Sunday, March 19, 2006

Tinjauan Wayan Sudirta

Pokok-pokok Pikiran Kritis
Terhadap RUU APP[1]
Wayan Sudirta[2]
Anggota DPD dari Provinsi Bali


Sampai hari ini, wacana dan polemik di seputar RUU APP (Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) masih menjadi kontroversi yang cukup tajam, dengan adanya kelompok-kelompok yang pro dan kelompok kontra RUU APP di berbagai daerah. Pemberitaan media massa cetak maupun elektronik yang berlangsung sampai hari ini, bagaimanapun juga telah membantu memberikan informasi, masukan dan wawasan baru kepada semua pihak, baik mereka yang duduk di Pansus RUU APP di DPR RI, kemudian juga kepada anggota DPR RI yang diagendakan akan membahas rancangan ini pada bulan Juni 2006, juga pemerintah RI, maupun berbagai elemen masyarakat Indonesia, yang dengan intens mengikuti wacana dan perkembangan dari RUU APP tersebut.[3]

Menurut berbagai informasi yang berkembang di media massa, pada awalnya beberapa tahun lalu, gagasan untuk membuat UU yang mengatur pornografi memang mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Itu akibat dari maraknya media-media cetak yang dianggap mengeksploitasi seksualitas tubuh untuk kepentingan komersial, yang dicap kurang memperhatikan aspek pendidikan serta kelaziman etika dan budaya yang hidup di masyarakat. Dukungan terhadap aturan untuk mengontrol media-media cetak yang mengeksploitasi seksualitas untuk kepentingan komersial tersebut, kini berbalik menjadi penolakan yang cukup keras, bukannya karena mereka berubah pikiran menjadi ‘’menerima pornografi serta eksploitasi seksualitas secara komersial’’. Penolakan disebabkan justru oleh konten dalam pasal-pasal di RUU APP yang dianggap punya beberapa kecenderungan negatif.

Berkaitan dengan hal tersebut, kami merasa perlu untuk menyampaikan beberapa fakta, analisa dan pemikiran kritis, untuk menanggapi RUU APP maupun wacana yang berkembang di masyarakat, yang pro maupun yang kontra.

1. Anti RUU APP Tak Berarti Menyetujui Pornografi.
Berita-berita media massa mengenai aksi massa dalam penolakan-penolakan terhadap RUU APP yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, bilamana direspon secara keliru, bisa mengesankan seakan-akan penentang RUU APP tersebut berpihak pada pornografi, setuju pada eksploitasi seksualitas, serta eksploitasi tubuh manusia khususnya tubuh perempuan untuk kepentingan-kepentingan komersial. Padahal, dari sudut pandang yang sama, mereka sebetulnya menolak pornografi dan eksploitasi tubuh khususnya yang menimpa kaum perempuan, guna kepentingan-kepentingan komersial. Reaksi pro-kontra yang berkembang di masyarakat dalam beberapa hari belakangan ini memang bisa ‘’membingungkan’’.

Dari catatan-catatan yang ada, awalnya beberapa elemen masyarakat di Indonesia memang memberikan apresiasi positif bahkan mendesak agar pemerintah melakukan law enforcement terhadap pornografi dan eksploitasi seksual dan seksualitas, termasuk melalui UU. Ketika wacana ini digulirkan, masyarakat memang menyaksikan maraknya media-media porno maupun pemberitaan yang mencengangkan tentang perdagangan perempuan dan anak-anak. Masuk akal kalau masyarakat memberikan dukungan penuh pada pemerintah, baik untuk law enforcement maupun regulasi melalui UU. Hanya saja masyarakat belum mengetahui secara transparan kelanjutan dan proses sampai munculnya RUU APP ini. Apakah sebelumnya telah dilakukan pengumpulan informasi yang komprehensif sebelum sampai pada RUU? Apakah sudah ada naskah akademiknya, dan apakah naskah akademik yang ada ini sudah pernah disosialisasikan dan dicarikan masukan-masukan masyarakat? Apakah elemen masyarakat yang didengar aspirasi dan masukannya sudah merepresentasikan keragaman kultur yang ada di republik ini? Ini memang belum terlalu jelas, dan masyarakat terkaget-kaget ketika Pansus RUU APP mengekspos rancangannya, serta jadual kerja mereka, apalagi ada target untuk mengesahkannya pada bulan Juni 2006 mendatang. Statement tentang target waktu yang disampaikan secara strict ini memang menimbulkan pertanyaan masyarakat, apakah ada agenda politik dibalik semua itu, oleh karena lazimnya masalah-masalah berat dan menyangkut keutuhan bermasyarakat dan berbudaya, sebaiknya dibahas dalam skedul yang longgar, karena yang terpenting adalah proses dan output-nya, bukan semata-mata output, apalagi output yang nanti bisa ditafsirkan bernuansa politis.

Sebagai Anggota DPD RI dari Provinsi Bali, kami juga mengecam pornografi dan eksploitasi tubuh (perempuan khususnya) yang semarak dalam beberapa tahun belakangan ini. Namun, memberantas pornografi dan eksploitasi tubuh (perempuan khususnya) tidaklah dapat diserahkan sepenuhnya pada mekanisme politik dan hukum seperti yang terasa dalam RUU APP tersebut. Ranah moral dan etika ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab rohaniwan dan institusi-institusi keagamaan, yang pendekatannya harus dilakukan melalui edukasi, bukan dengan pendekatan politik maupun pendekatan hukum yang disertai pemidanaan.

2. Substansi RUU AAP untuk RUU KUHP di Prolegnas 2005
RUU APP masuk dalam daftar prioritas RUU di Program Legislasi Nasional tahun 2005 dengan keterangan, bahwa ‘’substansi sudah dimasukkan dalam RUU KUHP). Dalam 55 RUU di daftar prioritas RUU Prolegnas 2005, RUU APP terdaftar di urutan 21. Kalau di tahun 2006 ini tiba-tiba RUU APP muncul dengan pembentukan Pansus RUU, padahal RUU KUHP belum dibahas, wajar kalau muncul tanda tanya, ada agenda apa dibalik desakan kuat untuk membahas serta mengesahkan RUU APP tersebut? Sebetulnya, dengan ‘’memasukkan substansi RUU APP dalam KUHP’’, berarti RUU APP sudah tidak diperlukan, atau setidak-tidaknya harusnya pemerintah lebih memprioritaskan pembahasan RUU KUHP, agar bisa memasukkan substansi dari RUU APP serta RUU lainnya dalam KUHP tersebut.


3. Fungsi Ajaran, Institusi dan Tokoh Agama
Sebagai sesama bangsa Indonesia yang mewarisi pluralisme kultural, yang diantaranya merupakan budaya adiluhung, hasrat untuk menjadi manusia dan bangsa yang hidup dalam tataran moral dan etika yang luhur adalah hasrat semua orang. Etika dan moral dalam konteks kultur yang beragam di Indonesia ini, pastilah sangat menolak pornografi serta eksploitasi seksualitas maupun sensualitas untuk kepentingan-kepentingan yang komersial, apalagi yang berindikasi pidana. Berbagai kasus yang pernah muncul, seperti peredaran VCD porno dari gadis-gadis model yang direkam dengan kamera tersembunyi sebagai satu contoh, adalah cermin dari adanya pelaku yang secara sengaja mengeksploitasi tubuh perempuan dengan cara merekam adegan-adegan ketelanjangan, untuk kemudian digandakan dan dijual demi keuntungan finansial. Sepanjang memang bisa dibuktikan berindikasi pidana seperti yang terjadi dalam kasus ini, law enforcement dengan KUHP oleh kepolisian, sebetulnya sudah memadai. Sementara perilaku dan etika masyarakatnya, untuk mengarahkannya pada sikap yang sesuai dengan ajaran agama serta keteladanan tokoh-tokoh agama dan rohaniawan yang bijak, tanggung jawab bukan lagi di tangan aparat penegak hukum. Beban tanggung jawabnya justru lebih pada ajaran agama melalui institusi keagamaan serta keteladanan tokoh-tokohnya.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita merasakan gejala dekadensi moral dan etika yang melanda pada berbagai lapisan masyarakat. Termasuk dalam perilaku dan moralitas yang berkaitan dengan eksploitasi seksual serta seksualita dan sensualitas semata-mata untuk kepentingan komersial. Negara punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menjaga etika dan moral masyarakat dan untuk itu mereka telah diperlengkapi dengan aparat, anggaran, serta perangkat hukum seperti KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Penyiaran, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan lain sebagainya. Peraturan perundangan ini adalah senjata untuk melakukan law enforcement terhadap warga masyarakat yang melakukan pelanggaran.

Bahwa peraturan perundangan yang ada tersebut bisa saja tidak sanggup menyentuh berbagai perilaku dan budaya tertentu yang berkembang kemudian – yang oleh kultur komunitas mungkin dirasakan sebagai pelanggaran etika dan moral, misalnya berciuman bibir di muka umum, yang katakanlah merupakan budaya dalam masyarakat Barat dan mungkin mulai mempengaruhi budaya Indonesia –tidaklah serta merta solusinya harus dilakukan dengan membuat UU.

Kita justru mesti memberikan peran dan tanggung jawab ini pada tokoh dan institusi keagamaan, karena mereka inilah yang mestinya berkewajiban untuk melakukan edukasi, sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai yang dianut dalam agama masing-masing. Sebagai bangsa yang pluralistis, kemajemukan tidak hanya terdapat dalam agama dan komunitas yang berbeda, tetapi dalam agama dan komunitas yang sama pun ada varian-varian yang sangat beragam pula. Keragaman dan varian itu termasuk juga dalam hal sensualitas dan seksualitas. Tarian Legong Keraton yang gemulai dan dipentaskan di berbagai tempat di masyarakat Bali misalnya, goyangan pinggul penarinya bukanlah representasi dari hasrat-hasrat seksualitas apalagi nafsu berahi, tetapi merupakan perlambang dari estetika, persembahan dan terimakasih pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan dunia yang maha plural ini.

Kalaupun masyarakat Bali pernah heboh oleh ‘’Joged Porno’’ – karena penarinya dengan berani mempertontonkan adegan seakan-akan sedang berhubungan seks, dan disertai dengan mengangkat kamben, hingga betisnya terlihat – dan pro-kontra meletus di masyarakat, solusinya bukanlah dengan mempidanakan si penari maupun Sekeha Joged tersebut. Tapi dengan cara mendiskusikan fenomena tersebut secara analitis, dan manakala kritik dan kecaman cukup kuat di masyarakat, Joged Porno model yang disebutkan tadi melakukan kontrolnya sendiri. Adegan pornonya boleh jadi dianggap ‘’memalukan’’ dan ‘’kurang patut’’, tetapi tidak ada desakan masyarakat Bali untuk ‘’mempidanakan’’ pementasan model-model demikian.


4. Pasal-pasal Ambigu dan Multi-tafsir
Sejumlah terminologi dalam RUU APP ini, seperti sensual (pasal 25), telanjang (pasal 26), erotis (pasal 28) sebetulnya masih ambigu dan sangat mudah menstimulasi penafsiran yang beragam. Memang ada penjelasan mengenai terminologi sensual dan erotis. Penjelasannya inilah yang justru menimbulkan masalah baru, yakni:

a. Pertama dalam definisi sensual yang dijelaskan sebagai ‘’alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya’’ (pasal 4). Konsekuensi dari definisi ini bisa sangat ‘’mengerikan’’. Gadis-gadis muda yang gemar mengenakan tank-top atau busana back less, bisa diseret ke pengadilan untuk dijadikan Terdakwa dan kemudian dijatuhi hukuman pidana. Masyarakat miskin yang mandi telanjang di sungai dan permandian umum, sesuatu yang telah menjadi ‘’tradisi’’ dan dalam konteks harga toilet dan kamar mandi yang cukup mahal, mandi telanjang di sungai yang sebetulnya merupakan solusi dari kemiskinannya – mereka tidak mampu membuat toilet dan kamar mandi yang beayanya cukup mahal bagi mereka -- akan bisa ditangkapi atas tuduhan ‘’jorok, porno, tidak sopan’’ menurut semangat RUU APP. Penari-penari tradisional seperti Joged Bumbung di Bali, Tayub di Jawa Tengah, Gandrung di Banyuwangi, dan lain sebagainya, yang diharuskan memperoleh IJIN PEMERINTAH dan ditempatkan di TEMPAT KHUSUS, akan kehilangan fungsi tradisionalnya sebagai tari hiburan dan pergaulan rakyat, bilamana RUU APP disahkan.

Bisakah dibayangkan bagaimana dampak bila nantinya pemerintah memberlakukan RUU APP, kalau ketika RUU APP masih dalam wacana saja, inisiatif daerah-daerah untuk membuat Perda yang ‘’berspirit dan bermoralkan etika RUU APP’’ sudah sedemikian itu semaraknya. Padahal, satu prinsip penting dalam hukum adalah ‘’kepastian hukum’’, dimana definisi harus tegas, tidak boleh ambigu dan memberi ruang multi-tafsir, karena penafsiran yang beragam-ragam bisa mengancam harmoni, kesatuan dan persatuan dalam bingkai NKRI.

Penting juga untuk mengingatkan disini, bahwa Perda diragukan kewenangannya mengatur masalah susila, karena kewenangan struktural untuk pengaturan pidana itu ada di KUHP.

b. Kedua, soal ‘’menari erotis yang dijelaskan sebagai melakukan gerakan-gerakan tubuh secara berirama dan mengikuti prinsip-prinsip seni tari sedemikian rupa sehingga gerakan-gerakan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu karya seni koreografi. Sedangkan yang dimaksud bergoyang erotis adalah melakukan gerakan-gerakan tubuh secara berirama, tidak mengikuti prinsip-prinsip seni tari, dan lebih menonjolkan sifat seksual sedemikian rupa sehingga gerakan-gerakan tersebut dapat diduga bertujuan merangsang nafsu birahi.’’ Batasan ini bisa menjadi sumber masalah sangat besar, dan tidaklah salah kalau ada yang mencurigainya sebagai upaya penyeragaman kreativitas kultural dan sekaligus memberangus kreasi-kreasi seni dan budaya lokal, yang dari kacamata dan cara pandang tertentu bisa saja dicap erotis dan bergoyang erotis. Di Provinsi Bali, tarian pergaulan Joged Bumbung sarat dengan goyangan nan indah dan memang bisa mencitrakan sensualitas yang wajar dalam batas-batas kesopanan, dan merupakan salah satu seni hiburan rakyat yang sangat populer. Sekalipun mengandung nuansa sensual, sebetulnya tidak ada pretensi untuk menyuguhkan sesuatu yang jorok dan mengundang nafsu birahi. Belum lagi goyang gemulai penari Legong yang telah diprofankan maupun tarian Legong-legong sakral di pura, yang merupakan perlambang dari keindahan, tarian yang dipersembahkan sebagai penghormatan terhadap kemurahan Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sensualitas dalam konteks seni dan ritual ini, sama sekali jauh dari konteks nafsu berahi, tetapi lebih cenderung pada eksplorasi estetika serta penghormatan pada keindahan Maha Ciptaan Tuhan.

