Wednesday, March 08, 2006

Gentlemen's Agreement

The chairman of Komponen Rakyat Bali (KRB), Ngurah Harta (second from left) shakes hand with the Bali's Legislative Council vice chairman IGK Adhiputera (far right) while the council chairman IBP Wesnawa (second from right) and Hindu highpriest Ida Pedanda Sebali Tianyar (far left) looked on. They agreed on Wednesday to continue opposing the controversial bill.

6 Comments:

At 3:03 AM, Anonymous Anonymous said...

Kamis, 9 Maret 2006
Karena aku Empu, maka aku Melawan!


Oleh: Dewi Candraningrum Soekirno
Perempuan sebagai Empu.
Identitas seseorang dapat ditilik dari jenis kelamin, ras, etnik, bahasa, bangsa, agama, dan bahkan dari cara dia berpakaian. Identitas bisa disimpulkan secara sederhana sebagai sebuah kumpulan sifat-sifat yang menentukan bagaimana seseorang “ingin meng/di-identifikasi-kan”. Identitas berasal dari bahasa Latin identitas kemudian diadopsi oleh bahasa Perancis menjadi identité. Kata ini dipengaruhi oleh kata lain dari Latin essentia, dari esse yang bermakna to be. Dipengaruhi juga oleh bahasa Yunani, dari kata ousa, bentuk feminine dari kata to be. Identitas atau Esensi atau das Sein atau menjadi. Menjadi Perempuan adalah menjadi Empu bagi diri-nya sendiri. Konsep bahasa Melayu yang diadopsi menjadi bahasa Indonesia ini bersifat lebih “member-Daya-kan” apabila dibandingkan dengan penyebutan Wanita dari bahasa Jawa yang lebih bersifat menjadikan wanita sebagai yang di-tata, di-atur, di-obyek-kan. Tidak heran jika Damardjati Supadjar membuat sebuah parodi antara Per-Empu-an dan Per-Empuk-an. Jadi jika pilihan para aktivis perempuan Indonesia yang lebih suka menyebut asosiasinya dengan kata Perempuan, merupakan bukti penegasan terhadap Empu. Dengan kata Perempuan, mereka memilih untuk Ber-Daya. Di dalam negara demokrasi, konsep ini telah menjadikan Perempuan sebagai Warga Negara yang memiliki agensi secara utuh sebagai individu baik untuk menerima atau menolak kebijakan yang nantinya akan merugikan Perempuan.

Sejarah Perempuan Indonesia tidak terlepas dari sejarah agama yang ada di Indonesia. Dari kelima agama besar di Indonesia (Hindu, Budha, Katolik, Kristen, dan Islam), tidak ada satu pun dari mereka yang berasal dan lahir di Indonesia. Sebagai sebuah entitas, identitas mereka tidak murni. Konon Hindu Budha dibawa oleh orang India. Islam dibawa ke Indonesia oleh pedagang Pasai India. Sedang Katolik dan Kristen oleh Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Agama-agama tersebut hadir di Indonesia melalui perjalanan ruang waktu dan tempat yang panjang, kompleks, dan plural. Agama-agama tersebut telah mengalami proses interpretasi kompleks sebelum menuju Indonesia.

Mereka berjumpa satu sama lain. Dan perjumpaan itu menghadirkan identitas agama yang tidak murni seperti dari asalnya. Dan ketika teks-teks mereka berbicara “tentang” Perempuan, maka identitas Perempuan yang hadir bukan makna lama atau makna murni. Tapi makna baru hasil dari perjumpaan-perjumpaan itu. Perjumpaan ini semakin intensif dengan adanya daya global. Dengan daya global ini, perjumpaan mereka menjadi lebih kompleks. Ada yang kemudian takut dan menentang mati-matian dengan menjadi sempit rasa nasionalisme dan interpretasi ke-agama-annya tanpa mengindahkan proses perjumpaan-perjumpaan itu. Ada juga yang menerima semuanya tanpa menyaring sesuai dengan identitas sebelumnya. Lalu lahirlah oposisi biner antara yang konservatif dan liberal. Pertikaian dua golongan ini dalam skala lebih besar telah melahirkan kontroversi. Perdebatan yang tak kunjung habis.

