Thursday, September 25, 2008

Rezim Ngeyel

Teman-teman semua, kita berhadapan dengan REZIM NGEYEL.

Kemarin saya mengikuti pertemuan menolak RUU Pornografi yg diadakan LBH APIK di Jakarta Media Center (25 September 2008). Kesimpulan sementara saya melihat reaksi teman-teman dari berbagai daerah seperti ini: Suara penolakan merata di kalangan aktivis, tapi tidak terformulasi secara strategis.

Pansus DPR RI urusan porno (Balkan dkk) adalah kelompok yg tidak menghargai demokrasi. Di salah satu stasiun TV Balkan bilang: "Kalau tentara punya senjata, kami punya voting!".

Balkan pendekatannya terhadap demokrasi sangat struktural (50%+1 suara), sementara bangsa ini ada (kepulauan di Nusantara mau bersatu) karena konsensus berdasar substansi. Cara pikir Balkan dkk mengancam NKRI. Sesungguhnya karena berbagai persoalan yang dihadapi Papua (terhina karena standarisasi Ujian Nasional, RUUP, kerusakan lingkungan, pembagian kekayaan alam yg tidak adil antara pusat-daerah, kasus HAM dkk) --dengan meminjam logika Balkanisasi -- maka Papua bisa pisah dari Indonesia dengan 50%+1 suara rakyat Papua. Balkan ketok palu, Papuan kibar bendera. Begitulah kalau pola Balkan diterapkan dalam melihat demokrasi.

Kalau Sumpah Pemuda adalah cikalbakal kebulatan tekad pembentukan NKRI, maka proses RUUP yang diketuai Balkan akan menjadi cikal bakal lahirnya keinginan merdeka berbagai suku bangsa. Kelompok Balkanisasi hanya melihat demokrasi adalah role of majority (yang arogan), mereka abai kalau demokrasi mengamanatkan kita to learn how to live together (in harmony).

Balkan dkk memberi contoh (BURUK): "Kalau di Senayan bisa memaksa voting, kenapa di daerah (yang tertindas atau beda kultural) tidak direferendum?" Rakyat kebanyakan akan semakin membenci Jakarta (Senayan/center gov), dan akibatnya: Mereka akan mencari alternatif pemecahannya (termasuk politik pemisahan). Permintaan Otsus (Otonomi Khusus) dari berbagai daerah (termasuk Bali) tidak lain ungkapan yang terbungkus, kalau saya membaca pesan dibalik Otsu secara terbuka penjelasannya seperti ini: "Kami sebenarnya tak begitu suka Indonesia, tapi karena tak enak saja pisah dari Indonesia, sudahlah.. beri kami Otsus."

Dulu Jogja memang memperjuangkan Otsus karena alasan keunikan kultural, tapi sekarang perjuangan mendapat Otsus adalah keinginan merdeka yang diperlunak.

Munculnya anggota DPR RI semacam Balkan dkk (Balkanisasi) mengganggu kehidupan kita berbangsa. Saya ngeri membayangkan nasib bangsa ini.

Salam Bhinneka Tunggal Ika,
Sugi Lanus
Spokesperson Komponen Rakyat Bali

Wednesday, September 24, 2008

Elemen Masyarakat Jabar Tolak RUU Pornografi

Rabu, 24 September 2008 00:17 WIB
BANDUNG, KOMPAS - Berbagai elemen masyarakat Jawa Barat yang tergabung dalam Koalisi Organisasi Non-Pemerintah Jabar menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Pornografi, Selasa (23/9) di Bandung. Mereka menyikapi RUU itu sebagai upaya penyeragaman kultur dan pluralitas bangsa Indonesia.

Direktur Institut Perempuan Ellin Rozana mengatakan, definisi pornografi sebagai materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, gambar, kartun, syair, percakapan, ataupun media komunikasi lain yang dapat membangkitkan hasrat seksual menimbulkan ambiguitas pemahaman.

”Tidak ada batasan jelas tentang materi apa yang bisa digolongkan sebagai materi seksualitas, serta sejauh mana hal itu dapat merangsang hasrat seksual,” kata Ellin.

