Friday, September 19, 2008

RUU Pornografi: Tubuh Hanya Dilihat Sebagai Objek Seksual

RUU Pornografi: Tubuh Hanya Dilihat Sebagai Objek Seksual.
Sugi Lanus, Komponen Rakyat Bali

Bagi orang Bali, tubuh bukanlah sekedar obyek seksualitas, tapi obyek ekstetik. Tubuh adalah wahana kita mengungkapkan jiwa dan ekspresi estetik kita.

Pendekatan RUU Pornografi ini lebih memandang tubuh sebagai isu moral dan tidak sensitif terhadap keberagaman masyarakat Indonesia yang multikultur dalam memandang tubuh dan ketelanjangan. Definisi RUU ini sangat bias dan dangkal dalam melihat tubuh dan dalam membatasi apa yang dimaksud dengan pornografi. Lihat Papua, lihat seniman Bali, lihat candi-candi purba. Tidak semua rumpun bangsa ini, tidak semua ranah budaya di bumi Nusantara ini menabukan ketelanjangan. Mereka punya perspektif ecocentris, bahwa bagi mereka ketelanjangan adalah kedekatan mereka dengan alam. Kelamin, imaji persetubuhan, dalam konsepsi Bali tidak melulu ditabukan, ketelanjangan dan persetubuhan bisa jadi renungan estetik dan religius. Seperti juga Suku Asmat, orang Bali punya renungan mendalam dan filosofis melihat tubuh. Lihat sebuah tarian sakral di Trunyan, tarian tersebut bercerita tentang persetubuhan semeseta, simbolik dan sublim, lambang kesuburan. Lingga dan yoni adalah manisfestasi keilahian yang mewujud dalam alam semesta.

Kalau kita cermati dengan teliti, RUU ini memangkas cara berpikir yang holistik. Tubuh dipandang hasrat seksualitas. Ini diskriminatif, dan tidak punya sensitifitas kebhinekaan dalam memandang tubuh. Persoalaan materi seksualitas dan pornografi dalam RUU Ponografi ini dilihat secara monolitik, memandang tubuh sebagai persoalaan moral.

Saksikan saja Borobudur, ada bagian yang ditutupi yaitu bagian Kamadatu: Untuk mencapai pencerahan bathiniah seseorang harus mampu memahami dan melampaui tahapan tubuh dan persoalan gairah yang melingkupi pikiran kita. Kalau ingin memasuki kesadaran bathin yang tidak tersentuh gairah seksuil, orang harus merenungi dan melampaui seksualitas itu sendiri.
Perlu dicatat bahwa kelompok yang menolak RUU Pornografi tersebut bukan berarti kami mendukung pornografi. Kami menolak tegas pornografi dan pelanggaran kesusilaan dengan pengaturannya berdasarkan penegakan pasal-pasal kesusilaan sebagaimana perundang-undangan dan peraturan yang ada.

RUU Ponografi ini harus ditolak karena justru "meniadakan" peraturan lainnya yang telah ada. Salah satu argumen yang dikemukakan oleh penggagas RUU Pornografi ini adalah: bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat;

Bila kita menilik perundang-undangan yang ada, justeru sangat tegas dan jelas. Beberapa perundangan tersebut yang telah mengatur persoalan pornografi harus segera ditegakkan oleh penegak hukum di negera ini. Jadi jawabannya bukan UU baru, tapi penegakan hukum.
Dapat dijabarkan undang-undang yang telah tersedia sebagai berikut: KUHP Pasal 282 dan 283, UU No 32 Th 2002 Tentang Penyiaran, UU No 1 Th 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No 182, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 7 tahun 1994, UU No 40 Th 1999 tentang Pers, UU No 8 Th 1992 tentang Perfilman.

Melihat sudah banyaknya aturan yang telah dibuat, maka penyusunan RUUP ini sama sekali tidak penting. Dan seharusnya sudah dapat disadari oleh pihak-pihak yang berkeras ingin memberlakukan aturan terhadap pornografi.

Pornografi yang marak bukan cermin ketiadaan UU, tapi cermin bahwa di negara ini lemah dalam hal implementasi kebijakan. Banyak sekali aturan dibuat tetapi apakah dapat menjamin pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan pada hak dasar (asasi) manusia yang sifatnya sangat universal, dan jelas diakui oleh negara ini dengan meratifikasi Deklarasi HAM yang termuat dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999; ini adalah pertanyaan yang juga relevan diajukan saat ini.

Bagian-bagian dari RUU Pornografi ini justru menempatkan perempuan pelaku kriminal. RUU ini tidak sensitive gender atau gender mainstreaming.

Hal lain yang patut menjadi perhatian penting
Pembahasan RUU ini sangat tidak mengikuti mekanisme yang sudah diatur dalam UU No 10 Tahun 2004 Tentang Tatacara Pembuatan Undang-Undang. Dari beberapa sumber didapatkan adanya pelanggaran terhadap Tata Tertib pembuatan Undang-Undang, misalnya banyak voting yang dipaksakan dalam situasi yang tidak kuorum. Salah satu anggota Panja dari Fraksi PDIP (pernyataan diambil dari hasil audiensi dengan fraksi PDIP pada tanggal 30 Juni 2008 di Gd DPRRI Lt 5, Ruang 525, Pk 10.00 WIB) menyatakan ada tandatangan anggota Panja yang dipalsukan untuk memenuhi voting yang setuju pembahasan RUU ini diteruskan. Dan anggota Panja yang tidak hadir dalam rapat dinyatakan sebagai suara yang setuju.

Dan dalam UU No 10 tahun 2004 juga menyatakan bahwa prinsip pembuatan Undang-Undang harus memuat unsur kenusantaraan, dimana ini bisa diarahkan kepada propinsi-propinsi yang langsung menyatakan keberatan akan keberadaan UU ini, misalnya saja Bali, Papua, dan Suku-suku di Indonesia Timur. Jelas sekali UU ini sudah mengabaikan unsur-unsur keberagaman yang secara konten ditolak dalam beberapa pasal-pasal yang ada di RUU Pornografi.

Jika RUU ini disahkan jelas sekali, bahwa perda-perda diskriminatif dan bernuansa keagamaan tertentu akan lebih mendapatkan penguatan dan payung hukum nasional; RUU ini berpotensi untuk digunakan sebagai cantolan yang jitu untuk menguatkan bahwa Perda-Perda tersebut agar bisa tetap bertahan. Catatan terakhir, ada 973 Perda bermasalah yang dicabut Depdagri karena ketidakjelasan dan kontraversi, serta ketidakjelasan perundangan nasional yang bisa memayunginya.

Catatan: Tiga paragraf terakhir diadaptasi dari Kertas Posisi Penolakan RUU Pornografi yang disiapkan oleh ANBTI dan beberapa komponen masyarakat yang menolak RUU Pornografi.

