Makalah IDG Palguna: REPRESI DI RUANG EKSPRESI
REPRESI DI RUANG EKSPRESI
(Dalam Pandangan Orang Bali)*
I D.G. Palguna**
“Berhati-hatilah mengeluarkan larangan. Sebab, acapkali kita melarang satu hal yang tak kita sukai, suatu kali kita sadar ternyata kita telah melarang banyak hal”.
Dari Film The People vs. Larry Flint
Ketika Garin Nugroho dengan film Opera Jawa-nya didakwa menghina agama Hindu oleh seorang Bali yang mengatasnamakan Hindu, bagian terbesar dari orang-orang Bali yang beragama Hindu justru ramai-ramai membela si terdakwa, bukan si pendakwa. Tidak hanya itu, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), institusi tertinggi pemeluk agama Hindu di Indonesia – agama yang dianut oleh mayoritas orang Bali – bahkan mengeluarkan pernyataan yang kurang lebih begini, “janganlah mudah menghakimi ekpspresi estetik dengan dalih agama karena agama Hindu tidak ada mengajarkan cara-cara seperti itu”.
Ada sesuatu yang “ganjil” di situ, sesuatu yang tampak anakronistik : pada masa di mana orang cenderung merasa berharga menjadi “pembela agama”, bagaimana bisa terjadi mereka yang agamanya “dihina” justru membela si “penghina”? Reaksi orang-orang Bali dan PHDI yang “anakronistik” itu hampir dapat dipastikan bukan karena mereka telah membaca tulisan Muchammad Tholchah, “Are Indonesians Truly Tolerant”, yang mengutip pernyataan Charles Kimbal, “A religion will become evil if followers suffer from several deseases, such as blind obedience and justification of all means”.(1) Juga, pasti bukan karena orang Bali-Hindu tak ambil pusing jika agamanya dihina. Bukan pula semata-mata karena orang Bali-Hindu percaya akan bekerjanya hukum karmaphala dan subha-ashuba karma – bahwa setiap perbuatan akan berbuah sesuatu yang konkordan dengan perbuatan itu. Dalam pemahaman dan pengalaman saya sebagai orang Bali, reaksi demikian bukanlah sesuatu luar biasa melainkan hal yang normal saja. Pertama, karena mereka tak percaya kalau orang macam Garin punya niat jahat, atau dalam istilah kerennya, mereka tidak melihat ada elemen mens rea pada karya Garin itu. Lebih-lebih, faktanya, pada saat itu film dimaksud sesungguhnya belum rampung, jadi bagaimana bisa dikatakan menghina? Bahwa di film itu Garin “iseng” (dan fasih) bermain-main dengan tafsir, mungkin tetapi hal itu tidak jadi masalah. Kedua, ini yang lebih mendasar, reaksi demikian lebih didorong oleh perlawanan terhadap adanya represi atas ruang ekspresi yang selama ini mereka eksplorasi secara bebas. Dengan kata lain, mereka merasa cemas dan terancam akan kehilangan ruang yang bahkan Belanda, Jepang, atau Orde Baru yang demikian perkasa pun tak “berani” mengusiknya. Saya yakin, bagian terbesar orang Bali tidak tahu bahwa di dalam “ruang” yang mereka pertahankan itu ada hak yang tergolong basic right – hak yang keberadaannya bukan hanya dijamin oleh Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, hukum internasional, ataupun konstitusi republik ini, UUD 1945. Tetapi mereka tahu bahwa di dan karena adanya “ruang” yang selama ini mereka nikmati secara leluasa itulah mereka tumbuh dan berkembang menjadi sebuah entitas budaya dengan identitasnya sendiri dan mereka bangga akan hal itu.(2) Lebih bangga lagi ketika hal itu ternyata bukan hanya mendapat tempat tetapi diakui sebagai bagian dari kekayaan negara–bangsa yang bernama Republik Indonesia ini.(3) Bahwa di belakang hari ternyata entitas budaya itu juga menghasilkan uang, tatkala “logika industri” dengan cekatan mengemas proses yang berlangsung di maupun buah yang dihasilkan oleh ruang yang diekplorasi secara bebas itu menjadi komoditas dalam industri turisme, itu adalah kisah lain.
