Friday, March 24, 2006

Undangan Dialog

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan menggelar Semiloka dua hari "Menyoal Rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi" awal minggu depan di Bali. Masyarakat Bali diharapkan untuk menghadiri semiloka tersebut.

Kegiatan akan berlangsung pada:
Hari: Senin s/d Selasa
Tgl : 27 s/d 28 Maret 2006
Pukul : 09.00 Wita -selesai
Tempat: Hotel Grand Istana Rama, Jl. Pantai Kuta, Legian. Telp: 752208

"Ini kesempatan penting bagi kami untuk berdialog serta mengetahui secara langsung aspirasi dan kehendak masyarakat Bali mengenai RUU APP," ujar anggota Komnas HAM Hasto Atmojo.

"Apalagi Bali merupakan daerah yang paling solid penolakannya--mulai dari masyarakat, DPRD hingga Gubernurnya sudah sepakat untuk tidak menerima RUU APP--sehingga penting bagi kami untuk berdialog dengan masyarakat Bali sebelum merumuskan sikap resmi Komnas HAM," tambahnya.

Meskipun secara resmi Komnas HAM belum menyatakan sikapnya terhadap RUU APP, namun dari pernyataan sejumlah anggotanya di beberapa mass media tampak adanya kecendrungan kuat untuk menolak RUU tersebut.

Dalam semiloka itu akan tampil sejumlah pembicara, antara lain; Muhyar Yara, Nursyahbani Katjasungkana, Pasek Diantha, Anwar Saleh, Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa, Nurul Arifin, Wayan P Windia dan Koesparmono Irsan.

"Tapi yang terpenting adalah kesempatan untuk berdialog dengan seluas mungkin lapisan masyarakat Bali," ujar Hasto.

(jadi, mari kita datang ke sana dan bantu Komnas HAM dalam menentukan sikap terhadap RUU APP,--Marlowe dan Jun)

Tuesday, March 21, 2006

On hate-provoking comments

Tentang Komentar-komentar Menghujat


Kami sangat memahami bahwa terdapat sejumlah besar komentar yang bernada menghujat ataupun merendahkan salah satu kelompok. Sejumlah orang telah menganjurkan kepada kami untuk menghapus serta memblokir komentar-komentar semacam itu.

We are quite aware that there has been a big surge recently of demeaning and hate-provoking comments posted on this blog. Many people have advised us to delete and blocking such comments.

Namun kami di Jiwamerdeka meyakini bahwa menghapus atau memblokir komentar-komentar semacam itu tidak akan menyelesaikan apa-apa. Tidak ada yang bisa mengontrol pikiran; tidak RUU, tidak juga pengasuh Blog ini.

However, we at Jiwamerdeka believe that deleting or blocking such comments would not achieve anything. No entity could control the mind; not the Anti Pornography Bill and neither the redactors of this blog.

Kebebasan berpendapat adalah jalan dua arah. Saat kita menuntut kebebasan berpendapat, kebebasan untuk berbeda pandangan, maka pada saat yang sama kita juga harus siap untuk memberikan kebebasan serupa bahkan pada orang-orang yang jelas-jelas berseberangan dengan kita.

Freedom of expression is a two-way street. When we demand for freedom of expression; freedom to hold an opposing opinion, then, at the same time, we have to be prepared to provide similar rights even to those people, who has dedicated their life to refute, contradict and disgrace our opinion.

Menghapus atau memblokir komentar-komentar yang dinilai tidak “cerdas” dan menghujat juga menyimpan satu potensi berbahaya. Tindakan semacam itu akan mengalienasi para “penghujat” dan kemudian akan membuat kita kehilangan gambaran utuh dari realitas sosial di sekeliling kita.

Deleting or blocking those comments, which are perceived as “stupid” and demeaning, would also pose us with one grave danger. Such actions will certainly alienate the authors of those comments, thus, robbing us from the chance to understand the full, true picture of our social surroundings.

Suka atau tidak, para “penghujat” ini adalah bagian dari masyarakat kita. Pendapat-pendapat mereka---logis atau pun tidak---adalah cerminan dari cara berpikir dari sekelompok masyarakat kita.

Like it or not, the authors of those hate-provoking comments are parts of our society. Their opinions---logical or otherwise---are the reflection of a certain way of thinking that prevails among a specific group(s) of our people.

Meski kerap “menyakitkan” hati, kehadiran mereka di blog ini memberi kita kesempatan untuk menguji kelurusan cara berpikir kita sekaligus untuk melibatkan mereka ke dalam sebuah dialog yang konstruktif.

Although their comments have repeatedly offended us, yet, their presences in the blog have bestowed us with the precious opportunities to examine the coherency of our way of thinking as well as to engage them in a constructive dialogue.

Oleh karena itu, mari tetap jaga kewarasan pikiran dan kebesaran hati.

Therefore, let’s keep our mind clear and our heart free of hatred .

Loka Samasta Sukham Bhavantu

May the whole universe is in the state of happines

Marlowe and Jun

Sunday, March 19, 2006

Stripping Away Hypocrisy

(Indonesia, Bali, ....?)

(Venezuela, Caracas, 2006)

Associated Press reported that more than 1,500 Venezuelans shed their clothes on a main city avenue Sunday (March 19) to pose for American photographer Spencer Tunick, forming a human mosaic in front of a national symbol: a statue of independence hero Simon Bolivar.

"The body represents beauty, love and peace. There was a lot of beauty and energy in the people today." Tunick said.

(USA. Nevada, 2000)

Tunick, an artist from Brooklyn, N.Y., has been documenting groups of nude people in public places around the world since 1992.

(Australia, Melbourne, 2005)

It's a wonderful thing for a city and a country to give some honor to the body as an art object," Tunick said. "For me, it's all about the body as a substance, as an organic substance."


(Finland, Helsinki's City Arts Museum, 2002)

For us, it's a liberating art installation, because it liberates you from the "cage" of misconception about body, nudity or sensuality.

Go Naked!

Marlowe and Jun

Respect to http://www.spencertunick.com

Tinjauan Wayan Sudirta

Pokok-pokok Pikiran Kritis
Terhadap RUU APP[1]
Wayan Sudirta[2]
Anggota DPD dari Provinsi Bali


Sampai hari ini, wacana dan polemik di seputar RUU APP (Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) masih menjadi kontroversi yang cukup tajam, dengan adanya kelompok-kelompok yang pro dan kelompok kontra RUU APP di berbagai daerah. Pemberitaan media massa cetak maupun elektronik yang berlangsung sampai hari ini, bagaimanapun juga telah membantu memberikan informasi, masukan dan wawasan baru kepada semua pihak, baik mereka yang duduk di Pansus RUU APP di DPR RI, kemudian juga kepada anggota DPR RI yang diagendakan akan membahas rancangan ini pada bulan Juni 2006, juga pemerintah RI, maupun berbagai elemen masyarakat Indonesia, yang dengan intens mengikuti wacana dan perkembangan dari RUU APP tersebut.[3]

Menurut berbagai informasi yang berkembang di media massa, pada awalnya beberapa tahun lalu, gagasan untuk membuat UU yang mengatur pornografi memang mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Itu akibat dari maraknya media-media cetak yang dianggap mengeksploitasi seksualitas tubuh untuk kepentingan komersial, yang dicap kurang memperhatikan aspek pendidikan serta kelaziman etika dan budaya yang hidup di masyarakat. Dukungan terhadap aturan untuk mengontrol media-media cetak yang mengeksploitasi seksualitas untuk kepentingan komersial tersebut, kini berbalik menjadi penolakan yang cukup keras, bukannya karena mereka berubah pikiran menjadi ‘’menerima pornografi serta eksploitasi seksualitas secara komersial’’. Penolakan disebabkan justru oleh konten dalam pasal-pasal di RUU APP yang dianggap punya beberapa kecenderungan negatif.

Berkaitan dengan hal tersebut, kami merasa perlu untuk menyampaikan beberapa fakta, analisa dan pemikiran kritis, untuk menanggapi RUU APP maupun wacana yang berkembang di masyarakat, yang pro maupun yang kontra.

1. Anti RUU APP Tak Berarti Menyetujui Pornografi.
Berita-berita media massa mengenai aksi massa dalam penolakan-penolakan terhadap RUU APP yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, bilamana direspon secara keliru, bisa mengesankan seakan-akan penentang RUU APP tersebut berpihak pada pornografi, setuju pada eksploitasi seksualitas, serta eksploitasi tubuh manusia khususnya tubuh perempuan untuk kepentingan-kepentingan komersial. Padahal, dari sudut pandang yang sama, mereka sebetulnya menolak pornografi dan eksploitasi tubuh khususnya yang menimpa kaum perempuan, guna kepentingan-kepentingan komersial. Reaksi pro-kontra yang berkembang di masyarakat dalam beberapa hari belakangan ini memang bisa ‘’membingungkan’’.