Kita dapat membayangkan, bagaimana seni-seni hiburan seperti tari Jaipong di Jawa Barat atau Gandrung di Banyuwangi, yang menampilkan goyangan dengan nuansa sensual serta erotik dalam batas-batas yang wajar, akan diberangus dengan RUU APP ini. Asumsi bahwa kreasi-kreasi dan ciptaan bernuansa sensual dapat merusak moral bangsa, sebetulnya merupakan kekhawatiran yang berlebih-lebihan.

c. Pengecualian Seni, Ritus, dan Olahraga tapi ada ‘’Politik Ijin’’
Memang, dalam pasal 36 RUU APP, ada pengecualian untuk ‘’cara berbusana menurut adat dan budaya lokal tertentu, kreasi-kreasi seni, sampai pada olahraga’’ yang disana-sini bersentuhan dengan ‘’ketelanjangan dan sensualitas’’.

Bunyi lengkap dari pasal 36 dalam RUU APP adalah:
(1) Pelarangan pornoaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, atau Pasal 32, dikecualikan untuk:
a. Cara berbusana dan/atau tingkah laku yang menjadi kebiasaan menurut adat‑istiadat dan/atau budaya kesukuan, sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan ritus keagamaan atau kepercayaan;
b. Kegiatan seni;
c. Kegiatan olahraga; atau
d. Tujuan pendidikan dalam bidang kesehatan.
(2) Kegiatan seni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilaksanakan di tempat khusus pertunjukan seni.
(3) Kegiatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya dapat dilaksanakan di tempat khusus olahraga.

Selanjutnya, dalam Pasal 37 disebutkan sbb:
(1) Tempat khusus pertunjukan seni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) harus mendapatkan izin dari Pemerintah.
(2) Tempat khusus olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) harus mendapatkan izin dari Pemerintah.
Pengecualian dengan pasal 36 ini, sebetulnya tidaklah sepenuhnya melegakan, karena toh masih ada pembatasan, dimana dalam pasal 37 diatur lagi dengan IJIN PEMERINTAH. Dalam pasal 37 (1) disebutkan bahwa ‘’Tempat khusus pertunjukan seni sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 (2) harus mendapat ijin dari Pemerintah. Lalu di Pasal 37 (2) Tempat khusus olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 (3) harus mendapat ijin dari Pemerintah.
Pengecualian terhadap seni yang dikhususkan terhadap SENI PERTUNJUKAN sebetulnya menimbulkan pertanyaan baru: bagaimana halnya dengan seni lukis, seni patung, seni multimedia, sampai pada seni musik? Apakah seni-seni ini tidak mendapat pengecualian, ataukah mendapat pengecualian penuh tanpa memerlukan IJIN lagi seperti halnya SENI PERTUNJUKAN?
Kalau SENI PERTUNJUKAN yang dianggap berpretensi erotis dan sensual harus minta ijin pemerintah, kekhawatiran paling mendalam dari masyarakat adalah bahwa politik perijinan ini akan menjadi pemasungan baru yang bahkan jauh lebih represif dibandingkan Orde Baru. Masyarakat pedesaan yang merayakan hari kelahiran anaknya dengan upacara keagamaan harus meminta ijin Pemerintah bila ingin menanggap Joged Bumbung yang bisa dianggap erotis dan sensual. Masyarakat Jawa yang sudah turun temurun bebas mementaskan tarian yang dianggap sensual dan erotis, seperti tari Gandrung di Banyuwangi, Tayub di Jawa Tengah, dan tari-tarian lainnya, berpegang pada pasal 37 ini, tidak lagi bebas seperti dulu, tetapi harus mendapat ijin pemerintah.
Demikian juga halnya dengan olahraga, yang mendapat pengecualian (pasal 36) serta persyaratan perijinan (pasal 37). Bayangan masyarakat terhadap olahraga ‘’berijin’’ di ‘’tempat khusus’’ ini adalah model pertandingan resmi. Lalu, bagaimanakah halnya masyarakat yang berolahraga diluar ‘’tempat khusus’’, misalnya mereka yang berenang di pantai, arobik sepanjang pantai sambil menyongsong matahari terbit, atau santai dengan celana pendek sambil erobik sepanjang jalan sepi di depan rumah yang notabene adalah ruang publik? Bila berpegang pada RUU APP, mereka akan terancam pidana. Dan kalau itulah yang terjadi, RUU APP bisa dirasakan merampas sebagian dari privasi warga negara.
Diaturnya ‘’tempat khusus’’ untuk menyelenggarakan pertunjukan maupun olahraga, tentu punya konsekuensi tersendiri – yang mungkin tidak disadari dan tidak disengaja -- yakni memasung kegiatan maupun seni pertunjukan dan seni-seni lainnya. Seni pertunjukan yang dianggap sensual, sebutkanlah misalnya tarian Joged Bumbung ataupun Legong di Bali, yang secara tradisional dipentaskan dalam konteks kebudayaan lokal, pementasannya justru dilakukan di berbagai tempat. Seni joged sebagi hiburan, dipentaskan di ruang publik yang mudah diakses masyarakat. Demikian juga halnya dengan olahraga, yang tidak selalu berarti olahraga resmi yang dikelola, misalnya oleh insititusi olahraga yang ada. Warga masyarakat bisa berolahraga dengan berenang di kolam renang milik pribadi, atau jalan santai di jalan-jalan umum dengan celana pendek yang bisa diancam pidana karena tidak diadakan di ‘’tempat khusus.’’ Bila nantinya tempat khusus diatur pemerintah dan kekhususan menjadi spesifik dan formal, boleh jadi tidak bisa lagi mementaskan tarian Joged Bumbung di halaman rumah seorang warga pedesaan di Bali, tidak bisa lagi jalan santai dengan celana pendek di jalan-jalan umum yang selama ini sering digunakan untuk bersantai, dan sejenisnya.
Artinya, pasal 36 dan pasal 37 ini merupakan aturan yang menjadi hambatan dan pemasungan ekspresi kreatif untuk seniman yang mencipta maupun masyarakat penikmatnya.

5. Penyeragaman
Mengikuti pasal demi pasal dalam RUU APP ini, berbagai elemen masyarakat menilai bahwa rancangan ini menebar semangat penyeragaman, mengabaikan atau bahkan mengancam kekhasan kreasi budaya lokal, dan karenanya dikhawatirkan bisa mengganggu harmoni antar berbagai komunitas yang kulturnya beragam. Pasal 32 UUD 1945 mengamanatkan, bahwa negara punya kewajiban untuk memajukan kebudayaan bangsa. Tidaklah bisa disalahkan kalau ada elemen masyarakat, jangan-jangan ada agenda politik dari kelompok-kelompok tertentu, untuk mengimpor budaya luar yang dianggap sejalan dan senafas dengan spirit ‘’budaya RUU APP’’, guna dijadikan standar moral dan etika di Indonesia.

Apalagi, Ketua Pansus RUU APP, Saudara Balkan Kaplale pernah menyatakan, bahwa nantinya akan ada belasan PP (peraturan pemerintah) yang melengkapi RUU APP. PP akan dijadikan rujukan oleh aparat untuk melakukan ‘’eksekusi’’ terhadap orang yang dianggap melanggar RUU APP. Kalau benar ada rencana dan target seperti itu, ini akan sangat berbahaya, karena PP bersifat sepihak, ditetapkan oleh pemerintah dan sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah. Kalau terlalu banyak elemen kehidupan masyarakat dalam konteks RUU APP ini diserahkan pada mekanisme PP, maka dapatlah dibayangkan, betapa penguasa akan memiliki kewenangan yang sangat besar untuk mengatur dan ‘’mengeksekusi’’ warga negara yang dianggap melakukan pelanggaran terhadap RUU APP.

Konsekuensi penyeragaman, atau setidaknya aplikasi-aplikasi yang merujuk pada kultur tertentu yang pemeluknya bersikap fundamentalistik – apalagi RUU APP nanti akan dilengkapi dengan belasan PP – adalah sikap serta tindakan-tindakan ‘’menghakimi’’ kultur lain yang mereka anggap pornografis, sensual dan erotis. Kasus empirik yang terjadi di Tangerang, dimana perempuan ditangkap karena kebetulan sedang ‘’sendirian’’ – padahal ia sedang bersama suaminya yang sejenak berpisah karena ada urusan di tempat lain – memancarkan hasrat untuk standarisasi moral dari sudut pandang kelompok, yang bilamana ‘’eksekusi hukumnya’’ dikelola melalui mekanisme Peraturan Daerah -- atau katakanlah juga PP di tingkat pemerintah pusat – menjadikan moralitas dan etika terseragamkan menurut cara pandang negara.

Karenanya, tidaklah keliru bilamana disana-sini, tidak hanya komunitas-komunitas seni dan budaya diluar ritual agama dan olahraga saja yang cemas, bahkan masyarakat diluar dua komunitas ini, yang menyadari konsekuensi pasal demi pasal dalam RUU APP ini, merasa bahwa RUU ini akan sampai pada satu citarasa tunggal, berdasarkan moral dan etika kebudayaan tertentu. Apakah setelah RUU APP disahkan, yang dimaksudkan Ketua Pansus RUU APP ini, akan ada PP yang mengatur, misalnya tentang cara berbusana dan desain busana yang ‘’seiman’’ dengan UU APP? Andaikan nanti ada PP yang mengatur desain pakaian yang ‘’patut dan sah menurut UU APP”, tidakkah benar bisa muncul kecemasan bahwa industri desain dan produksi pakaian dari beragam gaya pakaian yang digemari oleh berbagai kalangan – mulai dari anak baru gede, orang dewasa sampai orang-orang tua – harus diselaraskan agar ‘’tidak mengumbar sensualitas’’ agar tidak pula menjadi gaya pakaian yang bisa dipidanakan?

Memang, asumsi-asumsi diatas ini hanyalah pengandaian kecemasan. Namun, pasal demi pasal di RUU APP memang memberikan celah untuk munculnya kebijakan-kebijakan yang dianggap sebagai kelanjutan UU APP, baik di pemerintah pusat maupun di daerah. Bilamana Pemda Tangerang dengan Perda tentang Pelarangan Pelacuran dan Pemda Indramayu dengan pelarangan menampilkan tarian goyang Dongbretnya sudah memberikan contoh empiriknya, justru ketika RUU APP belum dilaksanakan, masuk akal saja kalau masyarakat diluar daerah tersebut mulai was-was, jangan-jangan Pemerintah Daerahnya akan bergiat merancang Peraturan Daerah bersemangat UU APP, guna mengatur moral dan etika masyarakatnya.

6. Pendekatan Politik dan Kekuasaan
RUU APP dapat dikatakan sebagai masuknya kekuasaan kedalam ruang privat warga masyarakatnya dengan cara yang berlebih-lebihan. Sekalipun dalam berbagai komunitas yang berbeda terdapat gaya dan budaya hidup yang berbeda – termasuk dalam cara mengungkapkan kasih sayang, antara lain melalui ciuman, pelukan, dan salaman misalnya – dan mereka bisa berbeda pendapat dalam cara-cara yang beragam itu, apakah tepat ‘’mempidanakan’’ perbedaan tersebut? Apakah tepat ‘’mempidanakan pasangan yang berciuman bibir di depan umum’’, manakala diungkapkan sebagai ekspresi kasih sayang dan kerinduan, sekalipun mungkin kita kurang sependapat atau tidak melakukan hal seperti itu di muka publik? Masih banyak contoh lainnya, dalam bentuk ciuman pipi pada masyarakat yang berbeda-beda kulturnya, tetapi apakah negara perlu mengatur soal-soal privat seperti itu dan satu kelompok ataupun komunitas yang tidak sependapat, apakah berhak dan tepat mendorong negara agar mempidanakan para pelaku dari budaya yang berbeda tersebut?

Kalau sampai RUU APP lolos, tidak mungkinkah ini akan menjadi preseden, bahwa akan muncul regulasi-regulasi yang mengatur ruang privat dalam bentuk yang lebih detil, sampai akhirnya warga negara merasakan bahwa negara telah melakukan ‘’kekerasan terhadap warganya’’ melalui pengaturan-pengaturan yang memasung ekspresi privat para warga negara?

7. Ancaman Desintegrasi Bangsa
Terlepas dari rasa cinta sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap NKRI yang telah diletakkan oleh para Bapak Bangsa, bila kita melakukan refleksi secara jernih, munculnya separatisme di Aceh dan Papua yang sempat merepotkan persaudaraan kita semua, maupun separatisme semasa kepemimpinan Bung Karno, disebabkan antara lain oleh karena sentralisasi politik yang kelewat kuat oleh kekuatan politik yang berkuasa, atas dukungan militer. Kini, manakala ada kelompok dan komunitas memperjuangkan perbaikan ‘’moralitas dan etika’’ melalui RUU APP yang bahkan sudah masuk ke parlemen, dari visi sampai pada beberapa pasalnya, orang bisa merasa bahwa ada semangat ‘’sentralisasi kultural’’ di dalamnya.

Sebetulnya, di era otonomi daerah yang sekarang ini telah menjadi praksis politik paska hancurnya Orde Baru, masyarakat di daerah belum sepenuhnya merasakan adanya otonomi yang sungguh-sungguh, karena ada beberapa bidang strategis masih dikendalikan dan dikuasai pusat. Nah, kalau di tengah otonomi daerah yang masih merupakan dialog yang hangat ini tiba-tiba muncul ‘’sentralisasi kultural dan moral’’ melalui RUU APP ini, memang tidak mustahil kalah RUU APP ini menjadi faktor penambah dan pendorong munculnya semangat untuk memperjuangkan Otonomi Khusus, atau bahkan semangat separatis. Warga Bali yang sangat mencintai NKRI – tidak hanya karena ikatan emosionalnya yang amat kuat pada Bung Karno yang dalam tubuhnya mengalir darah Bali, tapi juga karena nasionalismenya yang kuat – dan tidak menghendaki desintegrasi dari NKRI, oleh kebijakan politik dan kebudayaan yang dirasakan sentralistis dan didominasi satu elemen tertentu saja, secara tidak langsung bisa merasa didorong-dorong untuk ‘’memisahkan diri, walaupun tak menghendaki.’’ Tidak hanya masyarakat Bali, masyarakat lain di wilayah Nusantara ini bisa mengalami perasaan terasing dan didominasi, bilamana RUU APP ini disahkan dan diberlakukan.