Menuju Dialog: Berangkat dari Identitas Hibrid Perempuan Indonesia
Nietzsche dalam Beyond Good and Evil dan On the Genealogy of Morals memunculkan oposisi biner ini antara semangat baik dan jahat. Nietzsche memakai terma demolition dan Heidegger dengan Destruktion dan Abbau. Derrida kemudian meneruskan konsep itu dalam opus-nya, Of Grammatology, konsep déconstruction. Dalam konsep ini dijelaskan bahwa oposisi biner itu tidak terpisah satu sama lain, bahkan saling menjelaskan dan juga bersifat relatif tergantung dimana dan kapan dia berada.

Secara sederhana konsep ini adalah pembukaan terhadap teks, terhadap makna plural, terhadap interpretasi multivocal, yang kemudian “oposisi biner” itu akan ditemukan (antara baik/jahat, laki-laki/perempuan), dengan menekankan bahwa entitas kedua esensi tersebut tidak-lah terpisah tetapi cair/fluid. Seperti bahwa sesuatu disebut sebagai baik karena ada sifat jahat dan seseorang disifat-kan sebagai perempuan karena ada laki-laki. Bisa dibayangkan kalau bumi hanya dihuni perempuan, maka tidak ada kata perempuan atau laki-laki. Konsep-konsep ini dapat diterapkan pada entitas biner lain seperti air/api, kanan/kiri, atas/bawah, barat/timur, liberal/konservatif, mayoritas/minoritas, dan lain-lain.

Konsep fluiditiy/ke-cair-an ini dapat menjadi titik tolak berbagai kelompok yang saling bersiteru untuk saling ber-dialog. Konsep dialog ini bukan pemaksaan satu esensi kepada esensi yang lain. Karena hal ini hanya akan melahirkan kekerasan epistemik. Kekerasan epistemik ini dapat dihilangkan apabila konsep différance, perbedaan, dapat dihayati. Indonesia sebagai Bhineka Tunggal Ika adalah mengacu pada konsep penemuan terhadap esensi yang berbeda tetapi tetap satu jua. Demikian juga identitas perempuan Indonesia di-ejawantahkan.

Konsep-konsep dasar itu kemudian dikembangkan oleh Gayatri Spivak dalam essay-nya Can the Subaltern Speak? Dengan Subaltern-itas-nya yang mengacu pada kelompok yang dianggap minor, marjinal, atau dianggap bersifat negatif. Lebih jauh dia merujuk konsep Gramsci ini kepada kelompok “yang tidak bisa bicara”. Rujukan ini juga didukung oleh Freire sebagai the-silenced-group (kelompok yang di-diam-kan). Elaborasi lain juga dilakukan oleh Homi Bhabha dengan konsep hybridity dan interstice (dunia antara). Hibriditas berasal dari bahasa Latin hybrida, terma yang mengacu pada percampuran-perkawinan dua esensi atau lebih. Konsep hibriditas lahir dari perjumpaan antar ras, bangsa, dan agama dalam daya global. Konsep ini melahirkan kesadaran multikultur, kesadaran pluralisme, karena adanya kesadaran bahwa semangat pemurnian, semangat esensialisme sendiri sudah tidak stabil dengan eksistensi hibriditas sebuah entitas. Hibriditas adalah efek tidak terelakkan dari globalisasi dimana bekas suatu budaya terdapat dalam budaya lain. Hibridisasi jilbab a la Indonesia bisa dilihat dari perpaduan antara kerudung pendek (kalau a la Arab panjang), kadang-kadang bercelana jeans (celana panjang adalah pengaruh dari penolakan feminis Barat pada rok yang dianggap memperlambat gerak mereka), jilbab warna-warni (kalau a la Arab atau Pakistan bisa hanya hitam saja. Warna-warna ini adalah pengaruh dari dunia mode global). Dengan melihat cara Perempuan Muslim Indonesia berpakaian, dapat dilihat perjumpaan/pertemuan antara berbagai nilai. Jilbab a la Indonesia adalah salah satu bentuk hibridisasi perjumpaan nilai-nilai Indonesia, Islam, Barat, dan Global. Sebelum 1980 bahkan banyak perempuan Islam Indonesia yang tidak memakai jilbab. Tetapi apakah mereka yang tidak memakai jilbab dianggap sebagai tidak baik menurut Islam? Ini adalah sebuah pertanyaan yang mengundang ribuan jawaban bergantung dimana lokasi interpretasi berada.