Dari catatan-catatan yang ada, awalnya beberapa elemen masyarakat di Indonesia memang memberikan apresiasi positif bahkan mendesak agar pemerintah melakukan law enforcement terhadap pornografi dan eksploitasi seksual dan seksualitas, termasuk melalui UU. Ketika wacana ini digulirkan, masyarakat memang menyaksikan maraknya media-media porno maupun pemberitaan yang mencengangkan tentang perdagangan perempuan dan anak-anak. Masuk akal kalau masyarakat memberikan dukungan penuh pada pemerintah, baik untuk law enforcement maupun regulasi melalui UU. Hanya saja masyarakat belum mengetahui secara transparan kelanjutan dan proses sampai munculnya RUU APP ini. Apakah sebelumnya telah dilakukan pengumpulan informasi yang komprehensif sebelum sampai pada RUU? Apakah sudah ada naskah akademiknya, dan apakah naskah akademik yang ada ini sudah pernah disosialisasikan dan dicarikan masukan-masukan masyarakat? Apakah elemen masyarakat yang didengar aspirasi dan masukannya sudah merepresentasikan keragaman kultur yang ada di republik ini? Ini memang belum terlalu jelas, dan masyarakat terkaget-kaget ketika Pansus RUU APP mengekspos rancangannya, serta jadual kerja mereka, apalagi ada target untuk mengesahkannya pada bulan Juni 2006 mendatang. Statement tentang target waktu yang disampaikan secara strict ini memang menimbulkan pertanyaan masyarakat, apakah ada agenda politik dibalik semua itu, oleh karena lazimnya masalah-masalah berat dan menyangkut keutuhan bermasyarakat dan berbudaya, sebaiknya dibahas dalam skedul yang longgar, karena yang terpenting adalah proses dan output-nya, bukan semata-mata output, apalagi output yang nanti bisa ditafsirkan bernuansa politis.

Sebagai Anggota DPD RI dari Provinsi Bali, kami juga mengecam pornografi dan eksploitasi tubuh (perempuan khususnya) yang semarak dalam beberapa tahun belakangan ini. Namun, memberantas pornografi dan eksploitasi tubuh (perempuan khususnya) tidaklah dapat diserahkan sepenuhnya pada mekanisme politik dan hukum seperti yang terasa dalam RUU APP tersebut. Ranah moral dan etika ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab rohaniwan dan institusi-institusi keagamaan, yang pendekatannya harus dilakukan melalui edukasi, bukan dengan pendekatan politik maupun pendekatan hukum yang disertai pemidanaan.

2. Substansi RUU AAP untuk RUU KUHP di Prolegnas 2005
RUU APP masuk dalam daftar prioritas RUU di Program Legislasi Nasional tahun 2005 dengan keterangan, bahwa ‘’substansi sudah dimasukkan dalam RUU KUHP). Dalam 55 RUU di daftar prioritas RUU Prolegnas 2005, RUU APP terdaftar di urutan 21. Kalau di tahun 2006 ini tiba-tiba RUU APP muncul dengan pembentukan Pansus RUU, padahal RUU KUHP belum dibahas, wajar kalau muncul tanda tanya, ada agenda apa dibalik desakan kuat untuk membahas serta mengesahkan RUU APP tersebut? Sebetulnya, dengan ‘’memasukkan substansi RUU APP dalam KUHP’’, berarti RUU APP sudah tidak diperlukan, atau setidak-tidaknya harusnya pemerintah lebih memprioritaskan pembahasan RUU KUHP, agar bisa memasukkan substansi dari RUU APP serta RUU lainnya dalam KUHP tersebut.


3. Fungsi Ajaran, Institusi dan Tokoh Agama
Sebagai sesama bangsa Indonesia yang mewarisi pluralisme kultural, yang diantaranya merupakan budaya adiluhung, hasrat untuk menjadi manusia dan bangsa yang hidup dalam tataran moral dan etika yang luhur adalah hasrat semua orang. Etika dan moral dalam konteks kultur yang beragam di Indonesia ini, pastilah sangat menolak pornografi serta eksploitasi seksualitas maupun sensualitas untuk kepentingan-kepentingan yang komersial, apalagi yang berindikasi pidana. Berbagai kasus yang pernah muncul, seperti peredaran VCD porno dari gadis-gadis model yang direkam dengan kamera tersembunyi sebagai satu contoh, adalah cermin dari adanya pelaku yang secara sengaja mengeksploitasi tubuh perempuan dengan cara merekam adegan-adegan ketelanjangan, untuk kemudian digandakan dan dijual demi keuntungan finansial. Sepanjang memang bisa dibuktikan berindikasi pidana seperti yang terjadi dalam kasus ini, law enforcement dengan KUHP oleh kepolisian, sebetulnya sudah memadai. Sementara perilaku dan etika masyarakatnya, untuk mengarahkannya pada sikap yang sesuai dengan ajaran agama serta keteladanan tokoh-tokoh agama dan rohaniawan yang bijak, tanggung jawab bukan lagi di tangan aparat penegak hukum. Beban tanggung jawabnya justru lebih pada ajaran agama melalui institusi keagamaan serta keteladanan tokoh-tokohnya.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita merasakan gejala dekadensi moral dan etika yang melanda pada berbagai lapisan masyarakat. Termasuk dalam perilaku dan moralitas yang berkaitan dengan eksploitasi seksual serta seksualita dan sensualitas semata-mata untuk kepentingan komersial. Negara punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menjaga etika dan moral masyarakat dan untuk itu mereka telah diperlengkapi dengan aparat, anggaran, serta perangkat hukum seperti KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Penyiaran, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan lain sebagainya. Peraturan perundangan ini adalah senjata untuk melakukan law enforcement terhadap warga masyarakat yang melakukan pelanggaran.

Bahwa peraturan perundangan yang ada tersebut bisa saja tidak sanggup menyentuh berbagai perilaku dan budaya tertentu yang berkembang kemudian – yang oleh kultur komunitas mungkin dirasakan sebagai pelanggaran etika dan moral, misalnya berciuman bibir di muka umum, yang katakanlah merupakan budaya dalam masyarakat Barat dan mungkin mulai mempengaruhi budaya Indonesia –tidaklah serta merta solusinya harus dilakukan dengan membuat UU.

Kita justru mesti memberikan peran dan tanggung jawab ini pada tokoh dan institusi keagamaan, karena mereka inilah yang mestinya berkewajiban untuk melakukan edukasi, sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai yang dianut dalam agama masing-masing. Sebagai bangsa yang pluralistis, kemajemukan tidak hanya terdapat dalam agama dan komunitas yang berbeda, tetapi dalam agama dan komunitas yang sama pun ada varian-varian yang sangat beragam pula. Keragaman dan varian itu termasuk juga dalam hal sensualitas dan seksualitas. Tarian Legong Keraton yang gemulai dan dipentaskan di berbagai tempat di masyarakat Bali misalnya, goyangan pinggul penarinya bukanlah representasi dari hasrat-hasrat seksualitas apalagi nafsu berahi, tetapi merupakan perlambang dari estetika, persembahan dan terimakasih pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan dunia yang maha plural ini.

Kalaupun masyarakat Bali pernah heboh oleh ‘’Joged Porno’’ – karena penarinya dengan berani mempertontonkan adegan seakan-akan sedang berhubungan seks, dan disertai dengan mengangkat kamben, hingga betisnya terlihat – dan pro-kontra meletus di masyarakat, solusinya bukanlah dengan mempidanakan si penari maupun Sekeha Joged tersebut. Tapi dengan cara mendiskusikan fenomena tersebut secara analitis, dan manakala kritik dan kecaman cukup kuat di masyarakat, Joged Porno model yang disebutkan tadi melakukan kontrolnya sendiri. Adegan pornonya boleh jadi dianggap ‘’memalukan’’ dan ‘’kurang patut’’, tetapi tidak ada desakan masyarakat Bali untuk ‘’mempidanakan’’ pementasan model-model demikian.