8. Konstruksi Sosial yang Keliru
Dari aspek jender, RUU APP cenderung memperlakukan seakan-akan perempuanlah sumber dari kebobrokan moral dan etik yang terjadi di negeri ini. Padahal, dalam prakteknya, perempuan adalah korban eksploitasi seksual dan sensualitas untuk kepentingan-kepentingan komersial yang pelakunya sebagian besar laki-laki. Munculnya Perda No. 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Pemkot Tangerang, yang telah menjadikan beberapa perempuan baik-baik sebagai korban, hanya karena ‘’dicurigai menjadi pelacur’’, merupakan contoh kongkret dari konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai ‘’sumber amoralitas’’. Padahal, semua ajaran agama dan etika dari bangsa dan komunitas manapun, pastilah memuliakan perempuan maupun lelaki tanpa membeda-bedakannya. Politik jender yang mendiskriminasikan perempuan merupakan ekses dari budaya politik yang paternalistik, bisa memperoleh legitimasinya dalam RUU APP, bila nantinya disahkan tanpa koreksi pasal demi pasal secara amat mendasar. Munculnya penolakan kuat oleh kelompok-kelompok perempuan, sepatutnya mendorong kita semua untuk melakukan refleksi dan kajian yang lebih mendalam.

9. Bertentangan dengan UU Pariwisata
UU Pariwisata No. 9/1990, memberikan apresiasi dan penghargaan tinggi terhadap agama, budaya, adat istiadat masyarakat, serta keragamannya yang khas di Indonesia ini. Bangsa-bangsa dari negara yang lain terdorong untuk melakukan perjalanan wisata, justru oleh karena ingin melihat kebudayaan berbeda dari yang menjadi tradisi mereka. Selain karena terdorong untuk mengapresiasi seni, kebudayaan serta pemandangan alam yang berbeda tersebut, dorongan akan semakin kuat bilamana kita menerima ‘’perbedaan dan keragaman’’ dari bangsa-bangsa yang melakukan perjalanan wisata tersebut. Sepanjang masih bisa diterima dan ditoleransi, dalam interaksi kebudayaan dari bangsa-bangsa yang berbeda ini -- selain dari kemajemukan internal di wilayah Nusantara ini tentunya – menjadi penting untuk mempertimbangkan keragaman budaya dari para wisatawan, dan sampai batas-batas tertentu mempersilakan mereka menikmati keunikan seni dan budaya kita sembari menampilkan tradisi dan cara hidup mereka secara sepatutnya.

RUU APP, sekalipun telah mengecualikan ‘’seni, ritus agama dan kebiasaan berpakaian pada masyarakat tertentu serta olahraga’’, namun ‘’politik perijinan’’ serta pengaturan ‘’tempat khusus’’ yang ditentukan oleh pemerintah, merupakan kendala dan mengambil kebebasan dan kemerdekaan kreatif dari beragam etno-kultur yang ada di Indonesia. Secara tidak langsung, RUU APP ini memang bisa berdampak pula pada kehadiran wisatawan khususnya, yang ibarat sodokan bola biliar, bisa berdampak pada kemerosotan berbagai investasi yang terkait dengan RUU APP.

Dalam praksis politik dan hukum yang berlaku, pengecualian belum tentu sungguh-sungguh bisa memberikan kebebasan dan perlindungan kepada ekspresi dalam bentuk ‘’seni, ritus agama dan olahgara’’ tersebut. Yang bisa terjadi justru sebaliknya, dengan pengecualian melalui perijinan tersebut, yang nantinya berkembang adalah pemerasan dan pungutan liar oleh aparat yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Dan kalau praksisnya adalah pemberangusan keunikan dan perbedaan budaya di internal Nusantara ini maupun pembendungan terhadap budaya luar yang dibawa oleh para wisatawan tersebut, pada gilirannya RUU APP memang bisa menjadi semacam ‘’lonceng kematian’’ untuk pariwisata. Indonesia sangat banyak memperoleh devisa jutaa dollar dari jutaan wisatawan yang datang dari berbagai negara, dengan kultur mereka yang juga berbeda-beda. Perlu memperhitungkan pula kemungkinan merosotnya devisa dari berkurangnya wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, karena khawatir dipidanakan, misalnya karena berciuman bibir atau karena berjemur dengan bikini minim di kehangatan pagi di pantai-pantai indah Nusantara ini.


10. Respon dan Revisi RUU APP yang agak janggal
Selain dipersoalkan dengan cukup keras oleh berbagai elemen masyarakat, cara kerja Pansus RUU APP dalam menangani dan merespon reaksi masyarakat, mengesankan reaksi yang kurang profesional dan tidak mencerminkan kapasitas legislator seperti yang seharusnya. Dalam pemberitaan beberapa media massa pada Senin (13/3), diinformasikan bahwa ‘’RUU APP Direvisi’’, dengan sejumlah detil – yang jika betul demikian – justru bisa merupakan masalah baru, antara lain:
a. Pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana; selanjutnya diusulkan untuk dimasukkan ke KUHP dalam revisi yang sedang disusun Departemen Hukum dan HAM
b. Pasal-pasal yang mengatur soal definisi pornografi dan pornoaksi; selanjutnya khusus mengadopsi arti pornografi berdasarkan pengertian dari Yunani, yaitu ‘’porne’’ (pelacur) dan ‘’graphos’’ (gambar atau tulisan) atau tulisan/gambar tentang pelacur
c. Pasal-pasal yang mengatur soal pornoaksi; selanjutnya pornoaksi lebih ditekankan pada pihak yang mengambil keuntungan dengan memperdagangkan atau mengeksploitasi pornografi.
d. Bab yang antara lain dihapus dari draft awal RUU APP adalah:
(1) Bab IV mengenai Badan APP; selanjutnya urusan penegakan hukum berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi dijalankan oleh polisi, jaksa dan hakim
(2) Bab IX mengenai sanksi; selanjutnya sanksi pidana soal pornografi dan pornoaksi akan dimasukkan ke revisi KUHP yang sedang berjalan saat ini.

Apakah revisi yang diumumkan oleh Ketua Pansus RUU APP dan diberitakan media pada tanggal 13/3, memang benar demikian? Bila benar ada revisi demikian, maka masyarakat bisa mempertanyakan penguasaan dan pemahaman teknis hukum dari Pansus RUU APP mengenai UU dan penyusunannya. Revisi yang dibuat Pansus RUU APP dengan gagasan bahwa RUU APP hanya mengatur larangan-larangan, tetapi tidak mengatur sanksi pidananya, memang terasa aneh, karena setiap UU terdiri atas norma-norma hukum, apa yang tidak boleh dilakukan, serta sanksi untuk para pelanggarnya. Apalagi digagas untuk menyerahkan sanksi pidana itu kepada KUHP, itu berarti bahwa secara tersirat dan tersurat, sikap Pansus yang dipublikasikan media ini bisa menjadi indikasi bahwa RUU APP ini sebetulnya tidaklah diperlukan lagi, karena sanksi-sanksi pidana sudah diatur dalam KUHP.

11. Ekses-ekses Sepanjang Pewacanaan RUU APP
a. Perda No. 8/2005 di Tangerang
Sudah ada fakta empirik, bagaimana di Pemkot Tangerang, sebanyak 11 perempuan menjadi korban dari Perda No. 8/2005, yang terasa memancarkan semangat ‘’etik dan moral ala RUU APP’’ ini. Bunyi dari Perda No 4/2005 tersebut adalah ‘’Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk, kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat lain di daerah’’ [4]. Dalam kasus ini, Lilis Lindawati (36), istri guru SD Negeri di Gerendeng, Tangerang, ditangkap ketika sedang menunggu kendaraan untuk pulang ke rumahnya di Cadas, Tangerang, setelah bekerja di rumah adiknya di Perumnas Tangerang. Ny. Triana, istri Denny, warga Perumnas Tangerang, juga ditangkap dengan tuduhan sama. Senin (27/2) malam itu Denny yang punya bisnis mobil mengajak istrinya dan seorang rekannya bertemu seorang rekanan di hotel. Denny keluar untuk membeli makanan, dan saat itu istrinya dirazia...Di Tasikmalaya, bupati membuat surat edaran kepada siswi SD, SMP, SMA/SMK, lembaga kursus dan perguruan tinggi beragama Islam untuk mengenakan seragam menutup aurat. Di Aceh, Komnas Perempuan menerima laporan kekerasan yang dialami tiga perempuan aktivis yang diangkut paksa oleh Polisi Syariah (WH) ke kantor WH karena tidak mengenakan jilbab saat sedang duduk dan berbincang di depan kamar mereka di sebuah hotel usai mengikuti lokakarya Jaringan Perempuan untuk Perdamaian.[5]

Perda No. 8/2005 yang oleh berbagai kalangan dianggap diskriminatif terhadap perempuan dan juga sangat serba tidak jelas dalam perumusan unsur-unsur pidananya, telah menimbulkan kritik dan tanggapan dari berbagai kalangan. YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) mendesak Perda No. 8/2005 di daerah Tangerang itu agar dicabut. [6] Desakan yang sama masih muncul dari kaum perempuan, karena ‘’bukti material’’ dalam Perda No. 8/2005 tersebut sangat lemah.[7] Direktur LBH APIK, Batara Munti bahkan mengancam akan melakukan gugatan class action atau meminta melakukan uji materi atas Perda Pemkot Tangerang tersebut. Sementara beberapa pengamat menyorot Perda No. 8/2005 tersebut sangat lemah dari aspek pembuktian materiil, karena tidak menyebutkan unsur-unsur tindak pidana secara jelas. Bila merujuk dari KUHP pasal 362 sebagai misal, seseorang bisa disangkakan melakukan pencurian bila ada unsur-unsur ‘’mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki, dan dilakukan secara melawan hukum.’’ Ini diungkap oleh dua pakar hukum, yakni Rudy Satriyo Mukantardjo, pakar hukum pidana UI dan Bambang Widodo Umar, pengamat kepolisian yang juga dosen Paska Sarjana Kajian Ilmu Kepolisian.[8] Dua pengamat ini membandingkan pasal 362 KUHP itu dengan Perda No. 8/2005 Pemkot Tangerang, dimana pada pasal 4 menyebut ‘’Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang...dst.’’ Pasal 4 ini tidak memuat unsur-unsur yang jelas, yang bisa dibuktikan secara tegas dan tidak kabur. Unsur pelanggaran dengan menyebut ‘’perilaku mencurigakan’’ itu sulit diurai.[9]

b. Apa yang terjadi dengan kebijakan Pemkot Tangerang dengan Perda No. 8/2005-nya tersebut, boleh jadi merupakan puncak gunung es, yang bila tidak diwaspadai, bisa menimbulkan ekses-ekses lain yang jauh lebih besar. Dalam konteks RUU APP yang sedang menjadi wacana masyarakat luas di Indonesia, yang pertentangannya sangat tajam, jangan-jangan daerah lain pun terinspirasi untuk membuat Perda yang mengatur masalah-masalah pidana yang sudah diatur dalam KUHP, tetapi dengan pasal-pasal yang tidak lengkap dalam mencantumkan unsur-unsur tindak pidana dan kabur dalam hal pembuktian materiil.

c. Ketidakjelasan serta multitafsir dalam pasal-pasal di RUU APP ini pun bisa mengandung potensi yang serupa, seperti yang terjadi pada Perda No. 8/2005 Pemkot Tangerang tersebut. Perempuan yang pulang malam seorang diri setelah bekerja di rumah makan, laki-perempuan yang olahraga santai dengan celana pendek di jalan depan rumahnya di suatu daerah, laki-perempuan yang berenang di kolam yang bukan ‘’tempat khusus olahraga dan mendapat ijin pemerintah’’, ibu yang menyusui bayinya di depan umum karena sang bayi menangis, orang-orang miskin yang terpaksa mandi di sungai dalam tatapan publik karena tak mampu membangun kamar mandi dan contoh-contoh serupa lainnya, dalam pengaturan pasal-pasal yang serba ambigu dan kabur di RUU APP, bisa menjadi Tersangka sampai bahkan Terpidana yang bisa dihukum pidana atau denda, maksimal ada yang 10 tahun serta denda maksimal Rp 1 milyar. Kalau law enforcement lewat KUHP ini saja pun belum dilakukan secara sungguh-sungguh – dimana masyarakat memplesetkan KUHP itu menjadi Kasih Uang Habis Perkara, plesetan sinis dan frustrasi pada perilaku aparat penegak hukum di republik ini – tidakkah RUU APP nantinya justru menambah wewenang yang bisa dimanfaatkan oleh aparat untuk melakukan pemerasan dalam volume dan jangkauan yang jauh lebih luas lagi?

