Telanjang: Puncak Kesadaran Rekonsiliasi // The Naked Truth
Somewhat interesting come into sight in the RECONSCULTURE visual art exhibition presented from May 4 to June 27, 2006 at ARMA (Agung Rai Museum of Art) Ubud. In despite of prolonged debates over the Anti Pornography & Pornoaction Bill – a proposed law in which include harsh constraints toward artistic exploitation of the human body – within RECONSCULTURE there are a number of artworks stating otherwise; clearly depicting the beauty of intercourse and sensuality of the human body.
Kurator pameran Putu Wirata Dwikora mengaku tak cemas tentang tampilnya karya-karya yang oleh kalangan tertentu boleh jadi dipandang ‘’pornografi’’. Namun pihaknya, lebih memahami ini sebagai pilihan ekspresi yang berdasar pada konsep tematik dan juga estetika yang secara universal dapat diterima.
The exhibition curator, Putu Wirata Dwikora admits he has no worries with the displaying of those artworks although he recognizes that such representation might be deemed as pornography by some. Both the organizer and Putu comprehend this matter as an articulation of a universally accepted aesthetic concept and theme.
Bukankah berbagai ekspresi tentang tubuh telanjang telah begitu akrab dengan kalangan seniman-seniman di Bali dan seantero dunia? tanya Putu dan lanjut mencontohkan berbagai konsep tentang tubuh, dan juga seks telah banyak dieksplorasi kalangan seniman. “Perhatikan patung David karya Michelangelo atau visualisasi wanita penghibur “Les Demoiselles d’Avignon” oleh Pablo Picasso. Lihat juga karya-karya Basuki Abdullah, Dewa Putu Mokoh, dan almarhum IGAK Murniasih.
“Isn’t nudity a common visual language among artists all over the world?” he added rethorically. “Observe the works of past maestros’ including Michelangelo’s sculpture of David, or Picasso’s Les Demoiselles d’Avignon. At home, view the works of Basuki Abdullah, Dewa Putu Mokoh, and the late IGAK Murniasih”, he mentions a few renowned names.
Teramat jelas bahwa sensualitas bukanlah hal yang tabu dan malah persoalan tubuh dan senggama menawarkan ruang eksplorasi estetis yang amat luas dan menantang.
Clearly, he states that sensuality is not a taboo, to which shows that the splendor of human body as well as intercourse is expansive and justified domain for aesthetic explorations.
Pada pameran yang menghadirkan delapan perupa Nusantara ini (AA. Darmayuda, Made Sumadiyasa, Made Bakti Wiyasa, Made Mahendra Mangku, Nyoman Sujana Kenyem, AS. Kurnia, Polenk Rediasa, Wayan Kun Adnyana) memang tampil dua perupa, yaitu Polenk Rediasa dan Wayan Kun Adnyana yang dalam karya-karyanya menjelajah ruang-ruang visual yang berkenaan dengan ketelanjangan, dan juga seks.
(Polenk Rediasa - Sumber Kehidupan, 100x250 cm, Oil on Canvas, 2006)
In RECONSCULTURE, the artistic representations of Kun Adnyana and Polenk Rediasa - in addition to the diverse masteries of AA. Darmayuda, Made Sumadiyasa, Made Bakti Wiyasa, Made Mahendra Mangku, Nyoman Sujana Kenyem, and AS. Kurnia – clearly states their current creative stance is within the realms of visual spaces related to nudity and also sex.(Kun Adnyana - Puncak Pendakian, 160 x 140 cm, Acrylic on Canvas, 2006)
Kedua perupa ini nampak yakin persoalan tubuh adalah medan eksplorasi yang teramat luas untuk dijelajahi. Bahkan dalam konteks historis perupa Bali, baik otodidak dan akademis teramat berserak dalam mengungkap sisi paling telanjang dalam membaca tubuh, dan juga persoalan seksualitas manusia.
Both artists truly believe that “the body” represents a vast domain for creative explorations. Even so, they consider that sensuality and sexuality are non-exhaustive themes and possess deeper meaning for the Balinese artists - both autodidact and academic - as can be examined in the context of Balinese art history.
Kun menerangkan keyakinannya bahwa ritus tubuh adalah ritual untuk membebaskan jiwa dari kungkungan tubuh, dimana ketelanjangan adalah metafor dari puncak rekonsiliasi baik antar tubuh yang berbeda secara sosiologis, ataupun pertemuan jiwa-jiwa dalam semangat demi prokreasi.
Kun explains that the celebration of human body is a ritual to liberate sousl from the “physical imprisonment”, where sexuality, sensuality, and nudity are metaphors for the peaks of reconciliation of sociologically dissimilar entities - the congregation of souls in the spirit of procreation.
Sementara Polenk menjelaskan moralitas dalam hidup manusia adalah ihwal personal dan tidak mesti diatur oleh negara. Dalam karyanya yang bersubyek matter payudara perempuan - dengan gambaran embun yang menetes dari puting yang ranum – ia berkehendak mengisahkan bahwa payudara adalah sumber kehidupan. Tentu ini berkait dengan bagaimana kejernihan air susu, mengantar tiap manusia menapaki ruang hidup berikutnya.
Meanwhile, Polenk elaborates that saintliness in daily living is a private matter and need not be governed by the government through ludicrous laws such as the proposed Anti Pornography & Pornoaction Bill. In one particular piece – visualization of bare-naked breast and beautifully red and firm nipple drenched in small dew drops - he yearns to depict breasts as source of life nourishments. This relates to the pureness of motherly milk that nurtures human in early tales of life.
RECONSCULTURE oleh delapan perupa nusantara ini, merebakan keindahan; sebuah aspek kultural yang bersandar pada transformasi lanskap fisikal dan fisiologis atas pembacaan sosiologis dunia kontemporer. Even ini pula mengikhtiarkan bagaimana keberagaman ekspresi seni yang menawarkan keindahan fisik (visual), dan juga pendalaman konseptual adalah suatu ekspresi rekonstruktif menuju dunia baru, yang memperkuat kesinambungan kemanusiaan yang penuh kepekaan perdamaian, persaudaraan dan rasa hormat.
In our view, RECONSCULTURE envisions beauty as an integral cultural aspect founded from the transformations of physical and physiological landscapes of contemporary times. Therein, the diverse aesthetic expressions - the physical (visual) beauty and multi-layered conceptions - presented are evidence of reconstructive expressions for the sake of a “balanced” future world. RECONSCULTURE emphasizes the necessities of embracing peace, unity, and respect for the sake of humanity.
Simak lebih lanjut di http://reconsculture.blogspot.com
Learn more at http://reconsculture.blogspot.com
Peace, Love & Understanding,
Marlowe and Jun