasikan wajah multikulturalisme sebagai realitas politik dan budaya Bangsa Indonesia

Keempat; Sebuah RUU yg berada pada posisi controversial, tidak bisa dipaksakan menjadi UU. Jika ini ini dilakukan, justru yang muncul adalah suasana social
disorder, bukan social order. Kelompok-kelompok kepentingan yang tidak diakomodir dalam RUU tsb pasti akan resistance melakukan perlawanan.

Kelima; melibatkan masyarakat sebagai polisi moral dalam RUU tersebut justru akan memicu konflik horizontal, chaos, equielibrium social yang terganggu. Karena pasti akan ada kelompok tertentu dengan mengatasnamakan moral dan agama akan melakukan gerakan sweeping terhadap obyek-obyek yang diduga melakukan pelanggaran terhadap UU Pornografi.

Fauzie ; aktif di LBH Apik Jakarta.

Pernyataan Sikap KRB (Komponen Rakyat Bali)

Pernyataan Sikap KRB (Komponen Rakyat Bali)

1) Tetap Menolak RUU Pornografi.
2) Menyiapkan tim dan naskah judicial review dan uji formal RUU Pornografi.
3) Menyiapkan tim kecil untuk melakukan inventarisasi kekayaan budaya yang terancam eksistensinya oleh RUU Pornografi
4) Membentuk tim kecil untuk menghadap Presiden
5) Melakukan tekanan pada DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Pornografi.
6) Melakukan aksi massa pembangkangan sipil dengan penekanan pada aksi budaya.
7) Tetap menjaga agar seluruh perjuangan berada dalam bingkai ke-Indonesia-an dan ke-Bhineka-an.

Disepakati oleh 22 cendekiawan dan budayawan Bali di Danes Art Veranda pada 13 September 2008.
01) I Gusti Ngurah Harta (Koordinator KRB)
02) Ida Pedanda Sebali Tianyar (Rohaniawan)
03) Prof Dr I Wayan Dibia (Seniman Tari)
04) Sugi Lanus (Penulis)
05) Rudolf Dethu (Promotor Musik)
06) I Dewa Gede Palguna (Cendekiawan)
07) Tan Lioe Ie (Penyair)
08) Putu Wirata Dwikora (Cendekiawan)
09) Wayan Redika (Pelukis)
10) Aridus (Penulis)
11) Iwan Darmawan (Penulis)
12) Marlowe Bandem (DJ)
13) Yastini (Aktivis LSM)
14) Jango Paramartha (Kartunis)
15) Mas Ruscitadewi (Penyair)
16) Warih Wisatsana (Penyair)
17) Made Kaek (Pelukis)
18) Kun Adnyana (Pelukis)
19) Luh Anggreni (Aktivis LSM)
20) Popo Danes (Arsitek)
21) Prof. Dr. Dasi Astawa (Cendekiawan)
22) I Wayan Juniarta (Penulis)