12. Kemungkinan Ekses Paska Pengesahan
Bila berpegang pada semangat demokrasi, kita memang tidak bisa mengabaikan, bahwa Pansus RUU APP maupun anggota DPR RI, akhirnya punya kewajiban serta juga hak untuk mengambil sikap masing-masing terhadap RUU APP ini. Boleh saja kita tidak setuju dan mendesak agar pembahasan RUU APP ini dibatalkan atau ditunda. Namun, kalaupun toh akhirnya DPR mengesahkan rancangan ini, dan bila tetap dengan visi dan misi seperti yang sekarang ini terpancar dalam pasal-pasal yang tercantum dalam RUU APP, sekadar untuk mengingatkannya, kami dapat memberikan pandangan sbb:

a. Masalah Sensitif, Bahaya Kalau di-Voting.
Sangatlah berbahaya kalau untuk memutuskan masalah yang sensitif seperti RUU APP ini, digunakan pendekatan ‘’kekuatan’’, seperti yang dinyatakan oleh Ketua Pansus RUU APP, Balkan Kaplale. Boleh-boleh saja merujuk pada data bahwa hanya 11% dari elemen masyarakat yang menyampaikan pendapatnya menolak RUU APP ini. Artinya, ada 89% yang menerima dan bila berpegang pada kuantitas dukungan, logikanya memang ya, RUU APP ini sudah mendapat dukungan mayoritas. Tapi, itu berarti bicara dengan pendekatan ‘’kekuatan’’. Selayaknya, untuk masalah yang sedemikian penting dan mendapat respon sangat tajam di berbagai daerah, kendatipun yang menolak diperkirakan sekitar 11% saja, ini sebetulnya sudah cukup untuk menjadi dasar pertimbangan agar DPR tidak tergesa-gesa mengesahkan RUU APP ini menjadi UU. Akan sangat ideal kalau DPR bisa membatalkannya melalui mekanisme yang tetap demokratis dan sesuai tatib DPR, atau setidaknya menunda sampai DPR mendapat masukan yang lebih komprehensif dan mendalam.

b. Disahkan, Bisa Mubasir.
Kalaupun toh tetap dipaksakan dan berhasil disahkan menjadi UU, ada baiknya berkaca pada pengalaman RUU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, yang pernah mendapat reaksi sangat keras dari masyarakat dan mahasiswa, sehingga pemerintah menunda pelaksanaannya. Bagaimanapun juga, energi pemerintah dan masyarakat yang terkuras untuk terlibat pro-kontra terhadap RUU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya ini akan sangat besar, sementara di pihak lain pemerintah maupun masyarakat Indonesia sedang menghadapi masalah-masalah lain yang jauh lebih urgen dan memerlukan prioritas penanganan, seperti pemberantasan korupsi, pengentasan kemiskinan rakyat, perbaikan mutu sarana dan prasarana pendidikan, perekonomian rakyat, dan lain sebagainya.

c. Gugatan MK, Potensi Konflik Horizontal.
Kendatipun penolakan elemen-elemen masyarakat sekitar 11% saja seperti dinyatakan oleh Ketua Pansus RUU APP, diluar konteks politik dan adu-kekuatan, bilamana nantinya RUU APP disahkan menjadi UU dan penolakan masih bergema di masyarakat, elemen-elemen yang melakukan penolakan ini bisa saja melakukan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi. Memang, masyarakat punya hak dan itulah mekanisme hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Tetapi, bila membayangkan dampak dan eksesnya, pro-kontra tidak hanya akan terjadi dalam konteks gugat menggugat UU APP di MK, tetapi juga bisa menyebabkan berbagai elemen masyarakat yang pro-kontra UU APP ‘’bertarung’’ di lapisan bawah, katakanlah misalnya contohnya komunitas-komunitas anti tarian Tayub melawan komunitas pengusung Tayub, demikian juga terhadap komunitas tarian Gandrung, Joged Bumbung, dangdut, dan lain-lain. UU APP bisa menjadi pemicu gesekan horizontal di akar rumput, karena cukup banyak kreasi-kreasi sekuler yang mengekspresikan sensualitas secara estetik, yang dalam pandangan komunitas lain bisa saja dianggap ‘’bukan seni’’ dan ‘’bernuansa seksual, jorok, porno.’’ Pemerintah kiranya sudah sangat menyadari, bahwa subyektivitas kelompok dan komunitas dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan ekspresi kreatif yang bernuansa seni bisa sangat tajam, dan kalau pemerintah memberi UU APP, tidakkah UU APP ini bisa menjadi pemicu konflik horizontal yang serius?

d. Kalaupun toh UU APP ini akhirnya gol di DPR, pertanyaan besar lain yang menghadang pemerintah adalah, seberapa besar kemampuan pemerintah untuk mengaplikasikannya di masyarakat, mengingat luasnya konsekuensi dari UU APP ini? Dalam hal ‘’ketelanjangan’’ dan ‘’sensualitas’’ misalnya, konsekuensi pengesahan RUU APP adalah – kecuali bilamana pasal-pasal yang kabur dan ambigu telah diperjelas – kewajiban pemerintah untuk membantu masyarakat miskin membangun toilet dan kamar mandi, agar mereka tidak lagi bertelanjang mandi di sungai, sebagai satu contoh. Apakah RUU APP ini sudah memikirkan konsekuensi-konsekuensi seperti ini?



Sejumlah Usulan Solusi:
1. Lakukan Kajian Lebih Mendalam, Jangan Tergesa-gesa menetapkan RUU APP.
Target untuk menetapkan RUU APP ini menjadi UU pada bulan Juni 2006 perlu direskedul lagi. Yang lebih penting justru melakukan sosialisasi dan mencari masukan yang seluas-luasnya dari berbagai komponen masyarakat. Masukan berbagai komponen memang berupa desakan agar RUU APP dibatalkan, atau ditunda, atau diperdalam lagi guna memperoleh masukan yang lebih kaya. UU yang begini penting, dan mendapat reaksi pro-kontra sedemikian tajam, seharusnya tidak tergesa-gesa ditetapkan. Pasal-pasal dalam RUU APP yang ambigu maupun yang berlebih-lebihan mengatur privasi warga negara, seharusnya dibatalkan, dan bilamana pasal-pasal tersebut sudah ‘’dicabut’’ dari RUU APP, memang jadi tidak relevan lagi untuk melanjutkan pembahasan RUU APP ini untuk dijadikan UU APP. Kalaupun naskah akademiknya memang sudah ada, pemerintah perlu transparan mengenai substansinya, membuka diri terhadap berbagai keberatan dan masukan yang disampaikan masyarakat dalam beberapa bulan belakangan ini.

2. Law Enforcement dari UU lain yang berkaitan dengan pidana kesusilaan.
Sementara RUU APP dikaji ulang dan lebih mendalam lagi, pemerintah agar lebih mengefektifkan KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Penyiaran dan UU Pers, dan lain-lainnya untuk mengatasi berbagai pelanggaran yang berhubungan dengan pelecehan seksual serta eksploitasi sekseual dan sensualitas, bila pemerintah dan aparat penegak hukum serius melakukan law enforcement. Maraknya pornografi dan eksploitasi seksualitas, diantaranya dalam bentuk perdagangan perempuan dan anak-anak, eksploitasi seksualitas tubuh perempuan dan laki-laki untuk obyek-obyek komersial, antara lain disebabkan oleh karena longgarnya penegakan hukum, yang sudah diberikan payungnya oleh KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Pers, UU Penyiaran, dan lain-lain. Law Enforcement yang kurang tegas, perilaku aparat penegak hukum yang oleh masyarakat dikeluhkan diskriminatif dan diplesetkan sebagai Kasih Uang Habis Perkara (KUHP), sehausnya lebih menjadi perhatian pemerintah maupun anggota DPR yang punya kewenangan mengontrol kinerja eksekutif.

3. Pendidikan, keluarga, sekolah, masyarakat.
Peran kepala rumahtangga, serta tokoh dan insitusi agama maupun institusi pendidikan untuk memberikan pandangan dan arahan moral pada masing-masing komunitasnya. Maraknya eksploitasi seksualitas maupun sensualitas dengan cara-cara yang melanggar HAM dan dilakukan untuk kepentingan-kepentingan komersial, sebetulnya lebih banyak disebabkan karena lemahnya law enforcement di satu pihak, juga sebagai bentuk kegagalan institusi keagamaan maupun pendidikan. Institusi bernuansa keagamaan, disana sini kadang-kadang lebih nampak kehadirannya dalam masalah-masalah sosial dan politik – yang sekalipun memang juga sangat penting – dan seharusnya tidak mengurangi perhatiannya pada maslah-masalah moral dan etika maupun mendorong aparat penegak hukum dan penyelenggara negara ini agar konsen pada law enforcement dalam konteks pelanggaran susila. Media-media yang mengeksploitasi pornografi memang perlu dikontrol, misalnya melalui KPI maupun kepolisian, agar mereka tidak kebablasan, tapi law enforcement memang mesti obyektif dan tidak diskriminatif.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

LAMPIRAN 1
BENTUK-BENTUK PELARANGAN DALAM RUU ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

Bab dan pasal
Aturan Misoginis/Patriarkis

Catatan Feminisme

Bab 2 Pasal 4
Eksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa
Pasal ini melarang/meniadakan pakaian tradisional perempuan seperti kebaya, baju bodo, tradisi telanjang di Wamena, dan sebagainya
Bab 2 Pasal 5
Mengeksploitasi daya tarik ketelanjangan tubuh orang dewasa
Estetika feminis melihat ketelanjangan tubuh perempuan bukan hitam/putih, ataupun ketidakberdayaan, tetapi lebih pada konsep pemberdayaan, my body myself
Bab 2 Pasal 6
Mengeksploitasi daya tarik tubuh atau bagian-bagian tubuh orang yang menari erotis/bergoyang erotis
Pasal ini melarang perkembangan kesenian tradisional (jaipong, tayub, dll), juga dangdut)
Bab 2 Pasal 7
Mengeksploitasi daya tarik aktivitas orang yang berciuman bibir
Afeksi sebagai bagian dari wujud emosi perempuan, cium anak, cium suami dan pacar
Bab 2 Pasal 9
Mengeksploitasi daya tarik aktivitas orang dalam berhubungan seks dan melakukan aktivitas mengarah pada hubungan seks dengan pasangan berlawanan jenis (dan juga termasuk sejenis, Pasal 9 ayat 2)
Hubungan seks termasuk dalam wilayah pribadi yang menjadi hak individu untuk mengatur ruang privanya sesuai dengan penghormatan pada HAM
Bagian Kedua, Pornoaksi, pasal 25 dst
Setiap orang dewasa dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual, berciuman bibir, bergoyang erotis, gerakan tubuh menyerupai kegiatan hubungan seksual
Definisi pornoaksi tidak ditemukan dalam pemahaman feminisme (bahkan mungkin di negara manapun)
Bab III:
Pengecualian dan Perijinan
Pengecualian dan perijinan materi pornografi diberikan hanya untuk kepentingan kesehatan, olahraga, seni, ritual agama/tradisi, pendidikan
Definisi pornografi tidak pernah berlaku untuk bidang pendidikan, kesehatan, olahraga, tradisi/agama
Bab IV:BAPPN
Sebuah badan pemerintah yang mengawasi pornografi dan pornoaksi, dibeayai oleh negara
Secara historis, budaya patriarki menginstitusionalisasikan kekuatannya lewat sistem legalnya. Sistem hukum yang patriarkis mempunyai obsesi mengontrol tubuh dan seksualitas perempuan
Sumber: RUU APP, Kompas, Sabtu, 4 Maret 2006, halaman 51)



LAMPIRAN 2
Ketentuan Pidana menyangkut Pornoaksi


Tindak Pidana
Ancaman Hukuman

Denda
1. Mempertontonkan alat kelamin
1-5 tahun
Rp 50 juta--Rp 250 juta
2. Mempertontonkan pantat di depan umum
2-6 tahun
Rp 100 juta--Rp 300 juta
3. Mempertontonkan payudara di depan umum
1-5 tahun
Rp 50 juta--Rp 250 juta
4. Sengaja telanjang di depan umum
2-6 tahun
Rp 100 juta—Rp 300 juta
5. Berciuman bibir di depan umum
1-5 tahun
Rp 50 juta--Rp 250 juta
6. Menari erotis atau bergoyang-goyang erotis di muka umum
2-10 tahun
Rp 100 juta—Rp 500 juta
7. Melakukan masturbasi dan onani di depan umum
2-10 tahun
Rp 100 juta—Rp 500 juta
8. Melakukan gerakan tubuh yang menyerupai kegiatan masturbasi atau onani di depan umum
1-5 tahun
Rp 50 juta--Rp 250 juta
9. Melakukan hubungan seks di depan umum
2-10 tahun
Rp 100 juta—Rp 500 juta
10. Melakukan hubungan seks dengan anak-anak
3-10 tahun
Rp 100 juta—Rp 1 Milyar
11. Melakukan gerakan tubuh menyerupai kegiatan hubungan seks di muka umum
1-5 tahun
Rp 50 juta--Rp 250 juta
12. Menyelenggarakan acara pertunjukan seks
3-10 tahun
Rp 100 juta—Rp 1 Milyar
13. Menyelenggarakan pesta seks
0,5-1 tahun
Rp 25 juta—Rp 100 juta
14. Menonton acara pertunjukan seks
0,5-2 tahun
Rp 25 juta—Rp 100 juta
15. Menyediakan dana atau tempat untuk melakukan kegiatan pornoaksi
1-5 tahun
Rp 50 juta—Rp 250 juta

Sumber: RUU APP (Kompas, halaman 57, Sabtu, 4 Maret 2006)

[1] Bahan yang disampaikan dalam seminar mengenai RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi di Forum Kajian 164—FKGM NU (Forum Kajian Generasi Muda Nahdatul Ulama), 16 Maret 2006, di Jakarta.
[2] Wayan Sudirta, lahir di Desa Pidpid, Karangasem, Bali (1950), alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, pada tahun 1970-an ia ke Jakarta, berkarir sebagai pengacara di kantor LBH Jakarta. Sambil tetap aktif sebagai pengacara, tahun 1985 mendirikan Ormas Pemuda Hindu, yang melakukan penyadaran mengenai ‘’Hindu kontekstual’’, suatu sikap kritis terhadap perilaku politikus Bali jaman Orde Baru yang memperalat agama dan pemeluk Hindu semata-mata untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Dibawah payung Pemuda Hindu, bersama rekan-rekannya yang lain, dia melakukan advokasi dengan membentuk sejumlah tim advokasi, antara lain dengan mendirikan LSM anti korupsi Bali Corruption Watch (2000), MAK (Masyarakat Anti Korupsi tahun 2001), AMPaK (Aliansi Masyarakat Pencari Keadilan, tahun 2004), SPB (Solidaritas Pengacara Bali tahun 2003), KORdEM Demokrasi Bali (2004), dan sejumlah tim advokasi lainnya. Di Jakarta, bersama beberapa pengacara, ia juga menjadi penasihat hukum LSM anti-korupsi Indonesia Corruption Watch. Tahun 2001, bersama Pemuda Hindu dan berbagai komponen Hindu lainnya, menjadi motor reformasi di tubuh Parisada Hindu Dharma, majelis umat Hindu. Tahun 2004, terpilih sebagai anggota DPD dari Provinsi Bali, di urutan pertama. Di DPD, dia dipercaya sebagai Ketua PPUU (Panitia Perancang Undang-undang), Koordinator Penasihat Hukum DPD RI, Ketua Tim Kerja Penanggulangan Korupsi DPD RI.
[3] Media cetak maupun elektronik melakukan covering yang cukup komprehensif dan berimbang. Mereka menampilkan tidak hanya elemen-elemen massa yang melakukan kritik dan penolakan terhadap RUU APP tersebut (misalnya demonstrasi massa di Bali, yang dimuat harian Bali Post, Denpasar Pos, Warta Bali, Fajar Bali, Nusa Bali, Jawa Pos-RADAR BALI, Patroli Nusantara, dll sepanjang pertengahan Pebruari sampai minggu pertama Maret 2006), tetapi juga tulisan berupa esai di media cetak, seperti kolom Jaya Suprana ‘’Inul, Anjas & Pornografi’’ (Majalah TEMPO, 12 Maret 2006, halaman 75). Diantara tokoh masyarakat ataupun budayawan yang menolak RUU APP itu terdapat nama KH Abdurachman Wahid alias Gus Dur, Nyonya Sinta Nuriyah dan Sholahuddin Wahid, dan lain-lain (Bali Post, 10 Maret 2006).
[4] Kompas, Sabtu, 4 Maret 2006, halaman 61: Perempuan, Perda dan Domestikasi.
[5] Idem
[6] Kompas, Selasa, 7 Maret 2006 halaman 26: Perda Pelarangan Pelacuran, YLBHI Minta Pemkot Tangerang Mencabut.
[7] Kompas, 9 Maret 2006, halaman 26: Bukti Material Lemah, Kaum Perempuan Minta Perda No.8/2005 Dicabut
[8] Idem
[9] Idem

49 Comments:

At 10:58 PM, Anonymous Anonymous said...

artikel yang sangat bagus, salut.