Thursday, September 18, 2008

RUU PP - Mari Mengencingi Manusia Goa Penggembala Onta

Kerabat Puspawarna,

Sesuai rencana, kemarin pada Selasa, 16 September 2008 tepat jam 9 pagi berbagai eksponen di Bali yang menolak RUU Pornografi melimpah turun ke jalan. Dari pengamatan amatir saya, ada sekitar 300 - 500 orang yang turut meramaikan demo (beberapa versi menyebut mencapai 1000 orang, thousands, malah 5 thousands---yang ini agak berlebihan).
Sebuah prestasi yang cukup menggembirakan mengingat rapat penggalangan massa baru diadakan siang sehari sebelumnya. Dan yang paling penting, sebagian besar pentolan-pentolan baik dari kelompok massa formal maupun informal macam Komponen Rakyat Bali, National Integration Movement, Ardham, LBH; serta tokoh-tokoh berpengaruh, datang berbondong-bondong, rela berpanas-panas demi menunjukkan simpatinya pada perjuangan ini.
Dari kalangan seniman tampak pelukis ternama, sang maestro Nyoman Gunarsa; Penyair Tan Lioe Ie, punk rocker Superman Is Dead dengan formasi lengkap + Roy Dji Hard & sahabat-sahabat Poppies Dogs, reggae ambassador Joni Agung ditemani kelompok penggemar Vespa, grunge last gentleman Robi Navicula pula Lakota Moira, rockabilly axeman Wiz Hydrant beserta Sonya, videografer Ridwan Rudianto, artis visual kawakan Ayip, Guru Besar Institut Seni Indonesia Bali Profesor Doktor I Wayan Dibia---dari kelompok ISI ada juga perupa Kun Adnyana hingga Ibu Bandem, nyokapnya Dewi Bandem, anggota milis ini; tentu juga para SuicideGlamNationalists, juragan televisi lokal Ida Bagus Mantra, demonstran veteran Ngurah Karyadi, elemen mahasiswa, aktivis perempuan, LSM, pribadi-pribadi yang bersimpati dari beragam latar belakang agama, wih, banyak banget, komplet, sungguh sangat bineka, amat puspawarna. Dari lapangan Parkir Timur Renon rombongan anti RUU bergerak menuju DPRD.
Begitu tiba di gedung (konon) wakil rakyat tersebut, rupanya jajaran eselon utama DPRD seperti Pak Ketua dan wakilnya sudah menunggu. Mungkin karena rombongan datang dalam jumlah besar, melebihi kapasitas ruang rapat, akhirnya dialihkan ke wantilan DPRD.
Setelah dibuka dengan beberapa pentas kesenian tradisional Bali yang “porno” (dari kacamata itu loyalis Arab-Taliban-Wahabi, paguyuban cecunguk monokultur Penegak Keadilan Seksual), kembali disuarakan butir-butir alasan pembangkangan terhadap RUU Pornografi serta tindak lanjutnya. Sama seperti Maret 2006 silam, DPRD Bali merespons positif unek-unek masyarakat Bali dan sepakat menolak RUU Pornografi serta berencana pada 22 September 2008 (sehari sebelum jadwal pengesahan) akan berangkat ke Jakarta untuk menegaskan sikap tersebut. Sementara itu, rencana perwakilan masyarakat Bali untuk menghadap langsung ke Presiden serta langkah hukum judicial review sedang disusun matang-matang. Oh, jika anda mengutip ujaran sinis dari tokoh antagonis di Batman, “Why so serious?”, well, berarti anda sama sekali tak paham urgensinya. RUU ini jika sukses digolkan maka semua sendi-sendi kehidupan di masyarakat akan balik lagi ke jaman dinosaurus. Bayangkan Afghanistan. Bayangkan Arab Saudi. Atau yang paling gampang bin sederhana untuk dicerna bagi anda-anda yang apatis dan menganggap perkara RUU Pornografi cuma remeh-temeh: BAYANGKAN seluruh pria dan wanita berdandan seperti anggota FPI, PKS, HTI, MMI; semua kaum sepuh pakaiannya diwajibkan meniru Abu Bakar Ba’asyir (hidup Arab, dirgahayu laki-laki pra-sejarah pemerkosa hak-hak perempuan!). DAN akan anda lihat banyak baliho-baliho "berbusana benar" macam begini bertebaran:

Lebih ekstrem, bukan tidak mungkin ke depannya Indonesia bakalan kayak gini:

Anda mau diseragamkan? Bali menolak. Saya juga ogah. Saya sama sekali tidak akan pernah mau tunduk pada mahluk bebal idiot bernama Balkan Kaplele serta partai pendorong syari’ah Partai Keadilan Sejahtera yang belakangan sok plural (ahem, yeah, right, you Saudia Arabia aficionados!). Saya sama sekali tidak akan pernah mau diperintah-perintah mahluk-mahluk bodoh berpikiran dangkal anggota tim perumus lulusan sekolah jaman batu itu. Saya tidak akan pernah mau wanita-wanita cantik dan baik hati pujaan saya dikriminalisasi, dianggap sebagai penyebab semua kemaksiatan di dunia, didikte untuk membungkus seluruh tubuh indahnya, dinistai, dinodai harga dirinya, diperlakukan bak hewan. Again and again: kenapa bukan manusia-manusia gua itu saja yang memborgol penis sifilisnya, kenapa harus para wanita yang dikerdilkan haknya?














Anda jangan pernah mau dibohongi, ini bukan Islamisasi. Ini ARABISASI.

Itu baru soal berbusana saja. Masih banyak, amat banyak lagi, aspek kehidupan lain yang akan cedera oleh produk dungu bikinan mahluk padang pasir bernama RUU Pornografi dan Pornoaksi tersebut.

Nah, jika anda sepakat dengan saya, jika anda ogah diatur-atur oleh oknum-oknum cacat mental penggembala onta bertopeng religi, ayo kembali turun ke jalan pada Selasa, 23 September 2008 ini (the exact time et cetera will be informed soon). Kumpul lagi di Parkir Timur Renon. Kita harus lawan, harus terus lawan, harus terus dan terus lawan pembodohan sistematis ini! Wahai kaum hawa yang akan paling menderita, yang akan menjadi bulan-bulanan---bahkan disamakan dengan hewan, yang akan jadi korban produk dari era dinosaurus ini, bangunlah dan bergerak. Jangan takut berhadapan dengan kumpulan orang bodoh dari jaman pra-sejarah karena mereka cuman didukung oleh pengangguran-pengangguran berkedok penegak keimanan yang sama dongoknya. Para wanita cantik dan pintar, jangan mau dijadikan hadiah Ramadan oleh manusia gua bernama Mahfudz Siddiq! Ayo lawan!

Merdeka Menjadi Bianglala,
RUDOLF DETHU
Relawan Komponen Rakyat Bali

*Baca juga diskusi ini agar cakrawala anda lebih terbuka di Forum Apa Kabar
*Ini berita tentang demo kemaren, diambil dari Bale Bengong
*Bukan main-main, ini sudah gawat sekali, Balkan Kaplele bersikeras akan mengesahkan RUU PP. Baca di bawah ini, dari Kompas edisi terbaru, Kamis 18 September 2008:

Permohonan Dukungan Penolakan Pengesahan RUU tentang Pornografi

Jakarta, 8 September 2008
No. : 35/ JKP3/ IX/2008
Perihal : Surat Permohonan Dukungan Penolakan Pengesahan RUU tentang Pornografi di Prolegnas Periode 2005-2009

Kepada Yth.
LSM, Kelompok Masyarakat, Organisasi Mahasiswa, Organisasi Masyarakat
di
Indonesia

Dengan hormat,
Bersama surat ini, kami memperkenalkan diri sebagai Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) yang dari tahun 2005 melakukan advokasi terhadap kebijakan baru yang terkait dengan kepentingan perempuan yang menjadi prioritas dalam Prolegnas periode 2005-2009. Beberapa kebijakan yang sudah atau sedang kami advokasi antara lain UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Kewarganegaraan, RUU Keimigrasian, RUU Kesehatan, R-KUHP, Amandemen UU Perkawinan, dan RUU Pornografi.