4. Pasal-pasal Ambigu dan Multi-tafsir
Sejumlah terminologi dalam RUU APP ini, seperti sensual (pasal 25), telanjang (pasal 26), erotis (pasal 28) sebetulnya masih ambigu dan sangat mudah menstimulasi penafsiran yang beragam. Memang ada penjelasan mengenai terminologi sensual dan erotis. Penjelasannya inilah yang justru menimbulkan masalah baru, yakni:

a. Pertama dalam definisi sensual yang dijelaskan sebagai ‘’alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya’’ (pasal 4). Konsekuensi dari definisi ini bisa sangat ‘’mengerikan’’. Gadis-gadis muda yang gemar mengenakan tank-top atau busana back less, bisa diseret ke pengadilan untuk dijadikan Terdakwa dan kemudian dijatuhi hukuman pidana. Masyarakat miskin yang mandi telanjang di sungai dan permandian umum, sesuatu yang telah menjadi ‘’tradisi’’ dan dalam konteks harga toilet dan kamar mandi yang cukup mahal, mandi telanjang di sungai yang sebetulnya merupakan solusi dari kemiskinannya – mereka tidak mampu membuat toilet dan kamar mandi yang beayanya cukup mahal bagi mereka -- akan bisa ditangkapi atas tuduhan ‘’jorok, porno, tidak sopan’’ menurut semangat RUU APP. Penari-penari tradisional seperti Joged Bumbung di Bali, Tayub di Jawa Tengah, Gandrung di Banyuwangi, dan lain sebagainya, yang diharuskan memperoleh IJIN PEMERINTAH dan ditempatkan di TEMPAT KHUSUS, akan kehilangan fungsi tradisionalnya sebagai tari hiburan dan pergaulan rakyat, bilamana RUU APP disahkan.

Bisakah dibayangkan bagaimana dampak bila nantinya pemerintah memberlakukan RUU APP, kalau ketika RUU APP masih dalam wacana saja, inisiatif daerah-daerah untuk membuat Perda yang ‘’berspirit dan bermoralkan etika RUU APP’’ sudah sedemikian itu semaraknya. Padahal, satu prinsip penting dalam hukum adalah ‘’kepastian hukum’’, dimana definisi harus tegas, tidak boleh ambigu dan memberi ruang multi-tafsir, karena penafsiran yang beragam-ragam bisa mengancam harmoni, kesatuan dan persatuan dalam bingkai NKRI.

Penting juga untuk mengingatkan disini, bahwa Perda diragukan kewenangannya mengatur masalah susila, karena kewenangan struktural untuk pengaturan pidana itu ada di KUHP.

b. Kedua, soal ‘’menari erotis yang dijelaskan sebagai melakukan gerakan-gerakan tubuh secara berirama dan mengikuti prinsip-prinsip seni tari sedemikian rupa sehingga gerakan-gerakan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu karya seni koreografi. Sedangkan yang dimaksud bergoyang erotis adalah melakukan gerakan-gerakan tubuh secara berirama, tidak mengikuti prinsip-prinsip seni tari, dan lebih menonjolkan sifat seksual sedemikian rupa sehingga gerakan-gerakan tersebut dapat diduga bertujuan merangsang nafsu birahi.’’ Batasan ini bisa menjadi sumber masalah sangat besar, dan tidaklah salah kalau ada yang mencurigainya sebagai upaya penyeragaman kreativitas kultural dan sekaligus memberangus kreasi-kreasi seni dan budaya lokal, yang dari kacamata dan cara pandang tertentu bisa saja dicap erotis dan bergoyang erotis. Di Provinsi Bali, tarian pergaulan Joged Bumbung sarat dengan goyangan nan indah dan memang bisa mencitrakan sensualitas yang wajar dalam batas-batas kesopanan, dan merupakan salah satu seni hiburan rakyat yang sangat populer. Sekalipun mengandung nuansa sensual, sebetulnya tidak ada pretensi untuk menyuguhkan sesuatu yang jorok dan mengundang nafsu birahi. Belum lagi goyang gemulai penari Legong yang telah diprofankan maupun tarian Legong-legong sakral di pura, yang merupakan perlambang dari keindahan, tarian yang dipersembahkan sebagai penghormatan terhadap kemurahan Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sensualitas dalam konteks seni dan ritual ini, sama sekali jauh dari konteks nafsu berahi, tetapi lebih cenderung pada eksplorasi estetika serta penghormatan pada keindahan Maha Ciptaan Tuhan.

Kita dapat membayangkan, bagaimana seni-seni hiburan seperti tari Jaipong di Jawa Barat atau Gandrung di Banyuwangi, yang menampilkan goyangan dengan nuansa sensual serta erotik dalam batas-batas yang wajar, akan diberangus dengan RUU APP ini. Asumsi bahwa kreasi-kreasi dan ciptaan bernuansa sensual dapat merusak moral bangsa, sebetulnya merupakan kekhawatiran yang berlebih-lebihan.

c. Pengecualian Seni, Ritus, dan Olahraga tapi ada ‘’Politik Ijin’’
Memang, dalam pasal 36 RUU APP, ada pengecualian untuk ‘’cara berbusana menurut adat dan budaya lokal tertentu, kreasi-kreasi seni, sampai pada olahraga’’ yang disana-sini bersentuhan dengan ‘’ketelanjangan dan sensualitas’’.

Bunyi lengkap dari pasal 36 dalam RUU APP adalah:
(1) Pelarangan pornoaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, atau Pasal 32, dikecualikan untuk:
a. Cara berbusana dan/atau tingkah laku yang menjadi kebiasaan menurut adat‑istiadat dan/atau budaya kesukuan, sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan ritus keagamaan atau kepercayaan;
b. Kegiatan seni;
c. Kegiatan olahraga; atau
d. Tujuan pendidikan dalam bidang kesehatan.
(2) Kegiatan seni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilaksanakan di tempat khusus pertunjukan seni.
(3) Kegiatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya dapat dilaksanakan di tempat khusus olahraga.

Selanjutnya, dalam Pasal 37 disebutkan sbb:
(1) Tempat khusus pertunjukan seni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) harus mendapatkan izin dari Pemerintah.
(2) Tempat khusus olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) harus mendapatkan izin dari Pemerintah.
Pengecualian dengan pasal 36 ini, sebetulnya tidaklah sepenuhnya melegakan, karena toh masih ada pembatasan, dimana dalam pasal 37 diatur lagi dengan IJIN PEMERINTAH. Dalam pasal 37 (1) disebutkan bahwa ‘’Tempat khusus pertunjukan seni sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 (2) harus mendapat ijin dari Pemerintah. Lalu di Pasal 37 (2) Tempat khusus olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 (3) harus mendapat ijin dari Pemerintah.
Pengecualian terhadap seni yang dikhususkan terhadap SENI PERTUNJUKAN sebetulnya menimbulkan pertanyaan baru: bagaimana halnya dengan seni lukis, seni patung, seni multimedia, sampai pada seni musik? Apakah seni-seni ini tidak mendapat pengecualian, ataukah mendapat pengecualian penuh tanpa memerlukan IJIN lagi seperti halnya SENI PERTUNJUKAN?
Kalau SENI PERTUNJUKAN yang dianggap berpretensi erotis dan sensual harus minta ijin pemerintah, kekhawatiran paling mendalam dari masyarakat adalah bahwa politik perijinan ini akan menjadi pemasungan baru yang bahkan jauh lebih represif dibandingkan Orde Baru. Masyarakat pedesaan yang merayakan hari kelahiran anaknya dengan upacara keagamaan harus meminta ijin Pemerintah bila ingin menanggap Joged Bumbung yang bisa dianggap erotis dan sensual. Masyarakat Jawa yang sudah turun temurun bebas mementaskan tarian yang dianggap sensual dan erotis, seperti tari Gandrung di Banyuwangi, Tayub di Jawa Tengah, dan tari-tarian lainnya, berpegang pada pasal 37 ini, tidak lagi bebas seperti dulu, tetapi harus mendapat ijin pemerintah.
Demikian juga halnya dengan olahraga, yang mendapat pengecualian (pasal 36) serta persyaratan perijinan (pasal 37). Bayangan masyarakat terhadap olahraga ‘’berijin’’ di ‘’tempat khusus’’ ini adalah model pertandingan resmi. Lalu, bagaimanakah halnya masyarakat yang berolahraga diluar ‘’tempat khusus’’, misalnya mereka yang berenang di pantai, arobik sepanjang pantai sambil menyongsong matahari terbit, atau santai dengan celana pendek sambil erobik sepanjang jalan sepi di depan rumah yang notabene adalah ruang publik? Bila berpegang pada RUU APP, mereka akan terancam pidana. Dan kalau itulah yang terjadi, RUU APP bisa dirasakan merampas sebagian dari privasi warga negara.
Diaturnya ‘’tempat khusus’’ untuk menyelenggarakan pertunjukan maupun olahraga, tentu punya konsekuensi tersendiri – yang mungkin tidak disadari dan tidak disengaja -- yakni memasung kegiatan maupun seni pertunjukan dan seni-seni lainnya. Seni pertunjukan yang dianggap sensual, sebutkanlah misalnya tarian Joged Bumbung ataupun Legong di Bali, yang secara tradisional dipentaskan dalam konteks kebudayaan lokal, pementasannya justru dilakukan di berbagai tempat. Seni joged sebagi hiburan, dipentaskan di ruang publik yang mudah diakses masyarakat. Demikian juga halnya dengan olahraga, yang tidak selalu berarti olahraga resmi yang dikelola, misalnya oleh insititusi olahraga yang ada. Warga masyarakat bisa berolahraga dengan berenang di kolam renang milik pribadi, atau jalan santai di jalan-jalan umum dengan celana pendek yang bisa diancam pidana karena tidak diadakan di ‘’tempat khusus.’’ Bila nantinya tempat khusus diatur pemerintah dan kekhususan menjadi spesifik dan formal, boleh jadi tidak bisa lagi mementaskan tarian Joged Bumbung di halaman rumah seorang warga pedesaan di Bali, tidak bisa lagi jalan santai dengan celana pendek di jalan-jalan umum yang selama ini sering digunakan untuk bersantai, dan sejenisnya.
Artinya, pasal 36 dan pasal 37 ini merupakan aturan yang menjadi hambatan dan pemasungan ekspresi kreatif untuk seniman yang mencipta maupun masyarakat penikmatnya.