 
At 11:22 PM, Blogger Nyoman Winardi said...

Om Swastyastu,

Tidak sengaja tadi dapat link ini pas baca - baca blognya Pak Raka Jananuraga. Apakah hal ini yang akan terjadi kalo UU itu benar - benar disahkan? Semoga tidak.


Polisi Anti Pornografi


Om Santhi Santhi Santhi Om

 
At 12:51 AM, Anonymous Anonymous said...

SAYA KUTIP DARI TEMEN SAYA,

Menyimak wawancara fauzan MMI dg Radio Bld membuat hati ini menjadi malu. Kenapa ? jelas MMI membawa nama Islam hingga ke wilayah internasional. Ketika dicecar pertanyaan (inilah hebatnya pers barat), jawaban-jawaban kontradiktif yang cuma menampar diri sendiri hingga merah merona lah yang terlontar. Kayak monyet yang kulit kepalanya digigit kutu. garuk-garuk dan cuma bisa bengong.....

Beginilah potret mayoritas muslim

(Terkait namun beda enjel)

Keberadaan RUU APP merupakan suatu pertanda bahwa agama telah gagal dalam membawa peradaban manusia menjadi beradab. Kegagalan agama ini tak lain disebabkan oleh pamrih yang selalu berada di balik jubah kata "ibadah".

Dalam suatu perbincangan di sebuah cafe, seorang pria bertubuh kurus megatakan jika keberadaan RUU APP tak ubahnya dengan berbagai peristiwa bom bunuh diri berlabel "jihad".

Seseorang atau kelompok-kelompok agama dengan mudah menghalalkan segala cara demi kata "ibadah" yang dilandasi oleh "pamrih iman". Lantas apa "pamrih iman" itu ? Tak lain adalah demi hasrat masuk surga dan terhindar dari imajinasi neraka yang mengerikan.

Suatu siang yang cukup terik, Rabiah Adawiyah mengatakan, “Aku hendak membakar surga dengan obor dan memadamkan neraka dengan air!”

Sufi tenar itu selalu dilanda kerisauan ketika menatap fenomena keimanan umat manusia kepada Sang pencipta. Banyak ketidaktulusan seseorang ketika menjalankan ibadah yang seharusnya merupakan implikasi dialogis antara Sang Pencipta dan Yang Dicipta. Pamrih akan menjadi penduduk tetap surga dan dihindarkan dari neraka kerap dimanipulasi dalam bentuk riil berupa pelaksanaan ibadah.

Bentuk ibadah seperti itulah yang kemudian melahirkan subyektifitas keimanan seseorang. Ambisi masuk surga dan dijauhkan dari neraka seolah menempati hampir sebagian isi otak ketimbang pesona Sang Pencipta surga dan neraka itu sendiri.

Akibatnya, para pemburu surga itu pun melakukan hal-hal yang irrasional. Membunuh diri sendiri dan orang-orang tak bersalah, mengekang kebebasan orang lain untuk meraih kenikmatan dunia dan lain sebagainya. Semua demi menjalankan "ibadah" agar masuk surga dan terhindar dari cengekaraman neraka.

Ketika "pamrih ibadah" begitu besar menyala dalam nadi "pemburu surga", maka kegilaan dan kebodohan lah yang muncul. Tak heran jika akhirnya agama yang dianut pun menjadi gagal dalam mengadabkan peradaban.

 
At 1:04 AM, Anonymous Anonymous said...

---------
SMS TEROR BALI

Pengantar
Setelah Majelis Mujahidin mengirimkan somasi kepada Gubernur Bali pada 12 Maret 2006 dan menyampaikan legal opinion kepada Pansus RUU APP 15 Maret 2006, maka saya menerima sejumlah terror, baik via imel, sms, dan telpon.
Bagi saya, tidak ada satu terror pun yang menakutkan. Cuma semua itu kian menegaskan bahwa memang sebagian mereka tidak bisa menerima mekanisme demokrasi. Somasi dianggap ancaman, sehingga mereka menjawab dengan bahasa preman. Padahal yang kami harapkan adalah alasan yang rasional dan akurat.

Saya yakin tidak semua rakyat Bali menolak RUU APP dan mengancam akan memisahkan diri dari NKRI jika RUU itu disahkan. Saya mencintai rakyat Bali yang menghormati adab dan sopan santun serta menghargai perbedaan pendapat.
Akhirnya, kami bertawakal kepada Allah swt, Dialah pelindung orang-orang beriman (QS. Albaqarah:257) dan telah mensyariatkan jihad untuk mempertahankan iman dan Islam (QS.Alhaj:39-40).

SMS TERORIS
Kalau anda jual kami masyarakat bali akan puputan menghadapi pasukan anda yg sombong itu, hati2 mesjid mujahidin anda di kuta akan kami ratakan, brengsek anda fauzan teroris kau
Pengirim +6281805409495 dikirim 16.33 16/03/2006

Hai…!Bangsat sebenarnya kamu pengecut, munafik. Urus saja agamamu sendiri yang suka bikin bom, terror serta bentuk kezaliman lainnya tapi ngaku suci. Bangsat kamu tau nggak pembahas ruu app sebenarnya ada yg poligami, menyedihkan deh!!
Pengirim +6281805661896 dikirim 19.51 15/03/2006

Begini nih kalau pikiran hanya dipenuhi oleh nafsu kekuasaan belaka. Hargai perbedaan, NKRI bkn negara Islam. Kalo gak suka pindah aja ke Arab sana setan!
Pengirim +622193772240 dikirim 13.59 15/03/2006

Bangsat, Anjing Lu Drs. Fauzan Al-Anshari, MM
Pengirim +6281338503419 dikirim 09.13 15/03/2006

Langkahi dulu mayat orang Bali. RUU APP hanya untuk moeslem pengumbar nafsu.
Pengirim +623617445895 dikirim 08.39 17/03/2006

Beritahukan Majelis Mujahidin, jangan hanya menganggap kitab yg ia pelajari lebih hebat dr kitab yg lebih tua. Jauh lebih sempurna dan jangan mengandali mayoritas yg sudh terbukti karenanya segala bentuk bromocorah berasal dari yg mayoritas.
Pengirim +6281337070190 dikirim 14.02 17/03/2006

Om swastyastu, Indonesia pny budaya sendiri, jgn memasukan budaya Arab mlalui sbuah UU. Satyam eva jayate. Jaga keutuhan NKRI dgn menolak RUU APP.
Pengirim +628174783392 dikirim 12.16 17/03/2006

Bangsat lou anjing, kalau ngomong ngaca dulu.
Pengirim +6281338586230 dikirim 15.00 17/03/2006

Penutup
Ya Allah, saksikanlah, kami telah menyampaikan. Allahu Akbar!
-------
Dear Pak Fauzan, kami minta maaf sebesar-besarnya atas sms-sms itu... Tidak perlu kuatir... Nggak tahu tuh siapa yang ngirim, ga kenal juga, tapi belum ngancam bunuh kan? Jadi take it easy aja lah... Dan sms-sms jelek itu kan tidak bermaksud mengancam 'iman' dan 'islam' toh? Jadi anggap aja pepesan kosong dan tidak perlu repot-repot jihad yach, ke Bali. Melali boleh, tapi awas banyak yang haram di Bali...
Tapi percaya deh, biar dituduh pemuja berhala atau apa kek, rakyat Bali mencintaimu juga!!!
FROM BALI WITH LOTSA LOVE!!!

 
At 1:54 AM, Anonymous Anonymous said...

om swastyastu

what a nice article!

bahasannya baik sekali dan cukup lengkap. semoga tulisan pak sudirta ini bisa ikut berkontribusi mencerahkan semua pihak. bahwa disini kita harus paham tentang pentingnya keragaman, bukan memaksakan keseragaman. dan hidup berdampingan itu sangat indah...

buat mbok cok sawitri, turah harta, mbok anggreni, juga bli jun dan marlowe, pak sudirta juga, dan kawan2 lain yang sudah berjuang tanpa pamrih buat menyadarkan kembali semuanya tentang luhurnya "our unity in diversity", tetaplah semangat untuk berjuang!

saya dan relawan2 di kisara juga turut mendukung. semoga dengan semangat teman2 di bali, indonesiaku yang telah merdeka tetap merdeka dengan kebhinekaannya!

om santi santi santi om

 
At 7:34 AM, Anonymous Anonymous said...

Halo Om Bli bagusbali...

Wah... 'kaummu' siapa ya, saya katolik dari bayi om...
Saya mewakili temen-temen (yang sinting) yang kirim sms gelap itu, minta maap ke pak Fauzan, maksudnya supaya beliau tidak marah, kalau marah, kumisnya tidak seksi lagi, gitu...
Cayooo...

 
At 8:58 AM, Anonymous Anonymous said...

Sesungguhnya ketika orang tidak tergoda saat godaan datang, itu baru disebut iman yang kuat ? sebaliknya kalo tak ada godaan, bagaimana menyatakan Anda kuat dan 'SUCI' ? Sadarlah manusia, cobalah menyepi dan bertapa dulu buat temen2 yang suka maksain RUU APP.Kalo ga kuat godaan, ya salahkan diri aja.Hargai dong setiap perbedaan, jangan selalu mengatasnamakan rakyat.gitu aja kok repot.
Buat teman2 di Bali, terus berjuang, jangan terpancing emosi, krn memang lagi di bikin panas.
Never Give Up cayoooooo

 
At 1:12 PM, Anonymous Anonymous said...

Wah, kayaknya penggagas dan pendukung RUU APP perlu dipertanyakan kejujurannya. Dari posting Siti Zulaika (thanks ya untuk masukan dan komentarnya) bisa dimengerti kalo kita mau diajak ngaco. Somasi yang isinya MMI akan menangani kalo TNI tidak bisa menindak Bali dia bilang bukan ancaman. Dari berita salah satu media yang menyatakan bahwa tidak ada sistem manapun, termasuk Demokrasi yang memenangkan paham ideologisnya, menyiratkan bahwa dia tidak percaya sistem sehingga menjadi pejuang di luar sistem? Bagaimana sekarang bisa-bisanya dia bilang bahwa mereka yang ngirimin dia sms nggak memahami demokrasi. Nah, biar pertentangan ini gak meluas, baiknya saya tetap di jalur penolakan dan untuk bapak-bapak di pusat yang terhormat, yang gajinya gede-gede, mohon didengar aspirasi penolakan kami. Jangan main paksa untuk hal yang tak baik dipaksakan. Kalo dipaksa terus, apa bedanya anda dengan kelompok yang suka main paksa itu.....

NB: Katanya ada sebagian masyarakat Bali setuju RUU APP, yang itu kemungkinan besar adalah orang-orang yang hanya berpijak di bumi Bali tapi tidak menjunjung langitnya Bali..he..he..ngerti khan? Banyak orang Indonesia menginjak bumi Indonesia, sayang tidak semua menjunjung langitnya.

 
At 4:51 PM, Anonymous Anonymous said...

To Bagus bali,

Iya deh, maap ke orang Bali... Maunya biar kita tampak 'baik' gitu loh, dibandingin maggots berjenggot itu... ;) wink!
Karena kayaknya pintu diskusi pak kumis sexi itu udah di kunci gembok double lock (kuncinya ditelen lagi!)
Maunya kalo ketemu Fauzan ga usah ngomong apa-apa lagi, langsung aja, AVADA KEDAVRA!!

 
At 12:09 AM, Anonymous Anonymous said...

Kalian jangan besar mulut doang kalau berani datangi tuch markas FPI dan MMI pasti kalian terkencing-kencing karena ketakutan. Anda beraninya di dunia maya doang, pengecut.....

 
At 12:57 AM, Anonymous Anonymous said...

Sumber: Kompas
PBNU Tegaskan Perlunya UU Anti Pornografi
Brebes, Sabtu
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendukung sepenuhnya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) untuk segera disahkan menjadi UU. Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menegaskan hal ini dalam pernyataan pers yang ditandatanganinya bersama Sekjen Endang Turmudzi, Rois Aam KH Sahal Mahfudz dan Katib (Sekretaris) Nasaruddin Umar.

"Ya kami berempat yang menandatangani itu di Jakarta Jumat (17/3)," kata Hasyim seusai berbicara di depan ratusan ulama seusai melantik Dewan Hakim Musabaqoh Tilawatul Qur’an (MTQ) V Pondok Pesantren se-Indonesia di Pondok Pesantren Al Hikmah di Kecamatan Bumi Ayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Sabtu (18/3) dini hari.

Dikatakannya, penolakan bertubi-tubi terhadap RUU APP dari kelompok tertentu tidaklah dapat menafikkan dampak negatif dari pornografi. "Karena itu perlu diupayakan jalan keluar sebaik-baiknya dalam pasal-pasal tertentu tanpa menggagalkan RUU APP itu sendiri," kata dia.