Terkait dengan salah satu kebijakan yang sedang dibahas di DPR RI saat ini yakni RUU tentang Pornografi, secara substansial dan prosedur pembahasan, kami menilainya masih banyak sekali kekurangannya. Oleh karena itu kami, JKP3 meminta dukungan dari semua organisasi yang Anda pimpin agar DPR RI melalui Sidang Paripurnanya menunda pengesahan RUU tentang Pornografi tersebut untuk periode Prolegnas 2005-2009.

Saat ini Pembahasan RUU tentang Pornografi telah masuk ke tahapan Timus (Tim Perumus), untuk kemudian akan diserahkan kembali naskahnya ke Panja (Panitia Kerja). Tahapan berikutnya akan diserahkan ke Bamus (Badan Musyawarah) untuk mendapatkan persetujuan tanggal pengesahan di Sidang Paripurna. Berdasarkan jadwal persidangan yang kami dapatkan, target pengesahan RUU tentang Pornografi ini sekitar 17 September 2008.

Apa yang menjadi concern JKP3 terhadap masalah pornografi sebagai berikut:
1. Penutupan akses anak terhadap materi pornografi serta penggunaan dan pencitraan anak sebagai komoditas pornografi. (Data statistik: LBH APIK dan Indonesia ACT)
2. Mengawal agar RUU ini tidak mengkriminalkan perempuan yang berperan sebagai model pornografi, apalagi yang merupakan "korban" pornografi.
3. Menuntut RUU ini agar fokus pada regulasi dan pemberian sanksi bagi pelaku usaha pornografi.
4. Memastikan pengaturan pornografi tidak mengatur di luar masalah pornografi yang hendak diselesaikan misalnya pengaturan mengenai pornoaksi atau gerak tubuh, pertunjukkan, budaya, seni, ekspresi individu, pendidikan seksual, perilaku seksual individu, dan hal-hal lain yang terkait dengan wilayah privat individu.
5. Memastikan RUU ini hanya mengatur pornografi di ruang publik dan tidak mengatur wilayah privat individu orang dewasi kecuali jika ada kekerasan di dalamnya.
6. Mengawal RUU Pornografi fokus untuk menjawab permasalahan aktual pornografi dan tidak menjadikannya sebagai ajang politisasi.
7. Mendukung pengaturan khusus mengenai pornografi yang menjawab secara tepat masalah pornografi dan tidak menimbulkan masalah baru di masyarakat.

Ketujuh hal diatas menjadi indikator untuk menilai apakah RUU Pornografi layak disebut sebagai RUU pornografi (fokus hanya pada pengaturan pornografi)? Apakah RUU telah mencerminkan perlindungan terhadap perempuan dan anak? Apakah mengatur ruang publik sehingga menutup akses anak terhadap pornografi? Apakah tetap menghormati ruang privat orang dewasa? Apakah memberi sanksi yang berat bagi pelaku industri pornografi dan tidak justru mengkriminalkan perempuan dan anak?

Di bawah ini beberapa hal penting yang menjadi kritisi dari kami berdasarkan draft RUU tentang Pornografi tertanggal 23 Juli 2008 .
1. Proses Pembahasan
Dalam proses pembahasan di Panja, dilakukan secara tertutup dan tidak ada informasi perkembangan pembahasan tersebut di media internal DPR ataupun media massa. Tiadanya sosialisasi kepada publik dan pihak-pihak yang terkait atas RUU Pornografi (yang notabene RUU yang berbeda dengan RUU APP) serta pembahasan di DPR yang tertutup, mengabaikan konteks situasi kepentingan masyarakat terhadap keberadaan RUU tentang Pornografi tersebut. Panja yang tertutup ini memperlihatkan tidak adanya political will anggota Panja untuk membuat rapat Panja ini menjadi terbuka bagi publik sebagaimana praktek-praktek pembahasan yang pernah ada (RUU Kewarganegaraan, RUU PTPPO dan RUU Pelayanan Publik), karena hal ini dimungkinkan dalam Tatib DPR.

2. Definisi
Dalam RUU tentang Pornografi (mengacu pada draft RUU III 23 Juli 2008), definisi Pornografi adalah "materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisanm suara, bunyi, gambar bergerak, animas, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Defenisi ini masih mengandung kelemahan yang mendasar dan terkesan menyesatkan (keluar dari wilayah pornografi).

Jika klausa "materi seksualitas" digunakan sebagai definisi pornografi, maka akan mereduksi makna seksualitas yang merupakan inti kehidupan jati diri manusia. Sehingga, bukan sesuatu yang seharusnya dikriminalkan. Selain itu kata "gerak tubuh" tidak termasuk dalam "grafis" atau tulisan, gambar, visual (Lihat KBBI), sehingga tidak termasuk kategori pornografi.
Klausa "membangkitkan hasrat seksual", masih tidak jelas sehingga dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (KBBI), tahun 2005, seksualitas meliputi ciri, sifat, atau peranan seks; dorongan seks; kehidupan seks.
Pada intinya, seksualitas adalah cara manusia mendefinisikannya sebagai makhluk seksual. Maknanya juga meliputi hasrat erotis, praktek-praktek dan identitas seksual, termasuk didalamnya perasaan-perasaan dan relasi seksual; cara bagaimana individu manusia dirumuskan atau ditentukan sebagai makhluk seksual oleh lainnya maupun cara individu mendefinisikan dirinya (misalnya bagaimana perempuan menampilkan dirinya sebagai seorang yang feminin atau feminitas, maskulinitas). Sehingga, materi seksualitas meliputi seluruh kehidupan manusia itu sendiri.

Kata "seksualitas" mengandung unsur erotika dan sensualitas yang merupakan sesuatu yang perlu dihargai dan tidak dapat disamakan dengan pornografi. Unsur utama dari pornografi adalah kecabulan (obscenity) dan ajakan untuk berbuat cabul. Pornografi pada dasarnya adalah tulisan atau gambaran tentang kemesuman dan kecabulan.
"Istilah pornografi menurut sejarahnya berasal dari bahasa Yunani; dari kata porne yang artinya prostitusi, pelacur; dan graphien yang artinya menggambar, menulis, gambar, atau tulisan.
Menurut Webster's New Dictionary (1990), pornografi berasal dari bahasa Yunani porne, yang artinya pelacur, dan graphein, yang artinya gambar, atau tulisan. Secara harfiah pornografi kemudian diartikan sebagai tulisan tentang kemesuman (the writing of harlots), atau penggambaran tentang tindak pelacuran (depictions of acts of prostitutes)."
(dikutip dari Naskah Akademik RUU Pornografi tanggal 13 Desember 2007)

3. Pasal 7 yang telah disepakati Panja berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi obyek atau model yang mengandung muatan pornografi". Rumusan ini sangat tidak adil bagi perempuan yang selama ini (dalam konstruksi budaya patriarkhi) tubuhnya kerap menjadi target eksploitasi dan komoditisasi dalam dunia prostitusi maupun pornografi (viktimisasi). Persetujuan korban (perempuan) seharusnya tidak dapat menjadi pembenaran atau menjadi alasan untuk menyalahkan bahkan mengkriminalkan mereka. Ini tentunya bertentangan dengan strategi pemberdayaan perempuan yang telah digulirkan oleh pemerintah selama ini. Rumusan ini bahkan tidak menyelamatkan anak-anak yang seharusnya dilindungi yang bahkan ‘consent’ (persetujuan) nya tidak bisa dijadikan pertimbangan untuk tidak melindungi mereka. RUU sepantasnya meregulasi pelaku industri
pornografi atau pihak-pihak yang yang lebih powerful dan lebih mengambil keuntungan dari pemanfaatan tubuh perempuan.