Definisi dan pemahaman tentang pornografi, kata Ellin, pada dasarnya bersifat subyektif dan amat dipengaruhi oleh konteks sosial dan kultur tempat seseorang tinggal dan dibesarkan. Membuat satu definisi yang paten tentang pornografi ialah upaya penyeragaman.

Pasal 8 RUU Pornografi juga dinilai tidak berempati terhadap perempuan sebagai korban industri seksual. Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi obyek atau model yang mengandung pornografi.

”Perempuan yang menjadi obyek industri seksual adalah korban ketidakmampuan ekonomi, keterbatasan pemahaman, serta terjebak dalam konstruksi budaya patriarki yang kerap kali menjadikan tubuh mereka sebagai komoditas. Karena itu, menghukum mereka sama artinya menjatuhkan hukuman ganda,” ujar Ellin.

Ketua Forum Aktivis Bandung (FAB) Radhar Tribaskoro mengatakan, penolakan terhadap RUU Pornografi tidak berarti pembelaan terhadap pornografi.

Sedangkan Ketua Kelompok Peduli Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KP3A) Ani Herningsih mengatakan, RUU itu berpotensi memicu tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. Sebab, Pasal 21 menyebutkan masyarakat dapat berperan serta mencegah penggunaan dan penyebarluasan pornografi.

”Hal ini bisa memicu sweeping dan pembakaran kaset atau majalah pornografi oleh oknum sipil,” katanya.

Di Bali, sekitar 3.000 warga Pulau Bali kembali turun ke jalan di Denpasar, Selasa. Mereka menegaskan sikap untuk menolak keberadaan dan pembahasan RUU Pornografi karena RUU itu dinilai mencederai keberagaman Indonesia.

Untuk semua
Di Pontianak, seperti dilaporkan Antara, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Kalimantan Barat berunjuk rasa di Tugu Degulis Universitas Tanjungpura, Selasa, mendukung pengesahan RUU Pornografi.
Ketua FSLDK Kalbar Deky Mulyadi mengatakan, RUU Pornografi tidak punya kepentingan terhadap agama maupun golongan tertentu. ”RUU Pornografi untuk semua umat beragama,” katanya.

Menurut dia, rancangan undang-undang tersebut merupakan langkah awal membentuk moralitas masyarakat Indonesia yang lebih baik.

Ia menambahkan, dukungan FSLDK Kalbar terhadap RUU Pornografi karena RUU itu tidak membatasi seseorang dalam berkarya atau berkreasi seni. RUU itu juga dinilai tidak bermaksud menempatkan perempuan sebagai obyek kriminalisasi. ”Rancangan undang-undang ini mempunyai sanksi lebih jelas dan tegas untuk memberikan efek jera,” kata Deky. (REK/BEN)

Tuesday, September 23, 2008

Kertas Posisi: Catatan Singkat Atas RUU Pornografi

Kertas Posisi : Catatan Singkat Atas RUU Pornografi
A Patra M Zen
Ketua Badan Pengurus
Yayasan LBH Indonesia

Pengantar
Di banyak negara, masalah pornografi memang diatur dalam dalam undang-undang. Pendefinisian pornografi dan muatan yang diatur mesti dilakukan lewat pertimbangan yang serius agar tidak menimbulkan masalah dalam penerapannya.
Apa yang disebut dengan pornografi sangat bergantung dari pandangan individu. Definisi ini bisa berbeda antara satu budaya masyarakat dengan budaya masyarakat yang lain. Istilah ini pun dapat berbeda dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Pengaturan dalam undang-undang diperlukan terutama untuk material-material yang secara sengaja diproduksi untuk tujuan memenuhi birahi seksual (sexual arousal) konsumennya. Pengaturan juga ditujukan untuk melindungi kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak.
Dengan demikian, bisa saja pengaturan dan sanksinya dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau criminal law, antara lain seperti di Kanada (1951) yang mengatur pornografi yang melibatkan anak-anak. Di negara ini dibentuk The Committee on Sexual Offences against Children and Youth (the Badgley Committee) dan the Special Committee on Pornography and Prostitution (the Fraser Committee) untuk melakukan pengawasan.
Section 163.1 of the Criminal Code Kanada yang diterbitkan pada 1993. memuat definisi pornografi anak, yakni: "(1) visual representations of explicit sexual activity involving anyone under the age of 18 or depicted as being so; (2) other visual representations of a sexual nature of persons under the age of 18; and; (3) written material or visual depictions that advocate or counsel illegal sexual activity involving persons under that age."
Aturan yang hampir sama dapat ditemukan di Inggris, yakni Section 160 Criminal Justice Act (1988), yang mengatur pornografi anak-anak dibawah 16 tahun. Selain itu, Inggris memiliki the Obscene Publications Act (1959) yang mengatur publikasi material yang memuat pornografi.
A. Definisi yang Amat Luas
Di Indonesia, definisi pornografi dalam Pasal 1 ayat (1) RUU Pornografi sebagai berikut:
"Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat."
Definisi di atas sangat luas dan sulit untuk diterapkan, apalagi ditambah dengan anak kalimat nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat, karena seperti dikemukakan di bagian awal, nilai-nilai budaya masyarakat berlainan di masing-masing wilayah.
B. Materi dan Sanksi Pidana Sudah Diatur dalam UU yang Telah Berlaku
Selanjutnya, jika melihat ketentuan pidana yang diatur dalam UU ini, maka UU ini pada dasarnya mengatur masalah publikasi materi pornografi dan pornografi melibatkan anak-anak.