5. Penyeragaman
Mengikuti pasal demi pasal dalam RUU APP ini, berbagai elemen masyarakat menilai bahwa rancangan ini menebar semangat penyeragaman, mengabaikan atau bahkan mengancam kekhasan kreasi budaya lokal, dan karenanya dikhawatirkan bisa mengganggu harmoni antar berbagai komunitas yang kulturnya beragam. Pasal 32 UUD 1945 mengamanatkan, bahwa negara punya kewajiban untuk memajukan kebudayaan bangsa. Tidaklah bisa disalahkan kalau ada elemen masyarakat, jangan-jangan ada agenda politik dari kelompok-kelompok tertentu, untuk mengimpor budaya luar yang dianggap sejalan dan senafas dengan spirit ‘’budaya RUU APP’’, guna dijadikan standar moral dan etika di Indonesia.

Apalagi, Ketua Pansus RUU APP, Saudara Balkan Kaplale pernah menyatakan, bahwa nantinya akan ada belasan PP (peraturan pemerintah) yang melengkapi RUU APP. PP akan dijadikan rujukan oleh aparat untuk melakukan ‘’eksekusi’’ terhadap orang yang dianggap melanggar RUU APP. Kalau benar ada rencana dan target seperti itu, ini akan sangat berbahaya, karena PP bersifat sepihak, ditetapkan oleh pemerintah dan sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah. Kalau terlalu banyak elemen kehidupan masyarakat dalam konteks RUU APP ini diserahkan pada mekanisme PP, maka dapatlah dibayangkan, betapa penguasa akan memiliki kewenangan yang sangat besar untuk mengatur dan ‘’mengeksekusi’’ warga negara yang dianggap melakukan pelanggaran terhadap RUU APP.

Konsekuensi penyeragaman, atau setidaknya aplikasi-aplikasi yang merujuk pada kultur tertentu yang pemeluknya bersikap fundamentalistik – apalagi RUU APP nanti akan dilengkapi dengan belasan PP – adalah sikap serta tindakan-tindakan ‘’menghakimi’’ kultur lain yang mereka anggap pornografis, sensual dan erotis. Kasus empirik yang terjadi di Tangerang, dimana perempuan ditangkap karena kebetulan sedang ‘’sendirian’’ – padahal ia sedang bersama suaminya yang sejenak berpisah karena ada urusan di tempat lain – memancarkan hasrat untuk standarisasi moral dari sudut pandang kelompok, yang bilamana ‘’eksekusi hukumnya’’ dikelola melalui mekanisme Peraturan Daerah -- atau katakanlah juga PP di tingkat pemerintah pusat – menjadikan moralitas dan etika terseragamkan menurut cara pandang negara.

Karenanya, tidaklah keliru bilamana disana-sini, tidak hanya komunitas-komunitas seni dan budaya diluar ritual agama dan olahraga saja yang cemas, bahkan masyarakat diluar dua komunitas ini, yang menyadari konsekuensi pasal demi pasal dalam RUU APP ini, merasa bahwa RUU ini akan sampai pada satu citarasa tunggal, berdasarkan moral dan etika kebudayaan tertentu. Apakah setelah RUU APP disahkan, yang dimaksudkan Ketua Pansus RUU APP ini, akan ada PP yang mengatur, misalnya tentang cara berbusana dan desain busana yang ‘’seiman’’ dengan UU APP? Andaikan nanti ada PP yang mengatur desain pakaian yang ‘’patut dan sah menurut UU APP”, tidakkah benar bisa muncul kecemasan bahwa industri desain dan produksi pakaian dari beragam gaya pakaian yang digemari oleh berbagai kalangan – mulai dari anak baru gede, orang dewasa sampai orang-orang tua – harus diselaraskan agar ‘’tidak mengumbar sensualitas’’ agar tidak pula menjadi gaya pakaian yang bisa dipidanakan?

Memang, asumsi-asumsi diatas ini hanyalah pengandaian kecemasan. Namun, pasal demi pasal di RUU APP memang memberikan celah untuk munculnya kebijakan-kebijakan yang dianggap sebagai kelanjutan UU APP, baik di pemerintah pusat maupun di daerah. Bilamana Pemda Tangerang dengan Perda tentang Pelarangan Pelacuran dan Pemda Indramayu dengan pelarangan menampilkan tarian goyang Dongbretnya sudah memberikan contoh empiriknya, justru ketika RUU APP belum dilaksanakan, masuk akal saja kalau masyarakat diluar daerah tersebut mulai was-was, jangan-jangan Pemerintah Daerahnya akan bergiat merancang Peraturan Daerah bersemangat UU APP, guna mengatur moral dan etika masyarakatnya.

6. Pendekatan Politik dan Kekuasaan
RUU APP dapat dikatakan sebagai masuknya kekuasaan kedalam ruang privat warga masyarakatnya dengan cara yang berlebih-lebihan. Sekalipun dalam berbagai komunitas yang berbeda terdapat gaya dan budaya hidup yang berbeda – termasuk dalam cara mengungkapkan kasih sayang, antara lain melalui ciuman, pelukan, dan salaman misalnya – dan mereka bisa berbeda pendapat dalam cara-cara yang beragam itu, apakah tepat ‘’mempidanakan’’ perbedaan tersebut? Apakah tepat ‘’mempidanakan pasangan yang berciuman bibir di depan umum’’, manakala diungkapkan sebagai ekspresi kasih sayang dan kerinduan, sekalipun mungkin kita kurang sependapat atau tidak melakukan hal seperti itu di muka publik? Masih banyak contoh lainnya, dalam bentuk ciuman pipi pada masyarakat yang berbeda-beda kulturnya, tetapi apakah negara perlu mengatur soal-soal privat seperti itu dan satu kelompok ataupun komunitas yang tidak sependapat, apakah berhak dan tepat mendorong negara agar mempidanakan para pelaku dari budaya yang berbeda tersebut?

Kalau sampai RUU APP lolos, tidak mungkinkah ini akan menjadi preseden, bahwa akan muncul regulasi-regulasi yang mengatur ruang privat dalam bentuk yang lebih detil, sampai akhirnya warga negara merasakan bahwa negara telah melakukan ‘’kekerasan terhadap warganya’’ melalui pengaturan-pengaturan yang memasung ekspresi privat para warga negara?

7. Ancaman Desintegrasi Bangsa
Terlepas dari rasa cinta sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap NKRI yang telah diletakkan oleh para Bapak Bangsa, bila kita melakukan refleksi secara jernih, munculnya separatisme di Aceh dan Papua yang sempat merepotkan persaudaraan kita semua, maupun separatisme semasa kepemimpinan Bung Karno, disebabkan antara lain oleh karena sentralisasi politik yang kelewat kuat oleh kekuatan politik yang berkuasa, atas dukungan militer. Kini, manakala ada kelompok dan komunitas memperjuangkan perbaikan ‘’moralitas dan etika’’ melalui RUU APP yang bahkan sudah masuk ke parlemen, dari visi sampai pada beberapa pasalnya, orang bisa merasa bahwa ada semangat ‘’sentralisasi kultural’’ di dalamnya.