4. Bila RUU tentang Pornografi saat ini disahkan (hasil pembahasan terakhir), bakal mengkriminalkan para prostitusi jalanan juga pelaku ‘pornoaksi’ yang seharusnya di luar wilayah kompetensi RUU tentang Pornografi ini, yakni melalui ketentuan ‘jasa pornografi’ dalam Pasal 4 ayat (2). Jasa Pornografi ini yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 2 sebagai: "segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang- perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet dan komunikasi elektronik lainnya, serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya." Dalam DIM yang disepakati dan diputuskan Panja, ayat (2) point d. berbunyi: ‘menawarkan atau mengiklankan baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual’. Rumusan point (d) ini akan mengenai prostitut jalanan yang notabene merupakan korban kemiskinan struktural. Upaya mengkriminalkan prostitut tidak saja muncul di RUU Pornografi ini, tetapi juga dalam RUU Revisi KUHP maupun Perda-Perda diskriminatif yang sudah banyak bermunculan di berbagai daerah seiring dengan kebijakan Otonomi Daerah. Ketentuan-ketentuan seperti ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan karena melegitimasi upaya viktimisasi terhadap korban.

5. Panja juga telah menyepakati Pasal 5 (DIM 74) yang mengintervensi wilayah privat orang dewasa tanpa mempertimbangkan kepentingan hak-hak seksual orang dewasa sepanjang pornografi tersebut bukanlah dalam kategori hardporn yang pada umumnya eksploitatif, berisi kekerasan seksual terhadap perempuan dan atau melibatkan anak sebagai model (jenis pornografi yang dilarang). Pasal 5 tersebut berbunyi: "Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan barang pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4(1), kecuali yang diberikan kewenangan sesuai peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam Pasal 4(1) tentang pornografi yang dilarang juga memasukkan yang sifatnya softporn seperti ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, kegiatan seksual biasa (non degrading/unhuman dan non violence/exploitative) yang seharusnya tidak dikriminalkan bagi orang dewasa untuk memiliki atau menggunakannya demi kepentingan seksualnya sendiri yang tidak merugikan orang lain. Yang perlu dikriminalkan dalam konteks ini adalah pihak-pihak yang mendistribusikannya di ruang publik (media cetak/elektronik dll) sehingga mudah diakses anak-anak, atau membiarkan terakses (misalnya di warnet2), menawarkan atau membuat kelalaian (orang dewasa) sehingga terakses anak-anak.

6. RUU Pornografi juga belum mengakomodir kejahatan terkait pornografi yang marak terjadi dalam sepuluh tahun terakhir dan juga mengaburkan siapa pelaku dan korban. Padahal sejak awal masyarakat sipil (JKP3) sudah mengusulkan agar di pertimbangkan modus-modus kejahatan pornografi yang sangat merugikan perempuan. Bukan justru fokusnya pada mengkriminalkan model yang umumnya perempuan sebagai obyek pornografi. Pada dasarnya kejahatan dalam pornografi yang ditemukan sering dilakukan pelaku terutama industri pornografi dengan modus:
a. Penipuan atau penyesatan dalam pembuatan pornografi: korban diiming-imingi sejumlah uang; dijanjikan sesuatu; dibujuk atau didesak untuk membuka pakaiannya; dijanjikan untuk tidak disebarluaskan;
b. penyalahgunaan tujuan pengambilan gambar: yang sedianya bukan ditujukan untuk pornografi (seperti casting/pembuatan iklan), tetapi pada akhirnya dijadikan/dibuat dan atau disebarluaskan sebagai produk pornografi, tanpa persetujuan perempuan (objek); termasuk juga penggunaan tehnik, pencahayaan dan sudut pengambilan gambar yang mengekspose bagian tubuh tertentu (payudara, selangkangan, atau paha) di luar kehendak/kontrol dari perempuan;
c. pengambilan gambar atas aktifitas seksual dan atau tubuh seseorang tanpa seizin dan sepengetahuan orang tersebut, kemudian disebarluaskan oleh si pembuat gambar;
d. penyebarluasan tanpa sepengetahuan dan seizin orang yang bersangkutan, atas gambar-gambar dirinya dan atau miliknya yang sebenarnya merupakan hak privasi dari orang tersebut (pengambilan gambar dilakukan oleh dirinya untuk konsumsi dirinya sendiri, penyebarluasannya tanpa sepengetahuan dan seizin subyek gambar adalah pelanggaran hak privasinya);
e. memanfaatkan ketidakberdayaan perempuan karena kemiskinan struktural, sehingga perempuan mudah dijebak untuk menjadi objek pornografi;
f. memanipulasi ‘kesadaran’ perempuan yang berada dalam konstruksi budaya patriarki yang memposisikan perempuan sebagai objek, serta dalam situasi kapitalisme global, di mana materi menjadi ukuran utama.

7. Pertunjukan seni, budaya, adat istiadat dan tradisi sama dengan Pornografi?
Dalam RUU tentang Pornografi ini, pertunjukan seni dan budaya serta kepentingan adat istiadat dan tradisi yang bersifat ritual diperbolehkan untuk
pembuatan, penyebarluasan dan penggunaannya. Namun dalam pasal 14 ini, pertunjukan seni dan budaya serta kepentingan adat istiadat dan tradisi yang bersifat ritual tersebut dimasukkan dalam materi seksualitas dimana istilah materi seksualitas ini juga dijadikan definisi pornografi. Sehingga dengan kata lain RUU tentang Pornografi ini menggolongkan pertunjukan seni dan budaya serta kepentingan adat istiadat dan tradisi yang bersifat ritual ke dalam materi ponografi.

Berdasarkan ketujuh hal kritis di atas, maka kami JKP3 menilai bahwa RUU tentang Pornografi ini masih belum mengakomodir prinsip-prinsip utama pengaturan pornografi (tujuh indikator JKP3) tersebut di atas, dan tidak menjadikan keberagaman budaya dan adat istiadat bangsa Indonesia sebagai suatu pertimbangan penting dalam menyusun RUU ini.
Oleh karena itu, kami meminta dukungan dari semua organisasi untuk mengirimkan surat penolakan pengesahan RUU tentang Pornografi kepada Ketua Panja, Ketua Pansus dan Ketua DPR RI
...

Salam,
Ratna Batara Munti
Koordinator JKP3

RUU PORNOGRAFI MENGHANCURKAN KONSEP NEGARA BANGSA

RUU PORNOGRAFI MENGHANCURKAN KONSEP NEGARA BANGSA
By : Fauzie*

Mengapa RUU Pornografi harus ditolak ?