Aku melawan karena aku Empu
Spirit zaman, Zeitgeist, dunia global sekarang telah melahirkan semangat baru, semangat semacam Demokrasi, Pengentasan Kemiskinan, Perlindungan Lingkungan dan Keadilan Jender yang telah menjadi inspirasi bagi para pembaharu sebelumnya. Jutaan tahun sebelumnya sebelum era ini lahir, Budha, Yesus, Muhammad melawan dengan semangat kerakyatan, demokrasi, pembebasan budak, pengangkatan harkat perempuan, pembelaan terhadap yang miskin-papa. Dengan fakta itu, tentu saja tidak ada alasan untuk tidak melawan bila terjadi peniadaan hak-hak perempuan. Tidak ada alasan untuk tidak membela Perempuan. Perempuan yang menjadi Obyek dan korban baik oleh praktek-praktek di dalam maupun di luar agama.

Konsep-konsep dan praktek-praktek agama yang meniadakan suara perempuan atau menjadikan perempuan hanya sebagai obyek adalah fakta pelanggaran HAM. Fakta satu: penerapan hukum Sharia di Langsa Aceh telah menunjukkan konsep ketidakadilan hukum. Mengambil korban seorang Perempuan di Langsa karena kedapatan berjudi mendapat hukuman cambuk. Sedang Bandar judi-nya tidak mendapatkan hukuman. Dalam proses eksekusi ini banyak rakyat Aceh yang sangat kecewa karena sang Bandar judi tidak mendapatkan hukuman. Dari fakta satu terlihat bahwa formulasi, ratifikasi, dan penerapan Sharia telah didominasi oleh elit politik. Eksekusi ini telah mengambil wajah dalam bentuk Perempuan. Elit-elit ini tentu saja tidak akan mau memasukkan “hukum cambuk” untuk koruptor besar yang notabene lebih banyak melahirkan kemiskinan dan menimbulkan kerusakan di bumi pertiwi.

Fakta dua: penerapan Perda Tangerang telah mengambil beberapa korban. Kesemuanya adalah Perempuan. Salah satunya seorang istri guru SD yang miskin yang ditangkap dan dituduh sebagai pelacur padahal bukan. Mengapa Perda Tangerang No. 8/2005 yang melarang pelacuran hanya mengambil wajah-wajah kami sebagai korban kriminal? Kenapa tidak mencari para broker penjual perempuan yang notabene telah melanggar HAM? Kenapa hanya wajah kami, wajah perempuan, yang ditaruh di atas truk kemudian dinistakan dan dipermalukan?

Selain kedua fakta yang cukup tragis dan jelas-jelas melanggar HAM tersebut, masih banyak fakta-fakta lain yang telah menjadikan banyak perempuan berderet di ruang tunggu untuk di-eksekusi di depan RUU Antipornografi dan Pornoaksi; Perda Tangerang No. 8/2005 Pelarangan Pelacuran; dan Perda-Perda Sharia lain yang formulasi, ratifikasi, dan penerapannya sebagian terbukti mengambil wajah perempuan sebagai korban. Sementara penjahat HAM dan koruptor kelas kakap bebas berkeliaran. Elit penguasa sendiri tampaknya kurang tertarik dengan korban-korban seperti kami, Perempuan.