Sebetulnya, di era otonomi daerah yang sekarang ini telah menjadi praksis politik paska hancurnya Orde Baru, masyarakat di daerah belum sepenuhnya merasakan adanya otonomi yang sungguh-sungguh, karena ada beberapa bidang strategis masih dikendalikan dan dikuasai pusat. Nah, kalau di tengah otonomi daerah yang masih merupakan dialog yang hangat ini tiba-tiba muncul ‘’sentralisasi kultural dan moral’’ melalui RUU APP ini, memang tidak mustahil kalah RUU APP ini menjadi faktor penambah dan pendorong munculnya semangat untuk memperjuangkan Otonomi Khusus, atau bahkan semangat separatis. Warga Bali yang sangat mencintai NKRI – tidak hanya karena ikatan emosionalnya yang amat kuat pada Bung Karno yang dalam tubuhnya mengalir darah Bali, tapi juga karena nasionalismenya yang kuat – dan tidak menghendaki desintegrasi dari NKRI, oleh kebijakan politik dan kebudayaan yang dirasakan sentralistis dan didominasi satu elemen tertentu saja, secara tidak langsung bisa merasa didorong-dorong untuk ‘’memisahkan diri, walaupun tak menghendaki.’’ Tidak hanya masyarakat Bali, masyarakat lain di wilayah Nusantara ini bisa mengalami perasaan terasing dan didominasi, bilamana RUU APP ini disahkan dan diberlakukan.

8. Konstruksi Sosial yang Keliru
Dari aspek jender, RUU APP cenderung memperlakukan seakan-akan perempuanlah sumber dari kebobrokan moral dan etik yang terjadi di negeri ini. Padahal, dalam prakteknya, perempuan adalah korban eksploitasi seksual dan sensualitas untuk kepentingan-kepentingan komersial yang pelakunya sebagian besar laki-laki. Munculnya Perda No. 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Pemkot Tangerang, yang telah menjadikan beberapa perempuan baik-baik sebagai korban, hanya karena ‘’dicurigai menjadi pelacur’’, merupakan contoh kongkret dari konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai ‘’sumber amoralitas’’. Padahal, semua ajaran agama dan etika dari bangsa dan komunitas manapun, pastilah memuliakan perempuan maupun lelaki tanpa membeda-bedakannya. Politik jender yang mendiskriminasikan perempuan merupakan ekses dari budaya politik yang paternalistik, bisa memperoleh legitimasinya dalam RUU APP, bila nantinya disahkan tanpa koreksi pasal demi pasal secara amat mendasar. Munculnya penolakan kuat oleh kelompok-kelompok perempuan, sepatutnya mendorong kita semua untuk melakukan refleksi dan kajian yang lebih mendalam.

9. Bertentangan dengan UU Pariwisata
UU Pariwisata No. 9/1990, memberikan apresiasi dan penghargaan tinggi terhadap agama, budaya, adat istiadat masyarakat, serta keragamannya yang khas di Indonesia ini. Bangsa-bangsa dari negara yang lain terdorong untuk melakukan perjalanan wisata, justru oleh karena ingin melihat kebudayaan berbeda dari yang menjadi tradisi mereka. Selain karena terdorong untuk mengapresiasi seni, kebudayaan serta pemandangan alam yang berbeda tersebut, dorongan akan semakin kuat bilamana kita menerima ‘’perbedaan dan keragaman’’ dari bangsa-bangsa yang melakukan perjalanan wisata tersebut. Sepanjang masih bisa diterima dan ditoleransi, dalam interaksi kebudayaan dari bangsa-bangsa yang berbeda ini -- selain dari kemajemukan internal di wilayah Nusantara ini tentunya – menjadi penting untuk mempertimbangkan keragaman budaya dari para wisatawan, dan sampai batas-batas tertentu mempersilakan mereka menikmati keunikan seni dan budaya kita sembari menampilkan tradisi dan cara hidup mereka secara sepatutnya.

RUU APP, sekalipun telah mengecualikan ‘’seni, ritus agama dan kebiasaan berpakaian pada masyarakat tertentu serta olahraga’’, namun ‘’politik perijinan’’ serta pengaturan ‘’tempat khusus’’ yang ditentukan oleh pemerintah, merupakan kendala dan mengambil kebebasan dan kemerdekaan kreatif dari beragam etno-kultur yang ada di Indonesia. Secara tidak langsung, RUU APP ini memang bisa berdampak pula pada kehadiran wisatawan khususnya, yang ibarat sodokan bola biliar, bisa berdampak pada kemerosotan berbagai investasi yang terkait dengan RUU APP.

Dalam praksis politik dan hukum yang berlaku, pengecualian belum tentu sungguh-sungguh bisa memberikan kebebasan dan perlindungan kepada ekspresi dalam bentuk ‘’seni, ritus agama dan olahgara’’ tersebut. Yang bisa terjadi justru sebaliknya, dengan pengecualian melalui perijinan tersebut, yang nantinya berkembang adalah pemerasan dan pungutan liar oleh aparat yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Dan kalau praksisnya adalah pemberangusan keunikan dan perbedaan budaya di internal Nusantara ini maupun pembendungan terhadap budaya luar yang dibawa oleh para wisatawan tersebut, pada gilirannya RUU APP memang bisa menjadi semacam ‘’lonceng kematian’’ untuk pariwisata. Indonesia sangat banyak memperoleh devisa jutaa dollar dari jutaan wisatawan yang datang dari berbagai negara, dengan kultur mereka yang juga berbeda-beda. Perlu memperhitungkan pula kemungkinan merosotnya devisa dari berkurangnya wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, karena khawatir dipidanakan, misalnya karena berciuman bibir atau karena berjemur dengan bikini minim di kehangatan pagi di pantai-pantai indah Nusantara ini.


10. Respon dan Revisi RUU APP yang agak janggal
Selain dipersoalkan dengan cukup keras oleh berbagai elemen masyarakat, cara kerja Pansus RUU APP dalam menangani dan merespon reaksi masyarakat, mengesankan reaksi yang kurang profesional dan tidak mencerminkan kapasitas legislator seperti yang seharusnya. Dalam pemberitaan beberapa media massa pada Senin (13/3), diinformasikan bahwa ‘’RUU APP Direvisi’’, dengan sejumlah detil – yang jika betul demikian – justru bisa merupakan masalah baru, antara lain:
a. Pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana; selanjutnya diusulkan untuk dimasukkan ke KUHP dalam revisi yang sedang disusun Departemen Hukum dan HAM
b. Pasal-pasal yang mengatur soal definisi pornografi dan pornoaksi; selanjutnya khusus mengadopsi arti pornografi berdasarkan pengertian dari Yunani, yaitu ‘’porne’’ (pelacur) dan ‘’graphos’’ (gambar atau tulisan) atau tulisan/gambar tentang pelacur
c. Pasal-pasal yang mengatur soal pornoaksi; selanjutnya pornoaksi lebih ditekankan pada pihak yang mengambil keuntungan dengan memperdagangkan atau mengeksploitasi pornografi.
d. Bab yang antara lain dihapus dari draft awal RUU APP adalah:
(1) Bab IV mengenai Badan APP; selanjutnya urusan penegakan hukum berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi dijalankan oleh polisi, jaksa dan hakim
(2) Bab IX mengenai sanksi; selanjutnya sanksi pidana soal pornografi dan pornoaksi akan dimasukkan ke revisi KUHP yang sedang berjalan saat ini.

Apakah revisi yang diumumkan oleh Ketua Pansus RUU APP dan diberitakan media pada tanggal 13/3, memang benar demikian? Bila benar ada revisi demikian, maka masyarakat bisa mempertanyakan penguasaan dan pemahaman teknis hukum dari Pansus RUU APP mengenai UU dan penyusunannya. Revisi yang dibuat Pansus RUU APP dengan gagasan bahwa RUU APP hanya mengatur larangan-larangan, tetapi tidak mengatur sanksi pidananya, memang terasa aneh, karena setiap UU terdiri atas norma-norma hukum, apa yang tidak boleh dilakukan, serta sanksi untuk para pelanggarnya. Apalagi digagas untuk menyerahkan sanksi pidana itu kepada KUHP, itu berarti bahwa secara tersirat dan tersurat, sikap Pansus yang dipublikasikan media ini bisa menjadi indikasi bahwa RUU APP ini sebetulnya tidaklah diperlukan lagi, karena sanksi-sanksi pidana sudah diatur dalam KUHP.