Pertama, RUU Pornografi adalah sebuah isu legislasi yang paling controversial sepanjang sejarah pembahasan RUU di Parlemen. Sebagai produk kebijakan publik, RUU ini belum selesai di tingkat konsep. Belum ada "konsensus nilai" tentang apa itu pornografi. Kalaupun DPR hendak memaksakan diri untuk segera mengesahkan RUU ini, itu artinya DPR akan mengesahkan RUU Pornografi sebagai konsep yang belum selesai. Tentunya, RUU yang dipaksakan akan menimbulkan persoalan yang lebih pelik lagi dari isu pornografi itu sendiri.

Kedua, RUU ini berpotensi menghancurkan konsep "negara bangsa" yang multi kultur yang telah dibangun selama kurang lebih 63 tahun sejak Indonesia merdeka. Negara kita adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Bahkan dalam UUD 1945 pasca amandemen telah diatur dengan jelas mengenai prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Kecenderungan yang muncul saat ini adalah; bahwa RUU Pornografi telah mengabaikan asas kebangsaan, kenusantaraan, kebhinekaan, keadilan, kesetaraan gender, dan kepastian hukum sebagai bagian penting dari perlindungan HAM. Ketidakmampuan DPR secara cerdas memahami konstitusi, negara hukum dan demokrasi, membuat UU yang dibuatnya telah menabrak konstitusi sebagai kredo demokrasi.

Ketiga, tidak ada definisi final yang memuaskan semua pihak tentang konsep "pornografi", bahkan ada kecenderungan definisi pornografi dibentuk berdasarkan pada sumber kekuatan nilai tertentu yang bersifat partikularistik. Negara ini adalah negara bangsa yang multi kultur, jika RUU ini hendak dijadikan UU, maka UU ini tidak boleh hanya. merepresentasikan kekuatan nilai yang lahir dari kelompok tertentu, lebih jauh RUU ini harus mampu merepresentasikan wajah multikulturalisme sebagai realitas politik dan budaya Bangsa Indonesia

Keempat; Sebuah RUU yg berada pada posisi controversial, tidak bisa dipaksakan menjadi UU. Jika ini ini dilakukan, justru yang muncul adalah suasana social
disorder, bukan social order. Kelompok-kelompok kepentingan yang tidak diakomodir dalam RUU tsb pasti akan resistance melakukan perlawanan.

Kelima; melibatkan masyarakat sebagai polisi moral dalam RUU tersebut justru akan memicu konflik horizontal, chaos, equielibrium social yang terganggu. Karena pasti akan ada kelompok tertentu dengan mengatasnamakan moral dan agama akan melakukan gerakan sweeping terhadap obyek-obyek yang diduga melakukan pelanggaran terhadap UU Pornografi.

Fauzie ; aktif di LBH Apik Jakarta.

Pernyataan Sikap KRB (Komponen Rakyat Bali)

Pernyataan Sikap KRB (Komponen Rakyat Bali)

1) Tetap Menolak RUU Pornografi.
2) Menyiapkan tim dan naskah judicial review dan uji formal RUU Pornografi.
3) Menyiapkan tim kecil untuk melakukan inventarisasi kekayaan budaya yang terancam eksistensinya oleh RUU Pornografi
4) Membentuk tim kecil untuk menghadap Presiden
5) Melakukan tekanan pada DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Pornografi.
6) Melakukan aksi massa pembangkangan sipil dengan penekanan pada aksi budaya.
7) Tetap menjaga agar seluruh perjuangan berada dalam bingkai ke-Indonesia-an dan ke-Bhineka-an.

Disepakati oleh 22 cendekiawan dan budayawan Bali di Danes Art Veranda pada 13 September 2008.
01) I Gusti Ngurah Harta (Koordinator KRB)
02) Ida Pedanda Sebali Tianyar (Rohaniawan)
03) Prof Dr I Wayan Dibia (Seniman Tari)
04) Sugi Lanus (Penulis)
05) Rudolf Dethu (Promotor Musik)
06) I Dewa Gede Palguna (Cendekiawan)
07) Tan Lioe Ie (Penyair)
08) Putu Wirata Dwikora (Cendekiawan)
09) Wayan Redika (Pelukis)
10) Aridus (Penulis)
11) Iwan Darmawan (Penulis)
12) Marlowe Bandem (DJ)
13) Yastini (Aktivis LSM)
14) Jango Paramartha (Kartunis)
15) Mas Ruscitadewi (Penyair)
16) Warih Wisatsana (Penyair)
17) Made Kaek (Pelukis)
18) Kun Adnyana (Pelukis)
19) Luh Anggreni (Aktivis LSM)
20) Popo Danes (Arsitek)
21) Prof. Dr. Dasi Astawa (Cendekiawan)
22) I Wayan Juniarta (Penulis)

Melawan Tirani: Pembangkangan Madani Dari Bali

Sejawat Muda Indonesia,

Bisa jadi sebagian dari anda belum ngeh bahwa RUU Pornografi dan Pornoaksi (RUU PP)---dahulu bernama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP)---sedang melenggang menuju formalisasi. “Disahkannya RUU ini merupakan hadiah terindah bagi PKS di bulan Ramadan ini,” ujar ketua fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mahfud Siddiq.

Benar, pada 23 September 2008 pokok-pokok pikiran duhai misoginis bin kontra Bhinneka Tunggal Ika ini dijadwalkan naik kelas menjadi Undang Undang. Rupanya jajaran anggota legislatif yang merasa dirinya semulia wakil Tuhan (namun lebih mencuatkan kesan wakil Taliban), kumpulan manusia di Dewan Perwakilan Rakyat yang memposisikan dirinya setengah Nabi (namun lebih mencuatkan kesan setengah Wahabi---yang dipenuhi mimpi mentransformasi NKRI nan seru-heterogen menjadi persemakmuran Arab Saudi yang tandus-homogen), gerombolan kurang kerjaan lagi picik ini diam-diam terus mendorong agar regulasi absolut mengenai “pembenahan moral bangsa” bisa segera diberlakukan. Ya, sepak terjang kental syari’ah itu sejatinya tak pernah berhenti bergulir, cuma direm sebentar pembahasannya. Saat gemuruh perlawanan bingar dimana-mana---dipelopori dengan gagah berani oleh Rakyat Bali pada 2006---dengan cerdiknya tim perumus menghentikan sejenak manuver berkedok agama tersebut. Giliran kontroversi beringsut sepi, Balkan Kaplele beserta handai taulan Penegak Keadilan Seksual (PKS, ahem) mencuri-curi berangkat lagi. Dengan justifikasi: konstitusi tentu diperbaiki di sana-sini, jika perlu sekalian direkonstruksi.

Walau telah direvisi, jika diperhatikan dengan cermat, substansi dari RUU PP versi kini sami mawon, sama sebangun, segendang sepenarian dengan yang sebelumnya. Masih tunggalnada, menistakan pluralitas. Tetap diskriminatif, memarjinalkan kaum perempuan. Kukuh berpedoman pada parameter moral khas jaman batu.

Kerabat Puspawarna, kita jangan sudi dikencingi oleh segelintir cecunguk monokultur yang jelas-jelas khianat pada asas kebinekaan Nusantara tercinta. Sabang hingga Merauke adalah wilayah bertabur bianglala dengan bermacam suku pula budaya. Keberagaman harus diberi ruang, mutlak mesti dihormati.

