Kertas Posisi : Catatan Singkat Atas RUU Pornografi
A Patra M Zen
Ketua Badan Pengurus
Yayasan LBH Indonesia
Pengantar
Di banyak negara, masalah pornografi memang diatur dalam dalam undang-undang. Pendefinisian pornografi dan muatan yang diatur mesti dilakukan lewat pertimbangan yang serius agar tidak menimbulkan masalah dalam penerapannya.
Apa yang disebut dengan pornografi sangat bergantung dari pandangan individu. Definisi ini bisa berbeda antara satu budaya masyarakat dengan budaya masyarakat yang lain. Istilah ini pun dapat berbeda dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Pengaturan dalam undang-undang diperlukan terutama untuk material-material yang secara sengaja diproduksi untuk tujuan memenuhi birahi seksual (sexual arousal) konsumennya. Pengaturan juga ditujukan untuk melindungi kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak.
Dengan demikian, bisa saja pengaturan dan sanksinya dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau criminal law, antara lain seperti di Kanada (1951) yang mengatur pornografi yang melibatkan anak-anak. Di negara ini dibentuk The Committee on Sexual Offences against Children and Youth (the Badgley Committee) dan the Special Committee on Pornography and Prostitution (the Fraser Committee) untuk melakukan pengawasan.
Section 163.1 of the Criminal Code Kanada yang diterbitkan pada 1993. memuat definisi pornografi anak, yakni: "(1) visual representations of explicit sexual activity involving anyone under the age of 18 or depicted as being so; (2) other visual representations of a sexual nature of persons under the age of 18; and; (3) written material or visual depictions that advocate or counsel illegal sexual activity involving persons under that age."
Aturan yang hampir sama dapat ditemukan di Inggris, yakni Section 160 Criminal Justice Act (1988), yang mengatur pornografi anak-anak dibawah 16 tahun. Selain itu, Inggris memiliki the Obscene Publications Act (1959) yang mengatur publikasi material yang memuat pornografi.
A. Definisi yang Amat Luas
Di Indonesia, definisi pornografi dalam Pasal 1 ayat (1) RUU Pornografi sebagai berikut:
"Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat."
Definisi di atas sangat luas dan sulit untuk diterapkan, apalagi ditambah dengan anak kalimat nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat, karena seperti dikemukakan di bagian awal, nilai-nilai budaya masyarakat berlainan di masing-masing wilayah.
B. Materi dan Sanksi Pidana Sudah Diatur dalam UU yang Telah Berlaku
Selanjutnya, jika melihat ketentuan pidana yang diatur dalam UU ini, maka UU ini pada dasarnya mengatur masalah publikasi materi pornografi dan pornografi melibatkan anak-anak.
Tabel Sanksi Pidana dalam RUU Pornografi
No. 1
Pasal: Pasal 30
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000. 000,00 (enam miliar rupiah).
No. 2
Pasal: Pasal 31
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah).
No. 3
Pasal: Pasal 32
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang melibatkan anak
Pidana: Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000. 000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000. 000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
No. 4
Pasal: Pasal 33
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi
Pidana: Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000. 000,00 (dua miliar rupiah).
No. 5
Pasal: Pasal 34
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi
Pidana: Pidana paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah)
No. 6
Pasal: Pasal 35
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000. 000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000. 000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
No. 7
Pasal: Pasal 36
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi
Pidana: Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000. 000,00 (lima miliar rupiah).
No. 8
Pasal: Pasal 37
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000. 000,00 (enam miliar rupiah).
No. 9
Pasal: Pasal 38
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang mempertontonkan diri atau dipertontonkan dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya
Pidana: Dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000. 000,00 (lima miliar rupiah).
No. 10
Pasal: Pasal 39
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah).
No. 11
Pasal: Pasal 40
Unsur Tindak Pidana: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37, dan Pasal 38 melibatkan anak dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37, dan Pasal 38
Pidana: Ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Sumber: Diolah dari RUU Pornografi.
Sejumlah muatan dalam RUU Pornografi pada dasarnya, telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah berlaku. Berikut ini contoh-contoh materi muatan dalam RUU Pornografi yang pada prinsipnya sudah diatur dalam undang-undang yang lain.
Muatan RUU Pornografi telah diatur dalam UU Perlindungan Anak
Khusus untuk pengaturan pornografi anak dalam RUU Pornografi, materi yang diatur, pada dasarnya telah dimuat dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan pidana dalam UU Perlindungan Anak secara luas telah mengatur sanksi pidana terhadap kejahatan terhadap anak, termasuk diskriminasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan ancaman kekerasan, penganiayaan, pemaksaan persetubuhan, perbuatan cabul, memperdagangkan, menjual atau menculik anak, serta mengeksploitasi seksual anak dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Sebagai tambahan materi tersebut juga telah dimuat dalam the Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children Prostitution and Child Pornography, dimana Indonesia pada 24 September 2001 tercatat sebagai Negara Pihak yang menandatangani Protokol Opsional ini.
Muatan RUU Pornografi Sudah Dimuat dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik
Berkaitan dengan penyebaran informasi dan dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan juga sudah diatur dalam UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam UU tersebut, setiap orang yang memenuhi unsur tindak pidana, dipidana paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
C. Penyempurnaan KUHP
Sejumlah muatan dalam RUU Pornografi pada dasarnya sudah dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, antara lain: pasal-pasal yang berkaitan dengan perbuatan cabul. Pasal 289 KUHP menyatakan: "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."
Jika terdapat tindak pidana berkaitan dengan kehormatan kesusilaan yang masih perlu diatur, tentu lebih tepat dimuat dalam KUHP. Secara umum, definisi yang dapat digunakan berkaitan dengan unsur-unsurnya, yakni: (1) merendahkan martabat manusia; (2) eksploitasi; (3) pemaksaan, dan (4) kekerasan.
D. Kesimpulan
Proses pembahasan RUU Pornografi sebaiknya disingkronkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, terutama berkaitan dengan definisi. Lebih pas materi undang-undang ini, terutama berkaitan dengan perbuatan pidana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Jakarta, September 2008
Agustinus Edy Kristianto
Director of Publication and Civic Education
Board of Directors Indonesian Legal Aid Foundation/Foundation Indonesienne d'aide Juridique
Jalan Diponegoro No. 74 Jakarta 10320
INDONESIA