Swastika NAZI?
Hidup dalam damai dengan semua aliran keagamaan adalah prinsip moral yang kami coba tawarkan di Jiwamerdeka. Sebuah tawaran yang tercermin dalam karya grafis Coexist (Hidup Bersama).
Sebagai sebuah tawaran, tentunya setiap orang memiliki hak untuk menerima atau menolak prinsip moral itu.
Yang menyedihkan adalah kalau penolakan (juga penerimaan) itu tidak dilandasi dengan kesadaran dan pemahaman yang memadai, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh dua pemberi komentar Anonimus terhadap karya grafis Coexist di atas.
Menyamakan Swastika Hindu dengan Swastika NAZI jelas-jelas menunjukkan pemahaman historis dan filosofis yang dangkal.
Dari bentuknya saja sudah ada perbedaan yang sangat mendasar, Swastika Nazi itu "sinistroverse"; miring ke kiri sekitar 45 derajat, sedangkan Swastika Hindu berdiri tegak.
Belum lagi perbedaan menyangkut nilai-nilai simbolik kemanusiaan yang diwakili oleh kedua Swastika yang berbeda tersebut.
Sebagai bahan pikiran, di bawah ini adalah makalah saya "Tentang Simbol dan Kreativitas" yang salah satu bagiannya secara khusus memaparkan dimensi historis dan filosofis Swastika.
------------------------------------------------------------------------------------------------
Tentang Simbol dan Kreativitas
Oleh: I Wayan Juniartha
Empat Sebab
Selama ini ada empat sebab utama di balik perselisihan mengenai simbol yang umumnya melibatkan kalangan keagamaan dengan kalangan kreatif.
Yang pertama adalah semangat fundamentalisme agama. Semangat, yang didasari pada keinginan untuk memurnikan dan memperteguh keyakinan relijius, tersebut bermuara pada upaya-upaya penegakan identitas keimanan. Simbol-simbol suci keagamaan merupakan salah satu elemen paling penting dalam menegakkan identitas keimanan. Karenanya, harus dijaga agar tidak “dicemari” dan digunakan oleh pihak “lain”. “Pencemaran”, baik dalam bentuk pengubahan atau pentafsiran ulang atas simbol tersebut, serta penggunaan oleh pihak “lain” berpeluang melemahkan kekuatan simbol itu sebagai identitas keimanan. Sebagai identitas keimanan, simbol tersebut adalah milik ekslusif kelompok pengiman tersebut. Hanya kelompok pengiman tersebut yang berhak menggunakan serta mentafsir ulang simbol tersebut.
Yang kedua adalah ketidakpekaaan seniman. Ketidakpekaan, baik yang disebabkan kebodohan maupun kesengajaan seniman, dalam menggunakan serta mentafsirkan simbol-simbol suci keagamaan secara provokatif dan radikal.
Yang ketiga adalah kesalahpahaman. Kebuntuan jalur komunikasi antara seniman dengan kelompok keagamaan yang bermuara pada prasangka dan tuduhan tak berdasar.
Yang keempat adalah tabrakan antara semangat kreatif kesenian dengan semangat konservatif relijius. Dalam hal ini, baik seniman maupun kelompok keagamaan telah beroperasi dengan cara serta norma yang dapat diterima. Namun, kedua kelompok gagal mencapai kesepakatan.
Tiga Alat
(bagian ini disusun berdasarkan tulisan dan hasil penelitian sejumlah sejarahwan dan arkeolog, seperti Jyotsna Kamat, Jennifer Rosenberg, Shiv Darshanlal Sharma, Count Goblet d'Alviella dan Heinrich Schliemann)
Swastika, salah satu simbol yang paling disucikan dalam tradisi Hindu, merupakan contoh nyata tentang sebuah simbol relijius yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang kompleks sehingga hampir mustahil untuk dinyatakan sebagai kreasi atau milik sebuah bangsa atau kepercayaan tertentu.
Wilayah geografis tersebut mencakup Turki, Yunani, Kreta, Cyprus, Italia, Persia, Mesir, Babilonia, Mesopotamia, India, Tibet, China, Jepang, Negara-negara Scandinavia dan Slavia, Jerman hingga Amerika.
Simbol ini, yang dikenal dengan berbagai nama; tetragammadion di Yunani atau fylfot di Inggris, menempati posisi penting dalam kepercayaan maupun kebudayaan bangsa-bangsa kuno, seperti bangsa Troya, Hittite, Celtic serta Teutonic.
Di pihak yang lain, Swastika juga menempati posisi sekuler sebagai semata-mata motif hiasan arsitektur maupun lambing entitas bisnis, mulai dari perusahaan bir hingga laundry.
Bahkan, swastika juga pernah menjadi simbol dari sebuah kekejaman tak terperi saat Hitler menggunakannya sebagai perwakilan dari superioritas bangsa Arya. Jutaan orang Yahudi tewas di tangan para prajurit yang dengan bangga mengenakan lambang swastika (Swastika yang “sinistrovere”; miring ke kiri sekitar 45 derajat) di lengannya.
Nol
Realita sejarah serta kultural yang dipaparkan di atas secara jelas menunjukkan kepada kita betapa sebuah simbol bisa memiliki fungsi sakral dan profane, luhur dan remeh temeh pada saat yang bersamaan. Contoh di atas juga telah memaparkan betapa sebuah simbol yang serupa bentuknya lahir, berkembang serta memiliki nama yang berbeda pada beragam tradisi kultural di berbagai belahan dunia.