Bersatupadu ayo bersama-sama hadang mahluk-mahluk purba alumnus sekolah jaman pra-sejarah yang masih saja memperlakukan wanita-wanita cantik-baik hati pujaan kita bak warga negara kelas dua, selalu menganggap sumber kemaksiatan di dunia melulu kaum hawa, terus-terusan meminggirkan gadis-gadis bening seolah seonggok daging, sekadar hewan pecundang---menyuruhnya menutupi auratnya, membungkus tiap jengkal tubuh indahnya bagai membungkus benda mati---agar para lelaki tak terangsang (!) …Hey, kenapa justru bukan para adam dari era dinosaurus itu saja yang merantai-lalu-menggembok penis sifilisnya?

Cegah tangkal itikad aparat masuk merapat ke ruang privat. Urusan buah zakar memekar, vagina berliur, erotika tempat tidur, perkara senggama, ngapain juga pakai acara diatur negara segala??!!

Harus, serempak kita muncrati sperma, kaku tirani bertopeng religi ini.Harus, serentak kita ludahi ampas pejuh, belenggu ideologi idiot ini.Harus, kompak kita berangus menuju lubang anus, bentuk penyeragaman oh-ketinggalan jaman ini. Harus, sontak kita lawan berpedang logika, semua pembodohan sistematis ini.

Sebab walau berbeda-beda, tetapi kita tetap satu. Demi senantiasa jayanya kemajemukan bernama INDONESIA.

Merdeka Menjadi Bianglala,

RUDOLF DETHU
Relawan Komponen Rakyat Bali

REBOOT: REMEMBER, REMEMBER

2008, the year of the rat

remember, remember
we fear no darkness
as we are the light

remember, remember
bhinneka tunggal ika
diversity united

remember, remember
we are your daughters & sons
Indonesia, you will never walk alone

remember, remember
leechers, thieves and warmongers - we will never be afraid of you
you should be afraid of us, the people

to: malicious intent, treason and plot
remember, remember this:
we shall shoulder the burden of this good earth
and stand united against your tyrannical pounce

we shall prevail
hear, hear
we shall prevail
in rejecting your ponography bill once again!

Wednesday, September 17, 2008

Aksi Budaya Tolak RUU Pornografi

Aksi Budaya Tolak RUU Pornografi

Sorak sorai gema perdamaian dan lagu-lagu nusantara terdengar sahut menyahut dari sekitar 1000 orang yang turun ke jalan dalam aksi budaya menolak RUU Pornografi, Rabu (17/9) hari ini di Renon, Denpasar, Bali.

Seribuan orang dari berbagai agama dan profesi bersatu dalam Komponen Rakyat Bali (KRB) itu longmarch dari Lapangan Timur Bajra Sandhi Renon sampai kantor DPRD Bali. Musisi Bali dari berbagai aliran seperti Superman is Dead (SID) dan Johny Agung and Double T berjalan turut bernyanyi bersama di sepanjang jalan.

RUU Pornografi adalah penjelmaan RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) yang pada 2006 lalu memicu aksi penolakan besar-besaran masyarakat Bali sehingga akhirnya ditunda pembahasannya oleh DPR RI.

RUU ini dapat merusak kebhinekaan karena menerapkan standar moral dari kelompok tertentu yang menilai sebuah peristiwa atau seseorang melakukan tindakan porno.

Dalam RUU itu yang disebut pornografi sangat luas dan mempengaruhi berbagai bidang. Disebutkan pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

Menyikapi RUU Pornografi yang akan segera disahkan maka Komponen Rakyat Bali (KRB) dengan ini menyatakan dengan tegas menolak RUU Pornografi.

Pertimbangannya adalah dalam proses pembahasan RUU Pornografi, DPR tidak transparan dan tidak partisipatif, sehingga secara hukum pembahasan RUU tersebut cacat hukum karena telah melanggar prinsip-prinsip asas –asas Umum Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance).

RUU Pornografi tidak perlu, karena selama ini Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang sudah mengatur tentang kesusilaan dan pornografi, yaitu KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Penyiaran, UU Pers, dan lain-lain.

Hak atas tubuh adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun, oleh karenanya siapapun juga tak terkecuali negara harus melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi manusia.

RUU Pornografi sangat berbahaya, karena tidak mencerminkan kebhinekaan bangsa,
mengintervensi persoalan private warga negara tentang tubuh dan moralitas, khususnya tubuh perempuan. Memasung kebebasan berekspresi sebagai hak dasar manusia, rentan terhadap disintegrasi bangsa, dan multi tafsir sehingga dapat dijadikan alat untuk mengkriminalisasikan setiap orang oleh orang atau kelompok tertentu.

Luh De Suriyani
Freelance Journalist
http://lodegen.wordpress.com

Tuesday, September 16, 2008

RANGKUMAN DEBAT KONTROFERSI RUU PORNOGRAFI

RANGKUMAN DEBAT KONTROFERSI RUU PORNOGRAFI
TV One, 11 September 2008
Pkl. 19.30

Kontrofersi RUU Pornografi di tuangkan dalam bentuk debat oleh TV one. Mekanisme debat tersebut adalah ada 2 kelompok yang pro dan kontra terhadap pengesahan RUU Pornografi. Yang dipandu oleh Indiarto Priyadi untuk kelompok yang pro, dan Alfito Dinova untuk kelompok yang kontra.

1. Sesi I
Untuk Kelompok kontra terhadap RUU Pornografi diwakili oleh Ibu Eva Anggota Pansus RUUP dari fraksi PDIP DPR RI sebagai pembicara.
Untuk kelompok yang pro terhadap RUU Pornografi adalah Ali Mochtar anggota Pansus RUU-P DPR RI sebagai pembicara.

Termin I
Eva:
Draft RUU-P sudah selesai, dan sekarang baru mencapai taraf sosialisasi Publik. Dalam Pembahasan RUUP di dalam Pansus sendiri terpecah menjadi dua kubu yaitu, 1. Kubu yang pro terhadap RUU P dan 2. Kubu yang kontra terhadap RUUP. Menurut kami pihak yang kontra terhadap RUUP perlu mengkaji substansi RUUP terlebih dahulu, karena masih sangat banyak Pasal-Pasal yang sifatnya kontrofersial.

Alvito:
Rancangan Undang-undang ini berasal dari DPR bukan? Apakah DPR tidak punya target dalam pengesahan RUU ini?

Eva:
Ini tidak menyangkut masalah target, sekarang apa artinya RUU cepat-cepat disahkan, apabila masih banyak terbanyak kontrofersial didalamnya.

Ali Mochtar:
Indonesia adalah Negara yang paling bermoral, maka pornografi sangat menjadi urusan Indonesia. Di Indonesia ada 3 hukum yang dijadikan dasar
pembentukan Undang-Undang Yaitu Hukum adapt, Hukum Barat dan hokum Islam. RUU Pornografi sangat Indonesia sekali karena bertujuan untuk menyelamatkan moral bangsa ini. Klo di Negara barat orang hanya memakai BH berjalan-jalan tidak masalah, berbeda jika di Indonesia hanya orang gila saja yang berani berpakain seperti itu. (Allahu Akbar.…Back sound pendukung…)

Termin II
Indi:
Ada dualisme di dalam pansus, apa yang menjadi akar masalah?