Jadi jelaslah, dengan berpihak kepada Garin dan Opera Jawa-nya yang dituduh menghina agama Hindu itu, orang-orang Bali dan PHDI sesungguhnya bukanlah sedang membela Garin melainkan mereka sedang membela salah satu kebebasan mendasarnya dari ancaman represi, bukan hanya jika represi itu dilakukan oleh sekelompok orang (meskipun itu orang Bali-Hindu juga) tetapi juga jika hal itu (hendak) dilakukan oleh negara. Oleh karena itu, mudah-mudahan mudah dimengerti mengapa kini begitu keras dan riuh-rendah suara menentang rencana pengundangan undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi datang dari pulau yang telah dua kali diluluhlantakkan oleh bom itu. Jika saya coba menarasikan rekaman alasan penentangan itu, gambarannya kurang-lebih begini:
- berjalan-jalanlah ke kota Bangli, Bali, di batas selatan kota itu ada sebuah pura, dan di tembok luar(panyengker jaba sisi) pura itu Anda akan bertemu dengan relief yang, antara lain, melukiskan seorang perempuan yang (maaf) kelaminnya dibakar api. Menurut orang Bali, itu bukan pornografi karena dalam pendidikan tradisional masyarakat Bali yang didominasi oleh medium penuturan lisan-visual, pelukisan demikian justru merupakan sarana pendidikan moral-agama karena makna di balik relief itu, sebagaimana dituturkan sebagai tuntunan moral yang diceriterakan dalam gaya monolog pengantar tidur, para tetua Bali berpesan, “begitulah nasib yang akan kamu terima di akhirat sebagai perempuan, jika selama hidup di dunia ini engkau bergaul bebas dengan sembarang laki-laki yang bukan suamimu” dan bersamaan dengan itu disisipkanlah tuntunan ajaran Hindu tentang patibrata satyeng laki (yang mengajarkan kesetiaan suami-istri). Jadi, jika orang-orang Bali lewat di depan pura itu, bukan birahinya yang terangsang oleh relief itu tetapi justru dorongan untuk berperilaku bermoral yang seharusnya ia jalani dalam kehidupan di dunia ini. Jika kemudian undang-undang menyatakan itu sebagai pornografi, maka tak perlu lagi penjelasan panjang lebar perihal basic right apa yang terbunuh oleh kriminalisasi terhadap pelukisan relief itu. Karena jawabannya sudah jelas: kebebasan berekspresi yang bersangkut-paut dengan keyakinan agama. Kecuali itu, bukankah telah terjadi kepatahan logika yang tragis di situ? Sebab, norma hukum (dalam RUU Antipornograsi dan Pornoaksi) yang dimaksudkan untuk menjaga moral bangsa itu justru akan menjadi pembunuh ajaran moral yang hendak ditegakkannya itu, setidak-tidaknya bagi orang Bali.
- Jika RUU tadi jadi diundangkan maka Museum lukisan Le Mayeure yang berlokasi di bibir Pantai Sanur dapat dipastikan harus segera ditutup karena yang dipajang di situ adalah karya-karya si pelukis kelahiran Belgia yang menjadikan perempuan (dan “celakanya” perempuan itu adalah istrinya sendiri, Ni Polok, orang Bali) sebagai objek lukisan dalam ketelanjangannya.(4) Begitu pula museum-museum atau galeri-galeri lukisan lain yang tersebar hampir di seluruh pelosok Bali. Lukisan-lukisan semacam itu juga harus segera disingkirkan dari ruang tamu para kolektor atau kalangan kelas menengah di Bali jika ia tak hendak masuk penjara karena memajang lukisan demikian “di muka umum”.
- Jika RUU dimaksud jadi diundangkan, nasib tragis berikutnya barangkali juga akan menimpa simbol lingga-yoni (yang dapat berwujud patung, lukisan, ataupun kata-kata dalam narasi manuskrip) yang dalam ajaran Hindu adalah perlambang kesuburan. Dalam konteks lain, lingga-yoni juga dimaknai sebagai penjelasan akan eksistensi semesta di mana lingga, yang digambarkan dalam wujud kelamin laki-laki, adalah perlambang unsur purusa, dan yoni, yang digambarkan dalam wujud kelamin perempuan, adalah perlambang unsur pradana. Dalam keyakinan umat Hindu, bekerja secara harmonisnya kedua unsur itulah yang menjadikan semesta ini ada. Filosofi ini kemudian mengalir ke dalam ajaran putra sesana, ajaran moral yang menekankan pentingnya pernghormatan terhadap orang tua, ibu dan ayah, sebab karena merekalah kita ada. Ibu adalah representasi unsur pradana dan ayah adalah representasi unsur purusa. Dari situlah asal-muasal ungkapan pedagogis yang hingga kini masih hidup di Bali, “Sadari dan hormatilah ayah-ibumu (guru rupaka), karena dengan cara itu engkau akan menyadari keberadaan Tuhan (guru swadyaya), maka perlakukanlah ayah-ibumu sebagai tuhan yang tampak (dewa sekala) di dunia ini”. Patung, gambar, maupun narasi lingga-yoni demikian tersebar di seluruh Bali dan sebagian besar di antaranya justru berada di tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang, terutama yang berupa patung dan gambar. Bagaimana nasib simbol-simbol itu – yang secuil pun tak ada maksud cabul di dalamnya – jika rancangan undang-undang anti-pornografi dan pornoaksi itu diundangkan?