11. Ekses-ekses Sepanjang Pewacanaan RUU APP
a. Perda No. 8/2005 di Tangerang
Sudah ada fakta empirik, bagaimana di Pemkot Tangerang, sebanyak 11 perempuan menjadi korban dari Perda No. 8/2005, yang terasa memancarkan semangat ‘’etik dan moral ala RUU APP’’ ini. Bunyi dari Perda No 4/2005 tersebut adalah ‘’Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk, kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat lain di daerah’’ [4]. Dalam kasus ini, Lilis Lindawati (36), istri guru SD Negeri di Gerendeng, Tangerang, ditangkap ketika sedang menunggu kendaraan untuk pulang ke rumahnya di Cadas, Tangerang, setelah bekerja di rumah adiknya di Perumnas Tangerang. Ny. Triana, istri Denny, warga Perumnas Tangerang, juga ditangkap dengan tuduhan sama. Senin (27/2) malam itu Denny yang punya bisnis mobil mengajak istrinya dan seorang rekannya bertemu seorang rekanan di hotel. Denny keluar untuk membeli makanan, dan saat itu istrinya dirazia...Di Tasikmalaya, bupati membuat surat edaran kepada siswi SD, SMP, SMA/SMK, lembaga kursus dan perguruan tinggi beragama Islam untuk mengenakan seragam menutup aurat. Di Aceh, Komnas Perempuan menerima laporan kekerasan yang dialami tiga perempuan aktivis yang diangkut paksa oleh Polisi Syariah (WH) ke kantor WH karena tidak mengenakan jilbab saat sedang duduk dan berbincang di depan kamar mereka di sebuah hotel usai mengikuti lokakarya Jaringan Perempuan untuk Perdamaian.[5]

Perda No. 8/2005 yang oleh berbagai kalangan dianggap diskriminatif terhadap perempuan dan juga sangat serba tidak jelas dalam perumusan unsur-unsur pidananya, telah menimbulkan kritik dan tanggapan dari berbagai kalangan. YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) mendesak Perda No. 8/2005 di daerah Tangerang itu agar dicabut. [6] Desakan yang sama masih muncul dari kaum perempuan, karena ‘’bukti material’’ dalam Perda No. 8/2005 tersebut sangat lemah.[7] Direktur LBH APIK, Batara Munti bahkan mengancam akan melakukan gugatan class action atau meminta melakukan uji materi atas Perda Pemkot Tangerang tersebut. Sementara beberapa pengamat menyorot Perda No. 8/2005 tersebut sangat lemah dari aspek pembuktian materiil, karena tidak menyebutkan unsur-unsur tindak pidana secara jelas. Bila merujuk dari KUHP pasal 362 sebagai misal, seseorang bisa disangkakan melakukan pencurian bila ada unsur-unsur ‘’mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki, dan dilakukan secara melawan hukum.’’ Ini diungkap oleh dua pakar hukum, yakni Rudy Satriyo Mukantardjo, pakar hukum pidana UI dan Bambang Widodo Umar, pengamat kepolisian yang juga dosen Paska Sarjana Kajian Ilmu Kepolisian.[8] Dua pengamat ini membandingkan pasal 362 KUHP itu dengan Perda No. 8/2005 Pemkot Tangerang, dimana pada pasal 4 menyebut ‘’Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang...dst.’’ Pasal 4 ini tidak memuat unsur-unsur yang jelas, yang bisa dibuktikan secara tegas dan tidak kabur. Unsur pelanggaran dengan menyebut ‘’perilaku mencurigakan’’ itu sulit diurai.[9]

b. Apa yang terjadi dengan kebijakan Pemkot Tangerang dengan Perda No. 8/2005-nya tersebut, boleh jadi merupakan puncak gunung es, yang bila tidak diwaspadai, bisa menimbulkan ekses-ekses lain yang jauh lebih besar. Dalam konteks RUU APP yang sedang menjadi wacana masyarakat luas di Indonesia, yang pertentangannya sangat tajam, jangan-jangan daerah lain pun terinspirasi untuk membuat Perda yang mengatur masalah-masalah pidana yang sudah diatur dalam KUHP, tetapi dengan pasal-pasal yang tidak lengkap dalam mencantumkan unsur-unsur tindak pidana dan kabur dalam hal pembuktian materiil.

c. Ketidakjelasan serta multitafsir dalam pasal-pasal di RUU APP ini pun bisa mengandung potensi yang serupa, seperti yang terjadi pada Perda No. 8/2005 Pemkot Tangerang tersebut. Perempuan yang pulang malam seorang diri setelah bekerja di rumah makan, laki-perempuan yang olahraga santai dengan celana pendek di jalan depan rumahnya di suatu daerah, laki-perempuan yang berenang di kolam yang bukan ‘’tempat khusus olahraga dan mendapat ijin pemerintah’’, ibu yang menyusui bayinya di depan umum karena sang bayi menangis, orang-orang miskin yang terpaksa mandi di sungai dalam tatapan publik karena tak mampu membangun kamar mandi dan contoh-contoh serupa lainnya, dalam pengaturan pasal-pasal yang serba ambigu dan kabur di RUU APP, bisa menjadi Tersangka sampai bahkan Terpidana yang bisa dihukum pidana atau denda, maksimal ada yang 10 tahun serta denda maksimal Rp 1 milyar. Kalau law enforcement lewat KUHP ini saja pun belum dilakukan secara sungguh-sungguh – dimana masyarakat memplesetkan KUHP itu menjadi Kasih Uang Habis Perkara, plesetan sinis dan frustrasi pada perilaku aparat penegak hukum di republik ini – tidakkah RUU APP nantinya justru menambah wewenang yang bisa dimanfaatkan oleh aparat untuk melakukan pemerasan dalam volume dan jangkauan yang jauh lebih luas lagi?

12. Kemungkinan Ekses Paska Pengesahan
Bila berpegang pada semangat demokrasi, kita memang tidak bisa mengabaikan, bahwa Pansus RUU APP maupun anggota DPR RI, akhirnya punya kewajiban serta juga hak untuk mengambil sikap masing-masing terhadap RUU APP ini. Boleh saja kita tidak setuju dan mendesak agar pembahasan RUU APP ini dibatalkan atau ditunda. Namun, kalaupun toh akhirnya DPR mengesahkan rancangan ini, dan bila tetap dengan visi dan misi seperti yang sekarang ini terpancar dalam pasal-pasal yang tercantum dalam RUU APP, sekadar untuk mengingatkannya, kami dapat memberikan pandangan sbb:

a. Masalah Sensitif, Bahaya Kalau di-Voting.
Sangatlah berbahaya kalau untuk memutuskan masalah yang sensitif seperti RUU APP ini, digunakan pendekatan ‘’kekuatan’’, seperti yang dinyatakan oleh Ketua Pansus RUU APP, Balkan Kaplale. Boleh-boleh saja merujuk pada data bahwa hanya 11% dari elemen masyarakat yang menyampaikan pendapatnya menolak RUU APP ini. Artinya, ada 89% yang menerima dan bila berpegang pada kuantitas dukungan, logikanya memang ya, RUU APP ini sudah mendapat dukungan mayoritas. Tapi, itu berarti bicara dengan pendekatan ‘’kekuatan’’. Selayaknya, untuk masalah yang sedemikian penting dan mendapat respon sangat tajam di berbagai daerah, kendatipun yang menolak diperkirakan sekitar 11% saja, ini sebetulnya sudah cukup untuk menjadi dasar pertimbangan agar DPR tidak tergesa-gesa mengesahkan RUU APP ini menjadi UU. Akan sangat ideal kalau DPR bisa membatalkannya melalui mekanisme yang tetap demokratis dan sesuai tatib DPR, atau setidaknya menunda sampai DPR mendapat masukan yang lebih komprehensif dan mendalam.

b. Disahkan, Bisa Mubasir.
Kalaupun toh tetap dipaksakan dan berhasil disahkan menjadi UU, ada baiknya berkaca pada pengalaman RUU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, yang pernah mendapat reaksi sangat keras dari masyarakat dan mahasiswa, sehingga pemerintah menunda pelaksanaannya. Bagaimanapun juga, energi pemerintah dan masyarakat yang terkuras untuk terlibat pro-kontra terhadap RUU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya ini akan sangat besar, sementara di pihak lain pemerintah maupun masyarakat Indonesia sedang menghadapi masalah-masalah lain yang jauh lebih urgen dan memerlukan prioritas penanganan, seperti pemberantasan korupsi, pengentasan kemiskinan rakyat, perbaikan mutu sarana dan prasarana pendidikan, perekonomian rakyat, dan lain sebagainya.