Ali Mochtar:
Memang ada dualisme didalam pansus, debat malam ini lah salah satu indikasinya. Harusnya pihak yang kontra memikirkan ulang bagaimana nasib anak cucu kita bila kejahatan pornografi dihalalkan? Apa jadinya moral bangsa ini?

Eva:
Saya ini adalah victim dalam proses pembahasan RUU ini. Karena apa? Mekanisme pengambilan keputusan dilakukan dengan menggunakan mekanisme voting karena tidak tahan dengan pendiskusian materi yang sangat panjang, penentuan prosedur rapat saja dengan menggunakan voting ini tidak sesuai dengan asas ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’.

Setelah saya lihat dalam kamus bahasa amerika yang dimaksud dengan pornografi adalah bukan ketelanjangan tetapi kejahatan seksual seperti pencabulan, pemerkosaan dan sebagainya.

Alifito Dinova:
Ibu termasuk pihak yang pro terhadap RUU P atau yang kontra?

Eva:
Saya adalah pihak yang kontra terhadap pengesahan RUU Pornografi. Ada kecenderungan dari pansus yang mendefinisikan sendiri pornografi. Saya melihat ada kepentingan dibalik rencana pengesahan RUU-p, yaitu RUU-P akan dijadikan Payung hokum Perda-Perda Syariah.

Ali Mochtar:
Tidak ada hubungannya RUU-P dengan perda syariah, Perda syariah ada karena adanya otonomi daerah. Molornya pembahasan RUUP ini sangat menghamburkan anggaran Negara sehingga prosesnya harus dipercepat.

Indiarto Priadi:
Apakah berbicara masalah demokrasi itu berbicara masalah uang?

Eva:
Dalam Undang Undang otonomi daerah ditentukan bahwa otonomi daerah tidak boleh mengatur mengenai moralitas. Indonesia ini adalah Negara hokum yang berdasarkan pada Integrated system Law. Pengaturan pornografi itu sudah jelas dalam KUHP, Undang Undang Perlindungan Anak, Undang Undang Penyiaran, jadi tidak perlu ada aturan lain mengenai pornografi. Apalagi dalam Draft RUU tersebut hanya ada 2 pasal yang mengatur tentang anak.

Ali Mochtar:
Anda harus melihat draft RUU yang baru, ada 8 Pasal yang mengatur mengenai anak. Dan itu merupakan pasal substansi. Bukti apa yang diberikan bangsa ini walaupun Undang Undang itu sudah ada tapi kejahatan pornografi sangat marak terjadi.

Termin III
Eva:
Bila berbicara soal pornografi, bukan berbicara tentang undang undang yang baru, melainkan berbicara mengenai penegakan hokum di Indonesia yang tidak baik sehingga kejahatan pornografi banyak terjadi. Karena Pornografi sendiri sudah di atur dalam undang undang lain.

Ali Mochtar:
UU Pornografi ini sifatnya lex specialis, sama seperti UU KOrupsi.

Eva:
Mengapa ada undang undang korupsi? Karena pengaturan korupsi dalam hokum pidana tidak lengkap. Berbeda dengan pornografi yang sudah sangat jelas diatur dalam berbagai Undang Undang. Tinggal ditegakkan saja UU tersebut.

Ali Mochtar:
Faktanya saat ini polisi tidak bisa berbuat apa-apa saat ada kejahatan pornografi, UU ini dibuat untuk melindungi anak dan memuliakan perempuan. Ada perbedaan pengaturan di dalam UU yang sudah ada dengan dengan UU ini.

Eva:
Di dalam UU Perlindungan anak sudah ada 8 Pasal yang mengatur mengenai Pornografi.
UU ini adalah produk politis yang hanya akan digunakan sebagai "cantolan" perda-perda syariah.

Ali Mochtar:
Tidak ada urusannya natara UU P dengan Perda syariah. Sebelum UU ini ada Perda syariah sudah ada.

Eva:
Perda sudah ada namun belum ada paying hukumnya. Statement ini jelas diungkapkan oleh Pak Balkan (Ketua Pansus).

Tanggapan dari Peserta
Dari Pihak Yang Pro RUU-P
Bila tidak ada UU ini, bagaimana dengan nasib bangsa ini, karena menurut data yang saya dapatkan Indonesia adalah Negara ke 2 yang sangat pro terhadap pornografi. Mau dibawa kemana moral bangsa ini? (Allahu Akbar…seruan pendukung lain)

Eva:
Saya sangat setuju untuk menghapus pornografi tapi caranya adalah dengan menegakkan hokum di Indonesia.

Tanggapan dari Peserta yang kontra terhadap RUU P
Indonesia banyak terjadi pornografi karena penegakan hukumnya tidak jelas. Bila akan menghapus pornografi maka tegakkan hokum di Indonesia.

Ali Mochtar:
Masalah penegakan hokum itu memang benar, masalah ini karena Indonesia baru 10 tahun reformasi(karena menurut Thomas Hobes Negara akan stabil dalam hal penegakan hokum jika sudah dalam jangka 12 tahun reformasi)

Alfito Dinofa:
Apakah Pendapat anda semakin banyak UU semakin baik?

Ali Mochtar:
Benar, semakin banyak UU semakin baik. Mengapa harus takut pada UU? Indonesia termasuk Negara yang memiliki sedikit UU.

Termin IV
Indiarto Priadi:
Ini adalah termin terahir, apa pesan anda berkaitan dengan UU Pornografi ini?

Eva:
Menuju Indonesia yang lebih baik adalah apabila keberagaman di tegakkan, ada pembebasan ekspresi jangan samapai Negara masuk dalam ruang privat karena akan membuat Indonesia menjadi Negara yang totaliter.

Ali Mochtar:
UU ini harus ada bila moral bangsa ini ingin selamat, bila anak cucu kita ingin selamat dari ancaman pemerkosaan dan kejahatan pornografi lainnya

2. Sesi II
Untuk Kelompok kontra terhadap RUU Pornografi diwakili oleh Ibu Musda Mulia dari Fatayat NU sebagai pembicara.
Untuk kelompok yang pro terhadap RUU Pornografi adalah Rokhmat dari HTI sebagai pembicara.

Musda Mulia:
Bila berbicara masalah pornografi adalah berbicara mengenai pola asuh dalam keluarga, dimana ini menyangkut bagaimana ayah dan ibu memberikan bekal pendidikan moral kepada anak-anak mereka.

Rokhmat:
Ini bukan sekedar masalah orang tua, sekarang apakah orang tua harus menguntit anaknya kemana-mana?

Musda Mulia:
Sekarang apakah Negara juga bisa melindungi anak?

Rokhmat:
Arah RUU ini adalah menumpas para produsen-produsen Pornografi.

Musda Mulia:
Dalam RUU ini tidak ada satu Pasal pun yang memberi ruang untuk menindak pelaku kejahatan pornografi, yang ada hanya Pasal2 yang menjadikan wanita sebagai obyek criminal dan hal2 yang sifatnya masuk dalam hal-hal privat.

Rokhmat:
Klo belum tegas kan bisa ditegaskan, karena ini masih RUU, Apabila ada orang telanjang dan dipublikasikan ini merupakan kejahatan dan ini merupakan salah satu indikasi bahwa hokum di Indonesia mandul terhadap pornografi.