Dalam UU No. 7 Tahun 1984 Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW yang menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Ratifikasi ini bersifat semu ketika dalam prakteknya justru produk-produk hukum dibawahnya telah secara eksplisit mendiskreditkan tubuh perempuan. Pasal-pasal dalam Perda Tangerang dan RUU AP & P telah menjadikan perempuan sebagai “the real Subaltern”. Meminjam kalimat yang cukup terkenal yang telah ditulis oleh Spivak “Can the Subaltern Speak?” Dapatkah (kami, Perempuan, sebagai ) Subaltern, berbicara? Spivak di akhir tulisan itu menyimpulkan, no, tidak. Karena kami, Perempuan, tidak dilibatkan dalam formulasi, ratifikasi, dan penerapan RUU dan Perda itu. Dalam RUU dan Perda itu, suara kami tidak ada. Di dalamnya, kami hanya ditulis sebagai obyek. Didalamnya kami tidak mendapatkan hak kami sebagai Warga Negara Indonesia yang memiliki individual-agency. Di dalamnya kami berubah menjadi korban, dan bukan lagi WNI yang punya hak bersuara, memilih, dan menolak. Di dalamnya terkandung sifat-sifat elitis dan eksklusif dari kalangan tertentu yang telah dengan semena-mena memaksakan interpretasi terhadap kami, Perempuan. Di dalamnya hanya “sibuk” mencari-cari kesalahan kami, sebagai Perempuan . Di dalamnya telah ada penggerusan dari dalam terhadap nilai-nilai demokrasi.

Berangkat dari fakta sebagai Perempuan di negeri Bhineka Tunggal Ika. Berangkat dari kenyataan persinggungan daya global dan daya lokal. Berangkat dari fakta bahwa RUU AP & P, Perda Tangerang No. 8/2005, dan Penerapan Sharia di beberapa daerah yang secara sepihak tanpa melibatkan partisipasi perempuan telah banyak mengambil korban perempuan. Berangkat dari fakta bahwa produk-produk hukum itu telah gender-insensitive and gender-injustice. “Maka aku melawan. Karena aku Per-Empu-an”.


Dewi Candraningrum Soekirno adalah pengajar di UMS (Univ. Muhammadiyah Surakarta) sedang menempuh studi doktoral di Univ. Muenster Jerman.

 
At 1:32 AM, Anonymous Anonymous said...

Kenapa mereka selalu menempatkan perempuan pada urutan ke dua.....
Mereka selalu memakai contoh negar maju......coba kita tenggok negara di semenanjung timur tengah yang ketat dengan syariatnya selalu terjadi masalah terutama pada perempuan. Dan perempuan terlihat rendah di mata mereka. Bersukurlah saya menjadi orang bali yang mensejajarkan perempuan dengan kaum laki-laki.

 
At 7:54 PM, Anonymous Anonymous said...

MOSLEMS IS THE BEST and ga da yang bisa menjamin harga diri wanita sekuat and seketat ISLAM. Bersyukur saya jadi wanita yang dilindungi dan dijaga oleh agama saya tercinta. MOSLEMS IS THE BEST. Allahu Akbar!!!

 
At 6:45 AM, Anonymous Anonymous said...

dilindungi agama?
Bukannya Tuhan yang melindungi kita?

Kalau yang melindungi agama, ya... contohnya jelas juga sih... bener kata si anonymous 7:54 PM di atas...

Seperti Rhoma yang "melindungi" cewek-cewek cantik itu, kah? Dengan "dalih" agama juga!

No way deh!

Tapi itu pilihan anda... kami hormati deh...

(Tapi... Hormati juga pilihan KAMI!)