DPR, lanjut Hasyim, tidak perlu ragu mengambil keputusan berdasar
kepentingan bangsa yang mayoritas mutlak dengan penuh ketegaran dan
kearifan, demi keselamatan moral masyarakat dan generasi muda.

Penertiban pornografi dan pornoaksi adalah kewajiban negara yang dalam pelaksanaannya diwakili oleh pemerintah RI, ujarnya. "Untuk mengetahui dan merasakan dampak negatif dari pornografi dan pornoaksi seseorang tidak perlu menjadi ekstremis tetapi cukup menjadi orangtua yang saleh dan bertanggung jawab atas keselamatan pergaulan keluarga sehari-hari," katanya.
PBNU mengimbau masyarakat agar dalam menanggapi prokontra RUU APP ini kembali kepada hati nurani terdalam. "PBNU mengajak seluruh warga Nahdliyin untuk menjauhi pornografi dimulai dari diri sendiri," serunya.

PBNU juga menginstruksikan agar pengurus wilayah dan cabang seluruh Indonesia menyesuaikan diri dengan sikap PBNU ini.
Sementara itu Menag Maftuh Basyuni mengatakan pihaknya merasa aneh ada pihak yang membelokkan masalah pornografi ke masalah hak-hak perempuan, padahal menurut dia UU antipornografi justru dimaksudkan untuk melindungi perempuan.

 
At 1:47 AM, Anonymous Anonymous said...

bagusbali

Saya tidak takut dengan ancaman dia...Saya pingin nantang dia Beranikah dia menginjakan kakinya di bali.....???
Buat siti jangan berkomentar atas nama rakyat bali dong....kalau mau minta maaf ke Fausan silahkan atas nama sendiri, Saya yakin orang bali tak akan memaafkannya termasuk saya.....

Saya nggak habis pikir sama Saudara. Pernyataan sangat Sarkatis dan Flamable. Kenanpa Saudara tidak mengedepankan dialogis. Saya pikir Agama anda itu cukup banyak mengajarkan kesantunan. Tapi kali ini saya melihat seorang OKNUM BALI yang sengaja mengobarkan semangat peperangan yang tidak mendasar. Dengan membawa-bawa panji masyarakat Bali dan Agama. No Flamable. Vote Perdamaian.

 
At 1:51 AM, Anonymous Anonymous said...

Wah..ini gara-gara Oma Irama nih..mau "menghajar" Inul.
Bang Haji kalau pakai celana(apalagi jeans) dan baju kaus,saya ter-rangsang lho.Sebaiknya pakai gamis dan sorban deh.
Anehnya cowok saya,kalau lihat Inul goyang dia tidak ter-rangsang,tapi kalau yang goyang Camelia Malik(konco Bang Haji),atau lihat Angel(ex selingkuhan Bang Haji)dia ter-rangsang banget..

 
At 2:29 AM, Anonymous Anonymous said...

lukas = syephanie = yohanes

 
At 2:30 AM, Anonymous Anonymous said...

Buat Bagusbali yang gak bagus dan
Siti Zulaika yang genit...


Kalau kalian berani... Demo aja ke Senayan... tentukan harinya, kumpulin semua orang Bali. Nanti kami juga akan gerakkan pendukung RUU APP buat nandingin kalian, berani gak...??? Paling jumlahnya sama ibu-ibu pengajian di Kelurahan Kramat Pela aja kalah jauh... Tul Gak Bro...!!!

 
At 5:08 AM, Anonymous Anonymous said...

Buat lukas yth.

Untuk apa demo? Untuk apa kami ke senayan? lebih baik kami konsentrasi ke kehidupan kami sehari-hari, masyarakat Bali memang jumlahnya sedikit, benar loh! sedikit sekali. Tapi masyarakat Bali kasi penghasilan ke APBN via pariwisata aja nomor dua setelah migas. Boleh saja jumlah ibu-ibu pengajian lebih banyak dari jumlah penduduk Bali. Namun kelak, ketika kami melakukan pembakangan sipil. Jumlah yang banyak itu akan menanggung kerugian financial.....karena anda berhitung, dan mengira moralitas ala kalian akan mengenyangkan perut, dan tata busana akan mensejahterakan. Silahkan. dan buat Siti juga bagus bali. Kita tetap semangat untuk bercanda yach, tertawa terpingkal-pingkal...dipikirnya sorga sudah dikavling ama orang ngaji kaliiiiii....

Amir

 
At 5:09 AM, Anonymous Anonymous said...

ha..aha, ada lagi sahabat yang senang keributan atau mau jadi provokator,... ..
sahabatku LUKAS,...
sahabat dari bali tidak mau demo ikut-ikutan seperti ajakan (tantangan) sahabat,... kalau kami merasa di injak-injak harga diri, atau sahabat lukas pun akan dengan gagah dan satria berani menolak.
mari saya tantang anda untuk membuat NKRI ini damai dari diri kita!!!

 
At 8:16 AM, Anonymous Anonymous said...

Lukas,

Cuma orang GOBLOK seperti MMI dan FPI yang bisanya cuma DEMO saja!

Kalau berani, adu debat aja di TELEVISI. Biar disaksikan oleh mayoritas rakyat di Indonesia.

Berani?

 
At 8:47 PM, Anonymous Anonymous said...

PORNOGRAFI YES........ PORNOGRAFI YES........

 
At 10:35 PM, Anonymous Anonymous said...

Suharto turun karena demo apa karena ada 2 jawara Bali yang sowan ya...???, tahu gak sih loe.....
Selagi bisa menggunakan kekuatan kenapa gak, kita mah asyik-asyik aja... mau tirani, mau tirano, mau terrano peduli amat.... yang penting UU tentang Pornografi disahkan, he...he...he...he...he...he..., kuaci dech loe...

 
At 11:56 PM, Anonymous Anonymous said...

debat di televisi ????????????
mana berani................
Paling jawabannya ngawur lagi........

 
At 1:02 AM, Anonymous Anonymous said...

Rabu, 08 Maret 2006

Tokoh Lintas Agama Kecam Pornografi

Kitab suci melarang umatnya berbuat zina.



JAKARTA -- Berbagai tokoh agama menyatakan dukungan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Antipornografi dan Pornoaksi (APP) yang saat ini sedang dirumuskan DPR. Mereka menilai pornografi sebagai hal yang bertentangan dengan ajaran semua agama.

Sekretaris Umum (Sekum) Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Pdt Richard M Daulay, mengatakan pornografi secara tegas dilarang kitab suci umat Protestan. ''Kitab suci telah melarang umatnya melakukan hal yang berbau zina,'' katanya kepada Republika di Jakarta, kemarin (7/3). Menurutnya, mereka yang mengeksploitasi dan menyebarkan pornografi bukanlah orang beriman. Ia berharap, pemerintah segera mengatasi maraknya pornografi di Tanah Air.

Indonesia, kata Wakil Sekum PGI, Pdt Weinata Sairin, membutuhkan aturan yang jelas dan tidak bersifat multitafsir untuk mencegah dan melawan pornografi dan pornoaksi. Sebab, pornografi sangat berbahaya dan merusak moral generasi muda. ''Maraknya pornografi tentu sangat tak sehat bagi anak-anak,'' katanya.

Ketua Umum Forum Komunikasi Kristiani Jakarta, Theophilus Bela, punya pandangan yang sama. Pendiri Solidaritas Demokrasi Katolik Indonesia itu menyatakan, maraknya pornografi telah melanggar salah satu dari Sepuluh Perintah Tuhan yang diyakini umat Katolik. Theophilus mengaku prihatin dengan pornografi yang menyerbu anak-anak dan remaja. Pornografi, tegasnya, jelas merusak moral generasi muda harapan bangsa.

Ia menyerukan agar seluruh masyarakat dan tokoh lintas agama bergandeng tangan melawan pornografi yang sudah meresahkan. Karena itu, ia mendukung pembahasan RUU APP. ''Baik yang pro dan kontra perlu duduk bersama mencari jalan tengah,'' katanya. Setiap agama, tegas Sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Romo Dani Sanusi, pasti menolak pornografi dan pornoaksi. Ia sepakat adanya RUU APP dengan syarat pasal yang multitafsir diubah.

Maraknya pornografi di Indonesia, kata tokoh agama, Frans Magnis Suseno, menunjukkan ada yang tidak beres di masyarakat. Menurut Frans, hal seperti ini juga banyak dikhawatirkan negara-negara lain. Mengenai RUU APP, katanya, ada banyak hal yang perlu diperbaiki dan direvisi. ''UU Antipornografi bukan tak perlu, tapi harus dikerjakan secara kompeten agar bisa bermutu.''

Penduduk Bali, kata tokoh masyarakat Bali, Jero Wijaya, terbagi menjadi tiga kelompok menyikapi RUU APP. Mereka yang menolak secara total meminta DPR membatalkan RUU tersebut. Ada juga elemen masyarakat yang hanya meminta revisi sejumlah pasal. Namun, katanya, masyarakat Bali yang mendukung pemberlakuan RUU juga ada. ''Saya termasuk salah seorang yang mendukung RUU APP, yang lainnya barangkali belum mau bicara,'' kata Jero.

Menurut Ketua PB Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Muzadi, RUU APP diperlukan sebagai salah satu sarana mencegah menjalarnya degradasi moral bangsa. ''NU mendukung RUU APP ini. Memang formulasinya harus dapat diterima semua pihak. Perundangan ini penting untuk menjamin kelangsungan generasi muda bangsa ke depan,'' katanya.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, meminta agar persoalan yang mengganjal RUU APP terus didialogkan. Karena semua suku dan agama, katanya, pasti tidak sepakat terhadap pornografi dan pornoaksi. Apalagi, RUU ini tidak menghilangkan akar budaya masyarakat.

 
At 1:06 AM, Anonymous Anonymous said...

Kristiani Pos

Papua & Bali Dikecualikan dalam RUU APP

Saturday, Mar. 4, 2006 Posted: 9:50:06AM PST



Rancangan Undang-Undang tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) tetap dilanjutkan setelah Tim Pansus mendapat masukan dari aspirasi masyarakat dari berbagai daerah di nusantara.

"Mungkin nanti dalam undang-undang APP ada pengecualiannya untuk daerah Papua dan Bali," kata anggota tim pansus RUU APP DPR Ri, Prof Drs H Rustam E Tamburaka MA, ketika bertatap muka dengan sejumlah elemen masyarakat Bali, di Denpasar, Jumat, Antara memberitakan.

Kedua daerah itu mendapatkan hak spesialis, karena ada kekhususan dari masing-masing masyarakatnya, kata Rustam dari Fraksi Partai Golkar, yang saat hadir di Bali disambut barisan demontrasi penolakan RUU APP.

Ia mencontohkan, masyarakat Papua dengan budaya kotekanya tidak akan dikenakan undang-undang APP karena itu sudah dilakukan secara turun temurun atau sudah menjadi budaya masyarakat sehingga mendapatkan hak spesialis.

Begitu pula Bali, jika RUU APP diundangkan, turis asing yang berjemur di pantai Kuta atau pantai berpasir putih lainnya boleh saja dengan pakaian mini karena itu adalah budaya yang dibawa dari negerinya.

Bagaimana kalau wisatawan dalam negeri, orang Jakarta misalnya ingin mandi sambil menikmati deburan ombak pantai Kuta, yang bersangkutan menggunakan pakaian mini seperti halnya turis asing, tanya wartawan.

"Boleh saja" kata Rustam sambil menyebutkan para seniman patung di pulau Dewata bisa saja mencurahkan inspirasinya dalam membuat patung telanjang dada misalnya dan semua itu tidak dilarang dalam uang-undang.

Menyinggung masalah hukuman dan denda dengan cukup besar bagi yang ketahuan dan terbukti melanggah undang-undang APP nanti bahkan nilainya milyaran rupiah? "Masalah sanksi tersebut mungkin akan dibuang nantinya," jawabnya singkat.

Sementara Ni Gusti Ayu Eka Sukma Dewi, anggota Tim dari Fraksi PDIP, pada kesempatan itu mengatakan, pihaknya ikut dalam tim menyerap aspirasi masyarakat daerah, namun dia sendiri menolak RUU APP tersebut.

"Pemerintah percuma saja membahas RUU APP yang tidak menyenangkan semua pihak, karena akan membuang-buanag waktu dan dana besar, padahal kesempatan itu bisa dialihkan untuk membenahi kondisi ekonomi rakyat yang sedang kolap," katanya.

Dewi, di depan masyarakat Bali dengan tegas mengaku bahwa dirinya menolak RUU APP untuk dibahas lebih lanjut dan ungkapan itu disambut gemuruh masyarakat yang hadir karena sejalan dengan aspirasi masyarakat pulau Dewata.





Maria F.
maria@christianpost.co.id

 
At 1:49 AM, Anonymous Anonymous said...

Tolong diingat sekali lagi bahwa MENOLAK RUU APP bukan berarti MENDUKUNG PORNOGRAFI !

 
At 2:47 AM, Anonymous Anonymous said...

i like sex in Bali. Yummi....yummi

http://www.baliguide.com/kutasex/balisex4.html

 
At 2:54 AM, Anonymous Anonymous said...

Setuju Bos....menolak UPP bukan berarti setuju pornografi. Kita buktikan dan waktu yang akan menjawab.....seberapa kuatkah makluk-mahkluk tersuci ini mampu menjalankan UPP tersebut. Awas kalau pada Eksodus ke bali.....paling-paling di mulutnya saja yang setuju tapi dalam hatinya (Berarti gue ngak dapet lihat cewek seksi lagi alias bakal melihat ninja melulu.....)
Kalau udah begitu......orang bali yang pertama akan ketawa atas kemunafikan tersebut.....hi...hi...hi....
(made suwung)

 
At 5:41 AM, Anonymous Anonymous said...

percayalah RUU APP itu bakal gagal, krn ini cuma untuk mengalihkan perhatian kita supaya kita tidak nyorotin kinerjanya sby (biasa akal-akalan eksekutif dari dulu ampe skr)

 
At 6:38 AM, Anonymous Anonymous said...

Sally carpenter, apa maksudnya dengan postingmu itu ?

Apa ingin menunjukkan bahwa di Bali sarang pelacuran? Sex bebas?

Kalau maksudmu seperti itu, pertanyaan saya "apakah di tempat lain tidak?"

Apa hubungannya dengan penolakan RUU APP ?

Seperti yang dikatakan kangmas, menolak RUU APP bukan berarti mendukung pornografi! Jangan picik dan berpikiran sempit.

 
At 3:14 PM, Anonymous Anonymous said...