Musda Mulia:
Saya tidak percaya apabila ada UU ini pornografi akan hilang, saya tidak percaya itu. Sebelum ada UU ini kami FU sudah mensosialisasikan kontra kepada pornografi, ini kita konkritkan dengan jalan sosialisasi.

Rokhmat:
Di Amerika tidak ada UU Pornografi, setiap detik ada pemerkosaan.

Musda Mulia:
Faktanya UU ini akan membatasi ruang-ruang privat. Dan sangat berbahaya. Klo UU ini disahkan orang2 papua yang pake koteka dating ke Jakarta akan dipidanakan.

Rokhmat:
Mengapa yang dijadikan alas an sll masy adapt. UU ini hanya dipakai sebagai landasan untuk mengatur baik dan buruk.

Eva:
Baik dan Buruk menurut siapa? Ukurannya apa?

Rokhmat:
Menurut Budaya Indonesia

Eva:
Ada 366 kebudayaan di Indonesia, sekarang mau yang benar menurut siapa? Yang kita pakai adalah standart hokum bukan standart moral. Misalnya dengan masalah penggunaan baju bodo yang notabene transparan, dulu tidak ada masalah, tapi mengapa sekarang jadi dipermasalahkan? Apakah budaya di Indonesia akan hilang.

Rokhmat:
Standartnya adalah Allah, apa yang menurut Allah benar itulah ukurannya.
Insya Allah UU ini akan disahkan tanggal 23 september 2008.

Musda Mulia:
Belum tentu karena dari substansi nya saja masih dipertanyakan. Bamus belum tentu menyetujui. Karena masih banyak perdebatan masalah RUU ini.

Rokhmat:
Debat itu pasti ada tapi harus dicari solusinya. Dicari yang benar yang mana.

Musda Mulia:
Benar menurut siapa?

Rokhmat:
Menurut ALLah

Musda Mulia
Berbicara masalah kejahatan pornografi ada 2 hal yang harus dilaksanakan : 1. memperbaiki pola asuh dalam keluarga. Ditanamkan pelajaran moral kpd anak2 mereka. 2. Modus Kejahatan Pornografi harus ditindak. UU yang ada harus ditegakkan.

Rokhmat:
Saat ini tidak ada ortu yang dapat mencegah anaknya untuk tdk menonton hal2 yang sifatnya porno. Bagaimana jk orang tua mereka kerja?

Musda Mulia:
Larang penyiaran dong..

Rokhmat:
Pornografi ada dan harus diberantas, dengan apa?klo tdk ada UUnya. Masalah pasal 1 bisa menjadikan aurat sebagai batasan.

Musda Mulia:
Dalam islam aurat itu bermacam2 mau menggunakan tafsir yang mana? Di Jepang dan Bulgaria yang di berikan batasan adalah pornografinya.

Eva:
Saya punya data, dinegara arab, Negara yang tidak terdapat pornografi, angka perkosaanya sangat tinggi, tapi di swedia pornografi bebas beredar, tidak ada pemerkosaan,artinya bila berbicara pornografi itu berbicara masalah moral, bukan UU.

Musda Mulia:
Saya setuju pornografi harus dilarang tapi caranya tidak dengan UU ini karena masih dipertanyakan apakah UU ini efektif karena esensinya tidak mengarah pada pemberantasan pornografi. RUU ini perlu dikaji kembali, kalaupun RUU ini tidak ada sudah ada UU yang mengaturnya. Sehingga yang diperlukan adalah penguatan penegakan hokum.

Rokhmat:
Saya setuju dengan UU yang melarang pornografi. Saya tidak setuju pada pernyataan pornografi tergantung dari kepala, pornografi tergantung dari lingkungan untuk menegakkan ini adalah dengan kembali pada syariah jika akan mencari kebenaran yang sejati.


Demikian rangkuman diskusi yang dapat saya tuliskan. Bila ada kekurangn saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Kristina Viri

PERNYATAAN SIKAP

"RUU PORNOGRAFI: CERMIN KEGAGALAN NEGARA dalam PERLINDUNGAN KEBHINEKAAN BANGSA"

Setelah dua (2) tahun berlalu sejak ditolaknya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) oleh masyarakat Bali, masyarakat kembali dihentakkan dengan akan disahkannya RUU Pornografi yang secara substansial sama dengan RUU APP tahun 2006 (tidak ada perubahan).

Menyikapi RUU Pornografi yang akan segera disahkan maka kami bagian dari Komponen Rakyat Bali (KRB) dengan ini menyatakan dengan tegas: MENOLAK PENGESAHAN RUU PORNOGRAFI, hal ini berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
  1. Dalam proses pembahasan RUU Pornografi, DPR tidak transparan dan tidak partisipatif, sehingga secara hukum pembahasan RUU tersebut cacat hukum karena telah melanggar prinsip-prinsip asas-asas Umum Tata Pemerintahan yang Baik (good Governance);
  2. RUU Pornografi TIDAK PERLU, karena selama ini Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang sudah mengatur tentang kesusilaan dan pornografi, yaitu KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Penyiaran, UU Pers, dan lain-lain;
  3. Hak atas tubuh adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun, oleh karenanya siapapun juga tak terkecuali negara harus melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi manusia;
  4. RUU Pornografi sangat berbahaya, karena: tidak mencerminkan kebhinekaan bangsa; mengintervensi persoalan private warga negara tentang tubuh dan moralitas, khususnya tubuh perempuan; memasung kebebasan berekspresi sebagai hak dasar manusia; rentan terhadap disintegrasi bangsa; mulit tafsir sehingga dapat dijadikan alat untuk mengkriminalisasikan setiap orang oleh orang atau kelompok tertentu.

HARUS DIINGAT bahwa bangsa Indonesia ada karena adanya kehendak bersama diantara suku, agama, ras, yang ada diseluruh Indonesia untuk mengikatkan diri sebagai sebuah negara bangsa (Nation State) yang bernama Indonesia, oleh karenanya pengingkaran terhadap hal tersebut merupakan sebuah pengingkaran terhadap tujuan luhur para pendiri bangsa.

Denpasar, 15 September 2008

KOMPONEN MASYARAKAT BALI

  1. Agung Dwi Astika (YLBHI LBH Bali)
  2. Luh Putu Anggreni (KPAID Bali)
  3. Ngurah Karyadi (BISE)
  4. Sita Van Bemmelen (Bali Sruti)
  5. Sri Widhiyanti (PBHI Bali)
  6. Yastini ((YLBHI LBH Bali)
  7. Ni Nyoman Sri Mudani (Komponen Masyarakat Bali)
  8. Putu Sripuji Astuti W. (NIM)
  9. Suarti Priyatni (Tamiang Bali)
  10. Dewa Sunarya (PBHI Bali)
  11. Luh De Suriyani (Jurnalis)
  12. Putu Sudiastiti (Mitra KaSih Bali)
  13. Ade Latifah (P2TP2 Bali)
  14. Saichu Anwar (Manikaya Kauci)
  15. Liana Hematang (Yayasan Maha Bhoga Marga)
  16. I Made Suardana (IPW Bali)
  17. Inten (PDIP Bali)
  18. Hendy Tri Wahyono (YLBHI LBH Bali)
  19. Ni Putu Sawitri (Komponen Masyarakat Bali)
  20. Nyoman Parma (Komponen Masyarakat Bali)