 
At 12:00 PM, Anonymous Anonymous said...

anda yang membenci muslim...ingat selamaa anda dinegara ini anda pernah didiskriminasi seperti umat muslim didunia barat? kalau membenci islam ngomong didepan...secara lantang....jgn sok jagoan tapi sembunyi...ingat...anda2 inilah yang memancing di air keruh...kami sabar...tapi ingat....anda telah salah dengan menghina islam.

 
At 12:07 PM, Anonymous Anonymous said...

Subhanalloh wal hamdulillah wa la illa ha ilallohu wa allohu akbar.

(Maha suci Alloh, segala puji hanya bagi Alloh, tiada Tuhan yang patut disembah selain Alloh, dan Alloh Maha Besar)

Sungguh telah nyata kebenarannya, bahwa yang benar berlawanan dengan yang salah dan yang baik berlawanan dengan yang buruk, sedang yang benar identik dengan yang baik dan yang salah identik dengan yang buruk.

Tidak keluar dari perkataan orang-orang yang benar kecuali perkataan yang mengandung hikmah, kebaikan, dan penuh kesabaran.

Dan tidak keluar dari perkataan orang-orang yang salah kecuali perkataan kotor yang penuh dengan hinaan, kejahilan, kesinisan, dan hawa nafsu.

Wahai saudara-saudariku sesama Muslim telah terang, jelas, dan lurus jalan yang kita tempuh ini, maka janganlah kita ragu, karena sungguh kita tidak akan rugi berada di dalam Islam.

Jika banyak orang yang karena hawa nafsunya dan ketidak-tahuannya tentang Islam, memojokkan kita, serahkan saja urusan kita ini kepada Alloh.

Wahai seluruh manusia!

Dialah Alloh, Tuhan yang Maha Esa.
Alloh tempat meminta segala sesuatu.
Alloh tidak beranak dan tidak pula diperanakan.
dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Alloh.

Wahai saudara-saudariku sesama Muslim, konsep agama mana yang lebih benar dan lebih hebat daripada agama Islam terutama mengenai masalah Ketuhanannya, masalah yang paling pokok, sungguh telah nyata, terang, dan jelas, mana agama yang lurus. Maka adakah keraguan?

Sungguh orang-orang yang tidak mau berfikir sehingga tidak tahu dan orang-orang yang dikalahkan oleh hawa nafsunya sajalah yang tidak mau menerima konsep yang ditawarkan oleh Alloh dalam Islam.

Sungguh manusia yang memiliki akal dan hati pasti akan mengakuinya bahwa Islam adalah agama yang benar lagi lurus.

Dan ketahuilah bagi orang-orang yang tetap diluar agama yang benar lagi lurus ini, sungguh kemurkaan Alloh yang sesungguhnya kepada kalian semua tidaklah kalian terima di dunia ini, melainkan kita tunggu dihari pembalasan nanti, yaitu di akhirat.

Kamu pasti akan dihadapkan di hadapan Alloh. Dan dengan penuh ketakutan dan rasa penyesalan yang belum pernah kalian rasakan dan bayangkan sebelumnya, kalian akan digiring menuju neraka dan terjatuh masuk didalamnya untuk selama-lamanya. Sungguh inilah yang akan dirasakan oleh orang-orang yang mendustai dan mendurhakai Alloh.

Walaupun saya yakin bahwa kalian saat ini pasti telah merasakan kesempitan itu, atau kalaulah kalian merasakan kebahagiaan, pasti kebahagiaan yang kalian rasakan adalah kebahagiaan yang semu. Sungguh tidakkah ini cukup sebagai bukti bahwa perkataan dan janji Alloh adalah benar?

Wahai orang-orang yang melampaui batas, bertaubatlah kalian sebelum penyesalan yang tiada guna itu datang!

Bila kalian tetap bersikukuh.
Kita buktikan saja nanti, wahai orang-orang yang durhaka kepada Tuhannya!

Subhanalloh wal hamdulillah wa la illa ha ilalloh wa allohu akbar.

 

Post a Comment

<< Home