c. Gugatan MK, Potensi Konflik Horizontal.
Kendatipun penolakan elemen-elemen masyarakat sekitar 11% saja seperti dinyatakan oleh Ketua Pansus RUU APP, diluar konteks politik dan adu-kekuatan, bilamana nantinya RUU APP disahkan menjadi UU dan penolakan masih bergema di masyarakat, elemen-elemen yang melakukan penolakan ini bisa saja melakukan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi. Memang, masyarakat punya hak dan itulah mekanisme hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Tetapi, bila membayangkan dampak dan eksesnya, pro-kontra tidak hanya akan terjadi dalam konteks gugat menggugat UU APP di MK, tetapi juga bisa menyebabkan berbagai elemen masyarakat yang pro-kontra UU APP ‘’bertarung’’ di lapisan bawah, katakanlah misalnya contohnya komunitas-komunitas anti tarian Tayub melawan komunitas pengusung Tayub, demikian juga terhadap komunitas tarian Gandrung, Joged Bumbung, dangdut, dan lain-lain. UU APP bisa menjadi pemicu gesekan horizontal di akar rumput, karena cukup banyak kreasi-kreasi sekuler yang mengekspresikan sensualitas secara estetik, yang dalam pandangan komunitas lain bisa saja dianggap ‘’bukan seni’’ dan ‘’bernuansa seksual, jorok, porno.’’ Pemerintah kiranya sudah sangat menyadari, bahwa subyektivitas kelompok dan komunitas dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan ekspresi kreatif yang bernuansa seni bisa sangat tajam, dan kalau pemerintah memberi UU APP, tidakkah UU APP ini bisa menjadi pemicu konflik horizontal yang serius?

d. Kalaupun toh UU APP ini akhirnya gol di DPR, pertanyaan besar lain yang menghadang pemerintah adalah, seberapa besar kemampuan pemerintah untuk mengaplikasikannya di masyarakat, mengingat luasnya konsekuensi dari UU APP ini? Dalam hal ‘’ketelanjangan’’ dan ‘’sensualitas’’ misalnya, konsekuensi pengesahan RUU APP adalah – kecuali bilamana pasal-pasal yang kabur dan ambigu telah diperjelas – kewajiban pemerintah untuk membantu masyarakat miskin membangun toilet dan kamar mandi, agar mereka tidak lagi bertelanjang mandi di sungai, sebagai satu contoh. Apakah RUU APP ini sudah memikirkan konsekuensi-konsekuensi seperti ini?



Sejumlah Usulan Solusi:
1. Lakukan Kajian Lebih Mendalam, Jangan Tergesa-gesa menetapkan RUU APP.
Target untuk menetapkan RUU APP ini menjadi UU pada bulan Juni 2006 perlu direskedul lagi. Yang lebih penting justru melakukan sosialisasi dan mencari masukan yang seluas-luasnya dari berbagai komponen masyarakat. Masukan berbagai komponen memang berupa desakan agar RUU APP dibatalkan, atau ditunda, atau diperdalam lagi guna memperoleh masukan yang lebih kaya. UU yang begini penting, dan mendapat reaksi pro-kontra sedemikian tajam, seharusnya tidak tergesa-gesa ditetapkan. Pasal-pasal dalam RUU APP yang ambigu maupun yang berlebih-lebihan mengatur privasi warga negara, seharusnya dibatalkan, dan bilamana pasal-pasal tersebut sudah ‘’dicabut’’ dari RUU APP, memang jadi tidak relevan lagi untuk melanjutkan pembahasan RUU APP ini untuk dijadikan UU APP. Kalaupun naskah akademiknya memang sudah ada, pemerintah perlu transparan mengenai substansinya, membuka diri terhadap berbagai keberatan dan masukan yang disampaikan masyarakat dalam beberapa bulan belakangan ini.

2. Law Enforcement dari UU lain yang berkaitan dengan pidana kesusilaan.
Sementara RUU APP dikaji ulang dan lebih mendalam lagi, pemerintah agar lebih mengefektifkan KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Penyiaran dan UU Pers, dan lain-lainnya untuk mengatasi berbagai pelanggaran yang berhubungan dengan pelecehan seksual serta eksploitasi sekseual dan sensualitas, bila pemerintah dan aparat penegak hukum serius melakukan law enforcement. Maraknya pornografi dan eksploitasi seksualitas, diantaranya dalam bentuk perdagangan perempuan dan anak-anak, eksploitasi seksualitas tubuh perempuan dan laki-laki untuk obyek-obyek komersial, antara lain disebabkan oleh karena longgarnya penegakan hukum, yang sudah diberikan payungnya oleh KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Pers, UU Penyiaran, dan lain-lain. Law Enforcement yang kurang tegas, perilaku aparat penegak hukum yang oleh masyarakat dikeluhkan diskriminatif dan diplesetkan sebagai Kasih Uang Habis Perkara (KUHP), sehausnya lebih menjadi perhatian pemerintah maupun anggota DPR yang punya kewenangan mengontrol kinerja eksekutif.

3. Pendidikan, keluarga, sekolah, masyarakat.
Peran kepala rumahtangga, serta tokoh dan insitusi agama maupun institusi pendidikan untuk memberikan pandangan dan arahan moral pada masing-masing komunitasnya. Maraknya eksploitasi seksualitas maupun sensualitas dengan cara-cara yang melanggar HAM dan dilakukan untuk kepentingan-kepentingan komersial, sebetulnya lebih banyak disebabkan karena lemahnya law enforcement di satu pihak, juga sebagai bentuk kegagalan institusi keagamaan maupun pendidikan. Institusi bernuansa keagamaan, disana sini kadang-kadang lebih nampak kehadirannya dalam masalah-masalah sosial dan politik – yang sekalipun memang juga sangat penting – dan seharusnya tidak mengurangi perhatiannya pada maslah-masalah moral dan etika maupun mendorong aparat penegak hukum dan penyelenggara negara ini agar konsen pada law enforcement dalam konteks pelanggaran susila. Media-media yang mengeksploitasi pornografi memang perlu dikontrol, misalnya melalui KPI maupun kepolisian, agar mereka tidak kebablasan, tapi law enforcement memang mesti obyektif dan tidak diskriminatif.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

LAMPIRAN 1
BENTUK-BENTUK PELARANGAN DALAM RUU ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

Bab dan pasal
Aturan Misoginis/Patriarkis

Catatan Feminisme

Bab 2 Pasal 4
Eksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa
Pasal ini melarang/meniadakan pakaian tradisional perempuan seperti kebaya, baju bodo, tradisi telanjang di Wamena, dan sebagainya
Bab 2 Pasal 5
Mengeksploitasi daya tarik ketelanjangan tubuh orang dewasa
Estetika feminis melihat ketelanjangan tubuh perempuan bukan hitam/putih, ataupun ketidakberdayaan, tetapi lebih pada konsep pemberdayaan, my body myself
Bab 2 Pasal 6
Mengeksploitasi daya tarik tubuh atau bagian-bagian tubuh orang yang menari erotis/bergoyang erotis
Pasal ini melarang perkembangan kesenian tradisional (jaipong, tayub, dll), juga dangdut)
Bab 2 Pasal 7
Mengeksploitasi daya tarik aktivitas orang yang berciuman bibir
Afeksi sebagai bagian dari wujud emosi perempuan, cium anak, cium suami dan pacar
Bab 2 Pasal 9
Mengeksploitasi daya tarik aktivitas orang dalam berhubungan seks dan melakukan aktivitas mengarah pada hubungan seks dengan pasangan berlawanan jenis (dan juga termasuk sejenis, Pasal 9 ayat 2)
Hubungan seks termasuk dalam wilayah pribadi yang menjadi hak individu untuk mengatur ruang privanya sesuai dengan penghormatan pada HAM
Bagian Kedua, Pornoaksi, pasal 25 dst
Setiap orang dewasa dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual, berciuman bibir, bergoyang erotis, gerakan tubuh menyerupai kegiatan hubungan seksual
Definisi pornoaksi tidak ditemukan dalam pemahaman feminisme (bahkan mungkin di negara manapun)
Bab III:
Pengecualian dan Perijinan
Pengecualian dan perijinan materi pornografi diberikan hanya untuk kepentingan kesehatan, olahraga, seni, ritual agama/tradisi, pendidikan
Definisi pornografi tidak pernah berlaku untuk bidang pendidikan, kesehatan, olahraga, tradisi/agama
Bab IV:BAPPN
Sebuah badan pemerintah yang mengawasi pornografi dan pornoaksi, dibeayai oleh negara
Secara historis, budaya patriarki menginstitusionalisasikan kekuatannya lewat sistem legalnya. Sistem hukum yang patriarkis mempunyai obsesi mengontrol tubuh dan seksualitas perempuan
Sumber: RUU APP, Kompas, Sabtu, 4 Maret 2006, halaman 51)