Tabel Sanksi Pidana dalam RUU Pornografi
No. 1
Pasal: Pasal 30
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000. 000,00 (enam miliar rupiah).
No. 2
Pasal: Pasal 31
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah).
No. 3
Pasal: Pasal 32
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang melibatkan anak
Pidana: Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000. 000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000. 000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
No. 4
Pasal: Pasal 33
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi
Pidana: Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000. 000,00 (dua miliar rupiah).
No. 5
Pasal: Pasal 34
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi
Pidana: Pidana paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah)
No. 6
Pasal: Pasal 35
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000. 000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000. 000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
No. 7
Pasal: Pasal 36
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi
Pidana: Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000. 000,00 (lima miliar rupiah).
No. 8
Pasal: Pasal 37
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000. 000,00 (enam miliar rupiah).
No. 9
Pasal: Pasal 38
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang mempertontonkan diri atau dipertontonkan dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya
Pidana: Dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000. 000,00 (lima miliar rupiah).
No. 10
Pasal: Pasal 39
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah).
No. 11
Pasal: Pasal 40
Unsur Tindak Pidana: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37, dan Pasal 38 melibatkan anak dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37, dan Pasal 38
Pidana: Ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Sumber: Diolah dari RUU Pornografi.

Sejumlah muatan dalam RUU Pornografi pada dasarnya, telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah berlaku. Berikut ini contoh-contoh materi muatan dalam RUU Pornografi yang pada prinsipnya sudah diatur dalam undang-undang yang lain.
Muatan RUU Pornografi telah diatur dalam UU Perlindungan Anak
Khusus untuk pengaturan pornografi anak dalam RUU Pornografi, materi yang diatur, pada dasarnya telah dimuat dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan pidana dalam UU Perlindungan Anak secara luas telah mengatur sanksi pidana terhadap kejahatan terhadap anak, termasuk diskriminasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan ancaman kekerasan, penganiayaan, pemaksaan persetubuhan, perbuatan cabul, memperdagangkan, menjual atau menculik anak, serta mengeksploitasi seksual anak dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Sebagai tambahan materi tersebut juga telah dimuat dalam the Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children Prostitution and Child Pornography, dimana Indonesia pada 24 September 2001 tercatat sebagai Negara Pihak yang menandatangani Protokol Opsional ini.

Muatan RUU Pornografi Sudah Dimuat dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik
Berkaitan dengan penyebaran informasi dan dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan juga sudah diatur dalam UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam UU tersebut, setiap orang yang memenuhi unsur tindak pidana, dipidana paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

C. Penyempurnaan KUHP
Sejumlah muatan dalam RUU Pornografi pada dasarnya sudah dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, antara lain: pasal-pasal yang berkaitan dengan perbuatan cabul. Pasal 289 KUHP menyatakan: "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."
Jika terdapat tindak pidana berkaitan dengan kehormatan kesusilaan yang masih perlu diatur, tentu lebih tepat dimuat dalam KUHP. Secara umum, definisi yang dapat digunakan berkaitan dengan unsur-unsurnya, yakni: (1) merendahkan martabat manusia; (2) eksploitasi; (3) pemaksaan, dan (4) kekerasan.