Begitulah rupa-rupanya, untuk menunjuk beberapa contoh kasus, kecemasan besar yang kini menghantui orang-orang Bali dengan adanya rencana pengundangan undang-undang tadi. Kecemasan yang kemudian tercermin dalam ucapan seorang pandita (pemimpin agama Hindu) Bali, Ida Pedanda Ketut Gde Sebali Tianyar Arimbawa, ketika menyampaikan aspirasinya di hadapan Pansus RUU Pornografi dan Pornoaksi beberapa waktu yang lalu, sebagaimana terekam di media massa, “Jangan sampai undang-undang ini menyebabkan kami tidak lagi merasa di rumah sendiri”.
Tatkala hendak mengakhiri tulisan pengantar diskusi ini, apa yang diingatkan oleh John Stuart Mill – dalam karya klasiknya On Liberty – dua abad yang lalu seakan-akan hadir di depan mata, yaitu bahwa justru dalam suasana di mana kebebasan telah dijamin oleh hukum, kebebasan menghadapi ancaman baru yang bisa lebih gawat daripada ancaman penindasan politik, yakni ancaman yang datang dari masyarakat sendiri yang tidak toleran. Inilah yang oleh Mill disebut sebagai the tyrrany of the majority.(5) Mudah-mudahan itu tidak terjadi, apalagi jika negara mengambil-alih represi itu melalui undang-undang. Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru.
Jakarta, 10 Maret 2006
* Disampaikan dalam diskusi Otonomi Individu, Otonomi Publik, Di Tengah-tengah Menguatnya Tendensi Totalitarianisme Melalui Industri Budaya Massa, Gerakan-gerakan Massa dan Reotoritarianiesme Negara, yang diselenggarakan oleh Yayasan Set, bertempat di Bentara Budaya, Jakarta, 10 Maret 2006.
** Salah seorang pendiri Yayasan Arti (Arti Foundation) Denpasar yang bergerak dalam bidang konservasi dan pengembangan kesenian, khususnya seni pertunjukan.
(1) Dalam The
(2) Kendatipun ada juga merasa terbebani oleh identitas itu, seperti “keluh-kesah” kawan saya, antropolog eksentrik Degung Santikarma, dalam tulisannya , ”The Burdens of Being Exotic”, di majalah budaya Latitude (saya lupa tanggal dan tahunnya) di mana, antara lain, ia merasakan betapa absurdnya pertanyaan “mengapa Anda tak bisa menari?” ketika si penanya tahu bahwa dirinya orang Bali.
(3) Kebanggaan sebagai orang Indonesia itu mungkin bisa ditelusuri lebih jauh oleh para ahli ilmu politik, ahli sejarah, atau sosiolog, antara lain, berdasarkan fakta-fakta ini: pertama, sejak republik ini berdiri, partai yang menang mutlak dalam pemilihan umum di Bali selalu partai yang asas atau plalformnya kebangsaan; kedua, gagasan untuk mendirikan partai lokal dan atau partai yang bercorak Hindu tak pernah mendapat tempat di hati orang Bali, bahkan langsung mati ketika masih berada di tingkat isu.
(4) Untuk sekadar catatan tambahan, hingga saat ini pun jika Anda berjalan-jalan ke desa-desa di Bali, tak usah sampai ke pelosok tetapi juga desa-desa yang jalannya sudah halus beraspal hotmix yang jaraknya bahkan bisa dijangkau dalam hitungan menit dari kota Denpasar, bukan hal aneh jika Anda menemukan perempuan-perempuan separuh baya melintas di jalan raya dengan bertelanjang dada, dan orang Bali tak melihar ada “kecabulan” padanya.
(5) Franz Magnis-Suseno, “Melawan Pembodohan Bangsa: Catatan Sekitar Kebebasan Informasi” dalam St. Sularto (Ed.), Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2001, h. 69.