LAMPIRAN 2
Ketentuan Pidana menyangkut Pornoaksi


Tindak Pidana
Ancaman Hukuman

Denda
1. Mempertontonkan alat kelamin
1-5 tahun
Rp 50 juta--Rp 250 juta
2. Mempertontonkan pantat di depan umum
2-6 tahun
Rp 100 juta--Rp 300 juta
3. Mempertontonkan payudara di depan umum
1-5 tahun
Rp 50 juta--Rp 250 juta
4. Sengaja telanjang di depan umum
2-6 tahun
Rp 100 juta—Rp 300 juta
5. Berciuman bibir di depan umum
1-5 tahun
Rp 50 juta--Rp 250 juta
6. Menari erotis atau bergoyang-goyang erotis di muka umum
2-10 tahun
Rp 100 juta—Rp 500 juta
7. Melakukan masturbasi dan onani di depan umum
2-10 tahun
Rp 100 juta—Rp 500 juta
8. Melakukan gerakan tubuh yang menyerupai kegiatan masturbasi atau onani di depan umum
1-5 tahun
Rp 50 juta--Rp 250 juta
9. Melakukan hubungan seks di depan umum
2-10 tahun
Rp 100 juta—Rp 500 juta
10. Melakukan hubungan seks dengan anak-anak
3-10 tahun
Rp 100 juta—Rp 1 Milyar
11. Melakukan gerakan tubuh menyerupai kegiatan hubungan seks di muka umum
1-5 tahun
Rp 50 juta--Rp 250 juta
12. Menyelenggarakan acara pertunjukan seks
3-10 tahun
Rp 100 juta—Rp 1 Milyar
13. Menyelenggarakan pesta seks
0,5-1 tahun
Rp 25 juta—Rp 100 juta
14. Menonton acara pertunjukan seks
0,5-2 tahun
Rp 25 juta—Rp 100 juta
15. Menyediakan dana atau tempat untuk melakukan kegiatan pornoaksi
1-5 tahun
Rp 50 juta—Rp 250 juta

Sumber: RUU APP (Kompas, halaman 57, Sabtu, 4 Maret 2006)

[1] Bahan yang disampaikan dalam seminar mengenai RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi di Forum Kajian 164—FKGM NU (Forum Kajian Generasi Muda Nahdatul Ulama), 16 Maret 2006, di Jakarta.
[2] Wayan Sudirta, lahir di Desa Pidpid, Karangasem, Bali (1950), alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, pada tahun 1970-an ia ke Jakarta, berkarir sebagai pengacara di kantor LBH Jakarta. Sambil tetap aktif sebagai pengacara, tahun 1985 mendirikan Ormas Pemuda Hindu, yang melakukan penyadaran mengenai ‘’Hindu kontekstual’’, suatu sikap kritis terhadap perilaku politikus Bali jaman Orde Baru yang memperalat agama dan pemeluk Hindu semata-mata untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Dibawah payung Pemuda Hindu, bersama rekan-rekannya yang lain, dia melakukan advokasi dengan membentuk sejumlah tim advokasi, antara lain dengan mendirikan LSM anti korupsi Bali Corruption Watch (2000), MAK (Masyarakat Anti Korupsi tahun 2001), AMPaK (Aliansi Masyarakat Pencari Keadilan, tahun 2004), SPB (Solidaritas Pengacara Bali tahun 2003), KORdEM Demokrasi Bali (2004), dan sejumlah tim advokasi lainnya. Di Jakarta, bersama beberapa pengacara, ia juga menjadi penasihat hukum LSM anti-korupsi Indonesia Corruption Watch. Tahun 2001, bersama Pemuda Hindu dan berbagai komponen Hindu lainnya, menjadi motor reformasi di tubuh Parisada Hindu Dharma, majelis umat Hindu. Tahun 2004, terpilih sebagai anggota DPD dari Provinsi Bali, di urutan pertama. Di DPD, dia dipercaya sebagai Ketua PPUU (Panitia Perancang Undang-undang), Koordinator Penasihat Hukum DPD RI, Ketua Tim Kerja Penanggulangan Korupsi DPD RI.
[3] Media cetak maupun elektronik melakukan covering yang cukup komprehensif dan berimbang. Mereka menampilkan tidak hanya elemen-elemen massa yang melakukan kritik dan penolakan terhadap RUU APP tersebut (misalnya demonstrasi massa di Bali, yang dimuat harian Bali Post, Denpasar Pos, Warta Bali, Fajar Bali, Nusa Bali, Jawa Pos-RADAR BALI, Patroli Nusantara, dll sepanjang pertengahan Pebruari sampai minggu pertama Maret 2006), tetapi juga tulisan berupa esai di media cetak, seperti kolom Jaya Suprana ‘’Inul, Anjas & Pornografi’’ (Majalah TEMPO, 12 Maret 2006, halaman 75). Diantara tokoh masyarakat ataupun budayawan yang menolak RUU APP itu terdapat nama KH Abdurachman Wahid alias Gus Dur, Nyonya Sinta Nuriyah dan Sholahuddin Wahid, dan lain-lain (Bali Post, 10 Maret 2006).
[4] Kompas, Sabtu, 4 Maret 2006, halaman 61: Perempuan, Perda dan Domestikasi.
[5] Idem
[6] Kompas, Selasa, 7 Maret 2006 halaman 26: Perda Pelarangan Pelacuran, YLBHI Minta Pemkot Tangerang Mencabut.
[7] Kompas, 9 Maret 2006, halaman 26: Bukti Material Lemah, Kaum Perempuan Minta Perda No.8/2005 Dicabut
[8] Idem
[9] Idem

T-shirt Tickler



Untuk Uchi, dan aktivis anti RUU APP lainnya, yang untuk beberapa waktu telah "memimpikan" bagaimana wujud kaos "Co-exist", maka kami tampilkan purwarupa pertama dari kaos tersebut. Kaos ini dibuat oleh Made Marlowe sehari sebelum dengar pendapat publik pada 15 Maret lalu di gedung DPRD Bali. Saya memakainya selama pertemuan berlangsung.

For Uchi, and other anti bill activists out there, who for some time have wondered what the "Co-exist" T-shirt would look like, well, this is the first prototype of the thing. It was printed by Made Marlowe one day before the historic public hearing on March 15 at the Bali Legislative Council building in Renon. I wore it during the meeting.

Jun

PS: In the picture the shirt was worn by a model. My upper torso is not that good.

Traffic Jams at 1945

Respect to All!
Hormat untuk Semua!!

Dalam satu jam pertama beroperasinya Jiwamerdeka1945, situs ini telah menerima lebih dari 141 kunjungan. Lalu lintas yang ramai ini telah melampaui batas bandwith 4,2 Mb/jam yang dialokasikan penyedia layanan. Akibatnya, terjadi "kemacetan" virtual yang memperlambat kerja situs. Kami ingin meminta maaf atas kelambatan tersebut serta sekaligus kami ingin berterimakasih kepada para pendukung setia Jiwamerdeka yang telah beramai-ramai mengunjungi Jiwamerdeka1945 :-D

In the first hour of Jiwamerdeka1945 existence, the site received over 141 visits. The bussy traffic exceeded the host's 4.2 Mb/hour of bandwith limit, causing a virtual "bottleneck" that slow down the site's operation. We would like to apologize for the slow down and at the same time we would like to convey our gratitude to the ardent supporters of Jiwamerdeka, who have flocked into the site :-D

Marlowe and Jun

Jiwamerdeka1945

Hari ini dengan bangga kami meluncurkan Jiwamerdeka1945 http://www.geocities.com/jiwamerdeka1945 sebagai alat terbaru kami dalam melakukan kampanye melawan RUU APP

Today, we proudly launch the operation of Jiwamerdeka1945 http://www.geocities.com/jiwamerdeka1945 as our newest tool in the campaign against the Anti Pornography Bill.

Jiwamerdeka1945 diniatkan sebagai sebuah situs untuk mempresentasikan berbagai argumentasi visual melawan RUU APP. Saat ini, situs tersebut telah terisi dengan presentasi visual yang dibuat oleh tim Komponen Rakyat Bali (KRB) beberapa waktu sebelum pertemuan mereka dengan Pansus RUU APP di Jakarta pada Februari lalu.

Jiwamerdeka1945 is designed to be an image-oriented site that presents visual arguments against the bill. So far, a visual presentation, prepared by the Komponen Rakyat Bali (KRB)'s team prior to its meeting on February with the House of Representatives' Special Committee on the Anti Pornography Bill, has been uploaded into the site.

Enjoy!

Marlowe and Jun