D. Kesimpulan
Proses pembahasan RUU Pornografi sebaiknya disingkronkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, terutama berkaitan dengan definisi. Lebih pas materi undang-undang ini, terutama berkaitan dengan perbuatan pidana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Jakarta, September 2008
Agustinus Edy Kristianto
Director of Publication and Civic Education
Board of Directors Indonesian Legal Aid Foundation/Foundation Indonesienne d'aide Juridique
Jalan Diponegoro No. 74 Jakarta 10320
INDONESIA
Visit our website: http://www.ylbhi.or.id/

RUU Pornografi Harus Sinkron Dengan Undang-Undang Lainnya

Siaran Pers
Yayasan LBH Indonesia
Nomor 019/SP/YLBHI/IX/ 2008

RUU Pornografi Harus Sinkron Dengan Undang-Undang Lainnya

Rencana DPR mengesahkan RUU Pornografi menjadi undang-undang pada Rabu, 23 September 2008, kemungkinan besar akan batal, menyusul keberatan sejumlah pihak atas materi yang tercantum dalam RUU tersebut. RUU Pornografi, yang sebelumnya sempat dinamakan RUU Antipornografi dan Antipornoaksi, keberadaannya memang selalu mengundang polemik di masyarakat. Diyakini bahwa keberadaan dan sejumlah materi yang tercantum dalam RUU Pornografi tersebut melanggar prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia, terutama hak-hak dasar kaum perempuan.

Kami menilai bahwa pembahasan RUU Pornografi yang telah dilakukan selama ini tidak sinkron dengan keberadaan dan prinsip-prinsip yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan lainnya di Indonesia (Kertas Posisi terlampir). Hal itu terutama berkaitan dengan pendefinisian istilah pornografi yang kami nilai terlalu luas dan sulit diterapkan di masyarakat. Terutama sekali pada kalimat "nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat" yang faktanya bahwa nilai budaya masyarakat berlainan di setiap wilayah.

Pasal 1 ayat (1) RUU Pornografi mendefinisikan pornografi sebagai, "…materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat."

Selain itu juga kami menilai bahwa keberadaan RUU Pornografi secara nyata-nyata telah mengabaikan prinsip-prinsip dan ketentuan hukum menyangkut materi pornografi yang sebetulnya sudah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia. Materi pornografi anak sudah tercantum dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; berkaitan dengan penyebaran materi melalui informasi dan dokumen elektronik sudah tercantum dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; materi-materi lain tentang kesusilaan, misalnya, telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti dalam Pasal 289 KUHP yang menyatakan: "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."

Kami meminta supaya pembentuk undang-undang melakukan sinkronisasi atas keberadaan dan materi RUU Pornografi dengan undang-undang lain yang ada di Indonesia. Lebih tepat jika sepanjang menyangkut perbuatan-perbuatan pidana, diatur dalam KUHP.

Jakarta, 23 September 2008
Yayasan LBH Indonesia
Badan Pengurus
Agustinus Edy Kristianto
Direktur Publikasi dan Pendidikan Publik

Monday, September 22, 2008

AKSI BUDAYA 23/09/08

Jangan pantang menyerah.
Jangan mau kecolongan lagi.
Ayo terus lawan, terus dan terus lawan, mari beramai-rami turun ke jalan menolak RUU Pornografi BESOK Selasa 23 September 2008

Kumpul di Parkir Timur Renon jam 9 pagi.
Bawa pita/bendera Merah Putih.

Demo kali ini bertema Parade Budaya + pertunjukan musik & tari.
Direncanakan juga beberapa perwakilan Masyarakat Bali kembali hendak menemui Ketua DPRD---kali ini disertai Gubernur juga, meminta mereka sebagai representasi formal provinsi Bali untuk secara resmi menandatangani penolakan terhadap RUU yang jelas-jelas mencederai puspawarna, pelangi indah perbedaan di bumi Nusantara ini.

Selalu junjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika!
Karena majemuk adalah Indonesia!

Merdeka Menjadi Bianglala,
RUDOLF DETHU
Relawan Komponen Rakyat Bali