Maksudnya serly itu apa.......jadi ngak ngerti....???????????

Biar saja...itung-itung menambah ramai blog jiwa merdeka ini.

 
At 5:25 PM, Anonymous Anonymous said...

maksudnya Bali itu tempat maksiat om...lalu coba search di internet masalah sex Bali di google...dan ngasih berita basi ke sini...

menambah ramai sih nambah ramai...tapi oleh orang yang sama yang berpura-pura jadi orang lain...dengan bahasa inggris yang dipaksakan pula...

sally, jack, stephanie, yohanes, lukas...latihan nyamar yang bagus dulu dong...jangan terlalu kentara begitu...

 
At 8:35 PM, Anonymous Anonymous said...

OOooo.....gitu toh satu muka banyak nama....wah...wah....ada indikasi untuk menyulitkan pihak imigrasi nih.......hati-hati kita panggilkan satpol PP, biar disidak dulu identitasnya.......

 
At 9:28 PM, Anonymous Anonymous said...

Salah men... Bali itu bukan tempat maksiat, gue sih cuman merasa aman kalau booking cewek2 Bali, murah, binal and... kayak vany.. lah...

 
At 9:56 PM, Anonymous Anonymous said...

Jono....
kalau wujud kamu manusia dan ada didepan aku, udah aku iris2 waajah kamu ama silet

 
At 11:22 PM, Anonymous Anonymous said...

Lho kok emosi, biasa aja lah... kite mah adem-adem aja gitu lho.... kepala harus tetap dingin... Ok...

 
At 12:26 AM, Anonymous Anonymous said...

Menyikapi komentar2 dari yang namanya jono, saya kira yang terbaik adalah berlagak seperti "ANJING menggonggong, kafilah berlalu".
Apalagi kalau komentarnya sama sekali tidak berbobot seperti itu dan anjingnya kena rabies.
Kelihatan banget tuh kalo dia "sebenarnya" sebeeeeel banget sama saya. Maafkan ya, kalau saya orang yang menyebalkanmu karna MENOLAK RUUAPP.

Saya mau mengomentari artikel tentang
Tokoh Lintas Agama Kecam Pornografi. Kitab suci melarang umatnya berbuat zina.
Rabu, 08 Maret 2006
1:02 AM, dari yohanes

Artikelnya agak aneh euy... dari Republika ya? nggak ditulis sumbernya, soalnya.
Saya tidak tau persis dari mana komentar2 dari Sekretaris Umum (Sekum) Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), atau wakilnya, atau Ketua Umum Forum Komunikasi Kristiani Jakarta, dll, namun, jika dilihat komentar dari tokoh agama, Frans Magnis Suseno...
apa yang beliau sampaikan (bisa dibaca di bawah ini) bertentangan dengan artikel yang yohanes posting!
Sepertinya, Judul artikel tersebut hanya untuk provokasi saja...

____________________
Sekitar RUU Antipornografi
Franz Magnis-Suseno

BANYAK pengamat menolak sebuah RUU antipornografi. Dengan argumen- argumen yang cukup kuat. Akan tetapi, di sini diandaikan bahwa dalam masyarakat seperti Indonesia UU tersebut masih diperlukan. Namun, RUU yang sekarang sedang dibahas menurut saya tidak memenuhi syarat minimum kompetensi yang harus dituntut. Pertama, RUU ini tidak membedakan antara porno dan indecent (tak sopan) dan bahkan mencampuraduk dua-duanya dengan erotis. Porno adalah segala apa yang merendahkan manusia menjadi objek nafsu seksual saja. Tetapi dalam sebuah UU pengertian filosofis ini harus diterjemahkan ke dalam definisi yang operasional yang dapat dipertanggungjawabkan.
Paham indecent malah tidak muncul di RUU ini. Istilah yang dipakai, "bagian tubuh tertentu yang sensual", menunjukkan inkompetensi para konseptor RUU ini. Yang dimaksud (penjelasan pasal 4) adalah "antara lain alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya."
Dan itu semuanya porno? Astaga!

Bedanya porno dan indecent adalah bahwa porno di mana pun tidak diperbolehkan, sedangkan indecent tergantung situasi. Alat-alat kelamin primer memang di masyarakat mana pun ditutup. Tetapi bagian tengah tubuh perempuan di India misalnya tidak ditutup. Tak ada pornonya sedikit pun (dan perut bagian tengah terbuka pada anak perempuan sekarang barangkali tak sopan tetapi jelas bukan porno). Lalu, "bagian payudara perempuan" mulai di mana?

Paha di kolam renang tidak jadi masalah, tetapi orang dengan pakaian renang masuk di jalan biasa bahkan didenda di St Tropez. Yang harus dilarang adalah yang porno, sedangkan tentang indecency tak perlu ada undang-undang, tetapi tentu boleh ada peraturan-peraturan (misalnya di sekolah, dan bisa berbeda di Kuta dan di Padang).

Sedangkan "erotis" bukan porno sama sekali. Erotis itu istilah bahasa kesadaran. Apakah sesuatu itu erotis lies in the eyes of the beholder (tergantung yang memandang)! Bagi orang yang sudah biasa, perempuan dalam pakaian renang di sekitar kolam renang tidak erotis dan tidak lebih merangsang daripada perempuan berpakaian penuh di lain tempat. Tetapi perempuan elegan, berpakaian gaun panjang, kalau naik tangga lalu mengangkat rok sehingga 10 cm terbawah betisnya jadi kelihatan, bisa amat erotis.

Tarian erotis mau dilarang? Tetapi apakah ada tarian yang tidak erotis? Seni tari justru salah satu cara (hampir) semua budaya di dunia mengangkat kenyataan bahwa manusia adalah seksual secara erotis dan sekaligus sopan. Jadi erotis juga tidak berarti tak sopan. Hal erotis seharusnya sama sekali tidak menjadi objek sebuah undang-undang. RUU seharusnya tidak bicara tentang "gerak erotis", "goyang erotis".

Yang harus dilarang adalah tarian porno. Karena itu porno harus didefinisikan secara jelas, tidak dengan mengacu pada "sensual"
atau "merangsang" atau "mengeksploitasi".

Saya mengusulkan bahwa definisi porno menyangkut (1) alat kelamin, payudara perempuan (itu pun ada kekecualian, jadi tidak mutlak; apalagi tak perlu embel-embel "bagian"), dan, kalau mau, pantat; dan (2) melakukan hubungan seks untuk ditonton orang lain.

Kedua, dan itu serius: Moralitas pribadi bukan urusan negara. Menurut agama saya memang semua pencarian nikmat seksual di luar
perkawinan sah adalah dosa. Jadi kalau saya sendirian melihat-lihat gambar porno, itu dosa. Tetapi apakah negara berhak melarangnya?
Bidang negara adalah apa yang terjadi di depan umum. Kalau orang dewasa mau berdosa di kamar sendiri, itu bukan urusan negara.
Begitu pula, apabila saya beli barang porno untuk saya sendiri, itu tanda buruk bagi moralitas saya, tetapi bukan urusan negara (tetapi tawaran barang porno tentu boleh dilarang).

Yang perlu dikriminalkan adalah segala urusan seksual dengan orang di bawah umur. Menjual, memiliki, mendownload gambar, apalagi terlibat dalam aktivitas, yang menyangkut ketelanjangan, atau hubungan seks, dengan anak harus dilarang dan dihukum keras.
Semoga catatan sederhana ini membantu membuat undang-undang yang memenuhi syarat dan, lantas, juga bermanfaat. *

==============================
Penulis adalah Franz Magnis-Suseno SJ, rohaniwan, guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta

 
At 1:12 AM, Anonymous Anonymous said...

Jono......orang-orang mulut busuk seperti kamu ini pantas di kembalikan kepesantren kalau kau muslim.....Aku rasa otak-otak DPR penyusun UPP itu tak beda jauh dengan otaknya jono.....Bertobatlah di lubang tempek ibumu jono.....

(made suwung)

 
At 1:43 AM, Anonymous Anonymous said...

Emosi lagi, emosi lagi... kepala dingin dong.... Anggap biasa aja gitu lho.... apa perlu gue datengin es batu, biar dingin... Gimana..?????

 
At 1:46 AM, Anonymous Anonymous said...

Boleh jadi Vany=Jono

 
At 2:43 AM, Anonymous Anonymous said...

Bukan.

Saya bukan jono.

Justru yang Anonymous seperti ini yang patut dipertanyakan.
Sukanya adudomba.

 
At 5:06 AM, Anonymous Anonymous said...

Tapi buat mas jono sayang, sebutin nomor hp nya dong kalo berani...biar gak berlarut-larut di sini...........

 
At 5:54 AM, Anonymous Anonymous said...

Tuh kan.. ada lagi yang posting pake namaku (5:06 AM)

Itu sih ulah orang2 kurang kerjaan, makanya kalo mulutnya di sumpel sama nasi bungkus mau aja menghalalkan segala cara.
Bukannya posting untuk memberikan argumentasi malah terkesan mau mengacau.
Nggak mampu bersikap dewasa dan bertanggung-jawab.

 
At 8:25 AM, Anonymous Anonymous said...

Stay cool dukung semua yang untuk kebaikan umat manusia

 
At 10:07 PM, Anonymous Anonymous said...

Baca Apa Gus Dur Bilang tentang RUU APP. Beliau adalah sesepuh yang tidak pernah bertopeng agama. Beliau selalu objective mengomentari setiap permasalahan di bumi ini demi kepentingan orang banyak. www.gusdur.net (Hidup Gus Dur) Semoga beliau cepat sembuh...dan bisa ikut turun ke Jalan Menolak RUU APP serta memberi siraman rohani pada Pansus RUU yang lagi SAKIT.

 
At 5:39 PM, Anonymous Anonymous said...

PENOLAK RUU APP = MEMBIARKAN PORNOGRAFI BERTEBARAN

 
At 3:59 AM, Anonymous Anonymous said...

Kata siapa PENOLAK RUU APP = MEMBIARKAN PORNOGRAFI BERTEBARAN ?? Itu kata elo khan ??
Kalau menurut gw sih gampang aja..
PENDUKUNG RUU APP = PENG-ONTA-AN INDONESIA.

Bingung gw apa sih bagusnya ARAB ?? Sampai mati2an mau ngARABin Indo ??

 
At 3:20 PM, Anonymous Anonymous said...

Legal Opinion: Urgensi RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi

Tim Pengajar FHUI -Depok
Fatmawati, SH. MH.
Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.
Yetty Komalasari Dewi, SH. M.Li.

Dalam ilmu hukum dipelajari tentang kaedah hukum (dalam arti luas). Kaedah hukum (dalam arti luas) lazimnya diartikan sebagai peraturan, baik tertulis maupun lisan, yang mengatur bagaimana seyogyanya kita (suatu masyarakat) berbuat atau tidak berbuat. Kaedah hukum (dalam arti luas) meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norma), dan peraturan hukum kongkrit.

Asas-asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, merupakan latar belakang peraturan hukum konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Sementara itu, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norma)
merupakan perumusan suatu pandangan obyektif mengenai penilaian atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dijalankan (merupakan nilai yang bersifat lebih kongkrit dari asas hukum).

Berkaitan dengan RUU Pornografi dan Pornoaksi, berdasarkan argumentasi yuridis (perspektif ilmu hukum), maka RUU ini memiliki dasar pembenar sebagai berikut:

1. Berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Legi

Generalis, maka RUU ini nantinya akan berlaku sebagai hukum khusus, yang akan mengesampingkan hukum umum (dalam hal ini adalah KUHP) jika terdapat pertentangan diantara keduanya. Hal ini sudah banyak terjadi dalam UU di R.I., sebagai contoh adalah UU Kesehatan sebagai lex specialis (hukum yang khusus) dengan KUHP sebagai lex generalis (hukum yang umum). Dalam Pasal 15 ayat
(1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan diatur perihal diperbolehkannya aborsi atas indikasi medis, yaitu dalam keadaan darurat yang membahayakan jiwa ibu hamil dan atau janinnya. Berbeda dengan UU Kesehatan, KUHP sama sekali tidak memperkenankan tindakan aborsi, apapun bentuk dan alasannya. Artinya dalam hal ini, jika terjadi suatu kasus aborsi atas indikasi medis
(seperti diatas), berdasarkan asas Lex Specialis derogate Legi Generalis, maka yang berlaku adalah UU Kesehatan dan bukan KUHP;

2. Berdasarkan asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori

Maka RUU ini nantinya akan menjadi hukum yang disahkan belakangan, yang akan menghilangkan hukum yang berlaku terlebih dahulu (KUHP) jika terjadi pertentangan diantara keduanya.

Sedangkan berdasarkan argumentasi logis, maka RUU ini dapat dibenarkan dengan alasan sebagai berikut:

* Pornografi dan Pornoaksi yang marak belakangan ini tidak saja membawa korban (victim) orang dewasa tetapi juga anak-anak. Dalam kaitan ini, UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 tidak menyinggung sedikit-pun tentang masalah pornografi anak (child-pornography). Namun mengatur (senada dengan Convention on the rights of the Child 1989) bahwa anak wajib dilindungi dari
‘bahan-bahan dan material’ yang illicit dan membahayakan perkembangan jiwa dan masa depannya. Pornografi adalah satu bentuk illicit materials yang
dapat membahayakan perkembangan jiwa anak. Oleh karena itu, diperlukan suatu dasar hukum untuk melindungi anak-anak dari masalah pornografi.
* UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tidak memiliki klausul yang cukup melindungi pers dan khalayak dari penyalahgunaan pornografi.
* UU tentang Penyiaran No. 32 tahun 2002 juga tidak banyak mengatur dan melindungi khalayak penyiar dan pemirsa dari penyalahgunaan pornografi dan pornoaksi.
* Secara fitrah manusia memang memiliki kebutuhan seksual dan tidak ada seorangpun yang berhak mengambil hak dasar ini. Namun demikian, bagaimana menggunakan kebutuhan seksual ini agar tidak memberikan dampak yang negative terhadap masyarakat luas, tentu saja perlu diatur. Sebagai perbandingan, USA yang memiliki nilai-nilai budaya yang cenderung lebih ‘permissive’ dibandingkan Indonesia, misalnya, memiliki Child Obscenity and Pornography Prevention Act of 2002. Di Inggris ada Obscene Publications Act 1959, dan Obscene Publications Act 1964 yang masih berlaku sampai sekarang, yang mengatur dan membatasi substansi atau gagasan dalam media yang mengarah kepada pornografi.

Di dalam sistem hukum Civil Law (European Continental), UU berperan dalam pembentukan hukum. Salah satu tujuan pembentukan hukum (UU) adalah untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi diantara anggota masyarakat (pemutus perselisihan). Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa seiring dengan kemajuan zaman, kehidupan masyarakat-pun mengalami perubahan. Oleh karenanya, hukum-pun harus mengikuti perubahan/perkembangan masyarakat agar hukum mampu menjalankan fungsinya tersebut.

Artinya, jika hukum tidak diubah sesuai dengan perkembangan masyarakat-nya, maka hukum menjadi mati dan tidak mampu mengatasi masalah sosial yang terjadi/muncul dalam suatu masyarakat. Masalah pornografi dan pornoaksi mungkin dulu belum dianggap atau dinilai penting, namun demikian beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan semakin berkembangnya teknologi informatika, masalah tersebut telah memberikan dampak social yang sangat signifikan terhadap kehidupan masyarakat Indonesia.

Dalam kaitannya dengan RUU ini, walaupun menurut sebagian orang masalah
pornografi dan pornoaksi dapat diselesaikan oleh KUHP khususnya pasal 281 dan 282, namun apabila dicermati sebenarnya pasal-pasal tersebut pun masih memiliki
beberapa kelemahan, yaitu tentang kriteria kesusilaan dan tentang ancaman hukuman. Kedua-nya dapat dijelaskan sebagai berikut:

* Kriteria Kesusilaan. KUHP tidak memberikan definisi atau batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan ‘kesusilaan’. Tentu saja hal ini menyebabkan terjadinya ‘multitafsir’ terhadap pengertian kesusilaan, dengan kata lain, kapan seseorang disebut telah bertingkah laku susila atau asusila (melanggar susila). Terjadinya penafsiran yang berbeda terhadap suatu ketentuan dalam UU seharusnya tidak boleh terjadi karena ini menyebabkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, jika RUU Pornografi dan Pornoaksi justru memberikan pengertian
dan batasan yang lebih jelas atau detail, seharusnya secara logis hal ini dapat dibenarkan. Logikanya, suatu peraturan yang lebih jelas atau detail justru akan menghindari terjadinya ketidakpastian hukum dan menghindari implementasi yang sewenang-wenang dari aparat penegak hukum (non-arbitrary implementation).
Dan jika kepastian hukum justru dapat tercapai dengan adanya RUU ini, maka seharusnya kita mendukungnya.
* Ancaman Hukuman. Ancaman hukuman yang terdapat pada pasal 281 dan 282 KUHP sangat ringan. Kedua pasal tersebut yang dianggap oleh sebagian orang sudah cukup untuk mengatasi atau mengantisipasi masalah pornografi dan pornoaksi, hanya memberikan maksimal hukuman penjara 2 tahun 8 bulan dan maksimal denda Rp. 75.000 (lihat pasal 282 ayat 3). Jika tujuan dijatuhkan-nya hukuman adalah untuk mencegah orang untuk melakukan perbuatan tersebut, jelas hukuman maksimal penjara dan denda seperti diatas (2 tahun 8 bulan dan 75.000), tidak akan memberikan dampak apapun pada pelakunya. Ancaman hukuman tersebut tidak memiliki nilai yang signifikan sama sekali untuk ukuran sekarang.

Berdasarkan paparan di atas, sebenarnya RUU APP ini memiliki cukup legitimasi baik dari sisi yuridis maupun sosiologis. Hanya saja, disarankan untuk lebih memperbanyak atau memperkuat argumentasi yuridis bahwa RUU ini memang dibutuhkan walaupun telah diatur secara tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan (argumentasi kelebihan RUU ini dibandingkan pengaturan
yang telah ada). Sebagai contoh, UU Kesehatan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Disamping itu ada juga UU KDRT, yang sebenarnya secara substansi telah diatur dalam KUHP, tetapi toh dapat diberlakukan UU KDRT karena memiliki argumentasi logis yang merubah kekerasan dalam rumah tangga dari delik aduan (dalam KUHP) menjadi delik biasa (dapat dilaporkan oleh siapa saja yang melihat atau mengetahui peristiwa tersebut).

Kemudian, harus diakui bahwa ada beberapa rumusan yang belum ‘pas betul’ dengan tujuan pembentukan RUU ini, yaitu antara lain rumusan/ definisi tentang
‘pornoaksi’. Karena dalam pelbagai literature agak sulit secara legal formal untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘pornoaksi’. Sedangkan, definisi ‘pornografi’ sudah lumayan ter-cover dalam RUU APP, di –mix dengan definisi pada UU sejenis di negara lain dan encyclopedia. Maka, suatu studi yang lebih kritis tentang ‘pornoaksi’ amat perlu dilakukan.

Untuk keberlakuan RUU APP ini, dapat mengikuti metode pemberlakuan UU Lalu Lintas (penggunaan seat-belt), dimana diberikan cukup waktu untuk sosialisasi RUU
ini, atau masa transisi, dan setelah sekian tahun (misal 2 atau 3 tahun), baru-lah RUU ini diberlakukan secara penuh.

Wilayah Perdebatan dan Kontroversi

Selama ini wilayah perdebatan dan kontroversi yang paling banyak diungkap oleh para pengkritisi RUU APP ini adalah :

* Apakah pornografi dan pornoaksi adalah issue public atau issue privat yang berarti termasuk ranah publik-kah atau ranah privat?
* Apakah pornografi dan pornoaksi ada dalam wilayah persepsi yang berarti masuk dalam ranah moral dan agama (yang berarti pelanggaran terhadapnya hanya dapat dikenakan sanksi moral atau sanksi agama) ataukah masuk dalam ranah hukum public dan kenegaraan yang berarti dapat dikenakan sanksi hukum yang mengikat dan memaksa (sanksi pidana).
* Apakah pelarangan terhadap pornografi dan pornoaksi adalah suatu bentuk pelanggaran HAM terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan pers ataukah
justru perlindungan terhadap pers yang sehat dan edukatif dan perlindungan terhadap anak dan khalayak penikmat pers dan media.
* Apakah pelarangan terhadap pornografi atau pornoaksi adalah suara dari mayoritas masyarakat ataukah semata-mata ‘pemaksaan’ issue dari ‘kelompok-kelompok tertentu’ saja atau bahkan sebagai ‘pintu masuk pemberlakuan syari’at Islam di Indonesia’?
* Apakah pornografi memang harus diatur dengan Undang-Undang, atau cukup diserahkan pada UU yang ada saja (jawabannya ada di atas).
* Apakah pelarangan pornografi dan pornoaksi tidak akan menimbulkan viktimisasi terhadap perempuan ataukah malah menimbulkan viktimisasi perempuan?

Menurut hemat kami, keberatan-keberatan tersebut harus disikapi dengan proporsional. Ada memang ranah yang harus diseimbangkan, bahwasanya pelanggaran pornografi misalnya tidak boleh sekali-sekali melanggar hak anak dan perempuan. Bahwasanya pornografi disini aktornya adalah laki-laki dan
perempuan, tidak hanya perempuan, sehingga kekhwatiran terhadap viktimisasi terhadap perempuan mestinya tak usah terjadi. Bahwasanya pornografi memang harus diatur dengan UU karena ketidakdigdayaan UU yang ada. Juga, karena di negara-negara barat saja pornografi memiliki pengaturan tersendiri. Dan,
bahwasanya RUU APP ini bukan agenda sektarian kelompok-kelompok tertentu saja (apalagi sebagai pintu masuk Syari’at Islam seperti selama ini dikhawatirkan
khalayak penolak dan pengamat asing), melainkan lahir dari suatu kebutuhan untuk menciptakan media yang sehat dan edukatif disamping sebagai legislasi yang menjamin perlindungan terhadap masyarakat, utamanya anak-anak dan kaum perempuan dari penyalahgunaan pornografi dan pornoaksi.

Yang terakhir, suatu RUU semestinya harus mencerminkan keadilan dan kepastian hukum (justice and certainty of law), maka suatu studi mendalam diiringi
proses penyusunan yang aspiratif (akomodatif terhadap suara-suara dan kebutuhan dalam masyarakat maupun pemerintah) sudah semestinya dilakukan.
Wallahua’lam

Depok, 8 Maret 2006

Disclaimer : Legal opinion ini adalah pendapat para pengajar tersebut di atas dan tidak mewakili institusi

 
At 1:18 PM, Anonymous Anonymous said...

ingat budaya arab tdk cocok dgn budaya indonesia,makanya slalu ribut.24706

 
At 9:14 PM, Anonymous Anonymous said...

selalu ada perbedaan tentang pemahaman keberagamaan di negara yang disitu hidup banyak agama seperti indonesia, tetapi semua ( saya yakin 100% ) tidak ada agama yang menganjurkan atau menyuruh ( dalam bahasa saya ) untuk memusuhi satu agama tertentu, yang menjadi permasalahan adalah "FANATISME YANG BERLEBIHAN"
Dalam perjalanannya, aspek kepercayaan sangat rentan dengan profokasi karna agama mempunyai sudut yang sangat tajam untuk menjadi semangat juang, karna itu, jagalah kesadaran kita ( karna tuhan menciptakan 2 mata, maka pakailah untuk melihat dua kali, 2 telinga, dengarkan 2 kali juga, lalu 1 mulut bicaralah secukupnya walau 2 bibir selalu ingin bicara yang lebih lebih ) sungguhpun demikian, sebenarnya perbedaan membuat kita berpikir untuk mencari persamaan, maka gunakan perbedaan untuk menggali yang belum dapat kita capai dengan rela

 
At 12:38 PM, Blogger jinox said...

buat anonymous

saya hanya ingin mengkritiki pernyataan anda tentang "sebenarnya perbedaan membuat kita berpikir untuk mencari persamaan"..

sebenarnya kesalahan yang selalu dilakukan oleh kita adalah selalu mencari kesamaan diantara perbedaan..

perbedaan tetaplah perbedaan.. hal yang sama dari perbedaan itu sendiri adalah perbedaan itu sendiri.. artinya bahwa tidak ada hal yang sama dalam sebuah perbedaan.. kesamaan hanyalah merupakan asumsi subjektif semata..

anda tau apa yang membuat negara ini selalu kacau? karena kita selalu mencari 'persamaan' di antara perbedaan tersebut.. saya selalu yakin bahwa perbedaan, apapun itu juga tidak dapat disatukan atau dicari persamaannya.. yg selalu saya yakini adalah bahwa perbedaan apapun itu juga hanya bisa diharmonisasikan.. artinya bahwa marilah kita menghargai perbedaan-perbedaan tersebut.. agar jangan menggunakan legitimasi apapun hanya untuk menyerang perbedaan orang lain (untuk pernyataan saya yang ini sebenarnya bukan ditujukan untuk kamu.. tapi bagi mereka yang berpikir sempit.. yang selalu berperang dengan agama lain dengan alasan penghinaan terhadap agama dan Tuhan mereka.. yang membuat saya berpikir, betapa lemahnya Tuhan mereka sehingga membutuhkan umat-Nya untuk membela diri-Nya.. atau jangan2 yang menjadi Tuhan itu adalah pikiran mereka sendiri)..

bagi komentator-komentator yang lainnya tolong jangan provokasi orang lain dengan membawa alasan agama.. aku jadi heran.. sebenarnya ini negara Indonesia atau negara Agama? selalu saja membawa nama Agama.. kalo hanya bawa nama agama, gih sana kalian bikin negara Agama kalian sendiri.. dan kita lihat seberapa jauh kalian bisa berdiri sebagai negara sendiri?

RUU APP hanyalah tameng bagi beberapa orang untuk menutupi kebusukan mereka, dan hanya untuk menyatakan betapa sucinya diri mereka.. hai bagi mereka para pendukung RUU APP.. namanya orang dah nafsu, mau lo tutup semua badan kamu juga kalo nafsu tetap saja nafsu, mo laki atau perempuan keq.. sapa tau aja pelakunya seorang homoseksual.. ati2 lo laki2 (ini juga termasuk peringatan buat diriku), tiba2 lo dijalan diperkosa oleh 'sejenis', bukan karena lo berpakaian vulgar.. tapi karena dimata dia lo itu seksi, padahal lo dah tutup badan lo sedemikian rupa..

saya bukannya menolak RUU APP, hanya saja saya kecewa, karena agama terlalu campur tangan di dalam urusan negara dan politik.. kalo sudah begini caranya, masa peradaban hidup manusia harus balik lagi kebelakang sich? jangan2 jadinya nanti kayak dulu lagi.. dominasi agama terhadap negara, yang berdampak pada berhentinya kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian, dan lain sebagainya.. kalo yang demikian yang terjadi, gw lebih setuju pindah ke bali.. atau daerah mana saja yang pisah dari NKRI, karena aku ga ingin didogma serta dibodohi, percuma aja kuliah dan mempunyai gelar hingga profesor, padahal gampang dibodohi oleh agamanya sendiri.. (sebenarnya bukan agama sich.. tapi para pelaku di dalamnya, dengan segenap kepentingannya)..

satu hal lagi.. kita ini hidup di negara yang bernama Indonesia.. tau ga artinya Indonesia?? Indo artinya campuran, nesia artinya pulau-pulau.. itu berarti negara kita terdiri dari berbagai macam campuran pulau-pulau, ada pulau-pulau yang besar dan pulau-pulau yang kecil.. coba aja kalian satukan pulau-pulau tersebut? emangnya bisa?? ampe mampuz dipaksa juga tetap aja ga bisa.. itu artinya apa? artinya bahwa dulu penggagas bangsa ini tahu.. bahwa bangsa ini terdiri dari segala sesuatu yang beragam.. suku, adat istiadat, agama, bahasa, dialek, warna kulit, ras, dan masih banyak hal lainnya.. dan mereka sadar bahwa yang berbeda-beda tersebut tidaklah mungkin disatukan layaknya pulau-pulau tersebut.. oleh karena itu sedemikian rupa diupayakan agar bagaimana kita mampu selalu menerima dan menghargai perbedaan tersebut..

wahhh.. ternyata saya dah berbicara banyak.. semoga bermanfaat.. kalo ada salah-salah kata tolong dimaafkan.. saya hanya mencoba untuk berdiskusi dan membagi wawasan.. semoga bermanfaat.. pada akhirnya..

"Tuhan dengan nama apapun kita sebut.. semoga melindungi kita.."

 

Post a Comment

<< Home