Friday, March 10, 2006

Makalah IDG Palguna: REPRESI DI RUANG EKSPRESI

REPRESI DI RUANG EKSPRESI

(Dalam Pandangan Orang Bali)*

I D.G. Palguna**

“Berhati-hatilah mengeluarkan larangan. Sebab, acapkali kita melarang satu hal yang tak kita sukai, suatu kali kita sadar ternyata kita telah melarang banyak hal”.

Dari Film The People vs. Larry Flint

Ketika Garin Nugroho dengan film Opera Jawa-nya didakwa menghina agama Hindu oleh seorang Bali yang mengatasnamakan Hindu, bagian terbesar dari orang-orang Bali yang beragama Hindu justru ramai-ramai membela si terdakwa, bukan si pendakwa. Tidak hanya itu, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), institusi tertinggi pemeluk agama Hindu di Indonesia – agama yang dianut oleh mayoritas orang Bali – bahkan mengeluarkan pernyataan yang kurang lebih begini, “janganlah mudah menghakimi ekpspresi estetik dengan dalih agama karena agama Hindu tidak ada mengajarkan cara-cara seperti itu”.

Ada sesuatu yang “ganjil” di situ, sesuatu yang tampak anakronistik : pada masa di mana orang cenderung merasa berharga menjadi “pembela agama”, bagaimana bisa terjadi mereka yang agamanya “dihina” justru membela si “penghina”? Reaksi orang-orang Bali dan PHDI yang “anakronistik” itu hampir dapat dipastikan bukan karena mereka telah membaca tulisan Muchammad Tholchah, “Are Indonesians Truly Tolerant”, yang mengutip pernyataan Charles Kimbal, “A religion will become evil if followers suffer from several deseases, such as blind obedience and justification of all means”.(1) Juga, pasti bukan karena orang Bali-Hindu tak ambil pusing jika agamanya dihina. Bukan pula semata-mata karena orang Bali-Hindu percaya akan bekerjanya hukum karmaphala dan subha-ashuba karma – bahwa setiap perbuatan akan berbuah sesuatu yang konkordan dengan perbuatan itu. Dalam pemahaman dan pengalaman saya sebagai orang Bali, reaksi demikian bukanlah sesuatu luar biasa melainkan hal yang normal saja. Pertama, karena mereka tak percaya kalau orang macam Garin punya niat jahat, atau dalam istilah kerennya, mereka tidak melihat ada elemen mens rea pada karya Garin itu. Lebih-lebih, faktanya, pada saat itu film dimaksud sesungguhnya belum rampung, jadi bagaimana bisa dikatakan menghina? Bahwa di film itu Garin “iseng” (dan fasih) bermain-main dengan tafsir, mungkin tetapi hal itu tidak jadi masalah. Kedua, ini yang lebih mendasar, reaksi demikian lebih didorong oleh perlawanan terhadap adanya represi atas ruang ekspresi yang selama ini mereka eksplorasi secara bebas. Dengan kata lain, mereka merasa cemas dan terancam akan kehilangan ruang yang bahkan Belanda, Jepang, atau Orde Baru yang demikian perkasa pun tak “berani” mengusiknya. Saya yakin, bagian terbesar orang Bali tidak tahu bahwa di dalam “ruang” yang mereka pertahankan itu ada hak yang tergolong basic right – hak yang keberadaannya bukan hanya dijamin oleh Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, hukum internasional, ataupun konstitusi republik ini, UUD 1945. Tetapi mereka tahu bahwa di dan karena adanya “ruang” yang selama ini mereka nikmati secara leluasa itulah mereka tumbuh dan berkembang menjadi sebuah entitas budaya dengan identitasnya sendiri dan mereka bangga akan hal itu.(2) Lebih bangga lagi ketika hal itu ternyata bukan hanya mendapat tempat tetapi diakui sebagai bagian dari kekayaan negara–bangsa yang bernama Republik Indonesia ini.(3) Bahwa di belakang hari ternyata entitas budaya itu juga menghasilkan uang, tatkala “logika industri” dengan cekatan mengemas proses yang berlangsung di maupun buah yang dihasilkan oleh ruang yang diekplorasi secara bebas itu menjadi komoditas dalam industri turisme, itu adalah kisah lain.

Jadi jelaslah, dengan berpihak kepada Garin dan Opera Jawa-nya yang dituduh menghina agama Hindu itu, orang-orang Bali dan PHDI sesungguhnya bukanlah sedang membela Garin melainkan mereka sedang membela salah satu kebebasan mendasarnya dari ancaman represi, bukan hanya jika represi itu dilakukan oleh sekelompok orang (meskipun itu orang Bali-Hindu juga) tetapi juga jika hal itu (hendak) dilakukan oleh negara. Oleh karena itu, mudah-mudahan mudah dimengerti mengapa kini begitu keras dan riuh-rendah suara menentang rencana pengundangan undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi datang dari pulau yang telah dua kali diluluhlantakkan oleh bom itu. Jika saya coba menarasikan rekaman alasan penentangan itu, gambarannya kurang-lebih begini:

  • berjalan-jalanlah ke kota Bangli, Bali, di batas selatan kota itu ada sebuah pura, dan di tembok luar(panyengker jaba sisi) pura itu Anda akan bertemu dengan relief yang, antara lain, melukiskan seorang perempuan yang (maaf) kelaminnya dibakar api. Menurut orang Bali, itu bukan pornografi karena dalam pendidikan tradisional masyarakat Bali yang didominasi oleh medium penuturan lisan-visual, pelukisan demikian justru merupakan sarana pendidikan moral-agama karena makna di balik relief itu, sebagaimana dituturkan sebagai tuntunan moral yang diceriterakan dalam gaya monolog pengantar tidur, para tetua Bali berpesan, “begitulah nasib yang akan kamu terima di akhirat sebagai perempuan, jika selama hidup di dunia ini engkau bergaul bebas dengan sembarang laki-laki yang bukan suamimu” dan bersamaan dengan itu disisipkanlah tuntunan ajaran Hindu tentang patibrata satyeng laki (yang mengajarkan kesetiaan suami-istri). Jadi, jika orang-orang Bali lewat di depan pura itu, bukan birahinya yang terangsang oleh relief itu tetapi justru dorongan untuk berperilaku bermoral yang seharusnya ia jalani dalam kehidupan di dunia ini. Jika kemudian undang-undang menyatakan itu sebagai pornografi, maka tak perlu lagi penjelasan panjang lebar perihal basic right apa yang terbunuh oleh kriminalisasi terhadap pelukisan relief itu. Karena jawabannya sudah jelas: kebebasan berekspresi yang bersangkut-paut dengan keyakinan agama. Kecuali itu, bukankah telah terjadi kepatahan logika yang tragis di situ? Sebab, norma hukum (dalam RUU Antipornograsi dan Pornoaksi) yang dimaksudkan untuk menjaga moral bangsa itu justru akan menjadi pembunuh ajaran moral yang hendak ditegakkannya itu, setidak-tidaknya bagi orang Bali.
  • Jika RUU tadi jadi diundangkan maka Museum lukisan Le Mayeure yang berlokasi di bibir Pantai Sanur dapat dipastikan harus segera ditutup karena yang dipajang di situ adalah karya-karya si pelukis kelahiran Belgia yang menjadikan perempuan (dan “celakanya” perempuan itu adalah istrinya sendiri, Ni Polok, orang Bali) sebagai objek lukisan dalam ketelanjangannya.(4) Begitu pula museum-museum atau galeri-galeri lukisan lain yang tersebar hampir di seluruh pelosok Bali. Lukisan-lukisan semacam itu juga harus segera disingkirkan dari ruang tamu para kolektor atau kalangan kelas menengah di Bali jika ia tak hendak masuk penjara karena memajang lukisan demikian “di muka umum”.
  • Jika RUU dimaksud jadi diundangkan, nasib tragis berikutnya barangkali juga akan menimpa simbol lingga-yoni (yang dapat berwujud patung, lukisan, ataupun kata-kata dalam narasi manuskrip) yang dalam ajaran Hindu adalah perlambang kesuburan. Dalam konteks lain, lingga-yoni juga dimaknai sebagai penjelasan akan eksistensi semesta di mana lingga, yang digambarkan dalam wujud kelamin laki-laki, adalah perlambang unsur purusa, dan yoni, yang digambarkan dalam wujud kelamin perempuan, adalah perlambang unsur pradana. Dalam keyakinan umat Hindu, bekerja secara harmonisnya kedua unsur itulah yang menjadikan semesta ini ada. Filosofi ini kemudian mengalir ke dalam ajaran putra sesana, ajaran moral yang menekankan pentingnya pernghormatan terhadap orang tua, ibu dan ayah, sebab karena merekalah kita ada. Ibu adalah representasi unsur pradana dan ayah adalah representasi unsur purusa. Dari situlah asal-muasal ungkapan pedagogis yang hingga kini masih hidup di Bali, “Sadari dan hormatilah ayah-ibumu (guru rupaka), karena dengan cara itu engkau akan menyadari keberadaan Tuhan (guru swadyaya), maka perlakukanlah ayah-ibumu sebagai tuhan yang tampak (dewa sekala) di dunia ini”. Patung, gambar, maupun narasi lingga-yoni demikian tersebar di seluruh Bali dan sebagian besar di antaranya justru berada di tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang, terutama yang berupa patung dan gambar. Bagaimana nasib simbol-simbol itu – yang secuil pun tak ada maksud cabul di dalamnya – jika rancangan undang-undang anti-pornografi dan pornoaksi itu diundangkan?

Begitulah rupa-rupanya, untuk menunjuk beberapa contoh kasus, kecemasan besar yang kini menghantui orang-orang Bali dengan adanya rencana pengundangan undang-undang tadi. Kecemasan yang kemudian tercermin dalam ucapan seorang pandita (pemimpin agama Hindu) Bali, Ida Pedanda Ketut Gde Sebali Tianyar Arimbawa, ketika menyampaikan aspirasinya di hadapan Pansus RUU Pornografi dan Pornoaksi beberapa waktu yang lalu, sebagaimana terekam di media massa, “Jangan sampai undang-undang ini menyebabkan kami tidak lagi merasa di rumah sendiri”.

Tatkala hendak mengakhiri tulisan pengantar diskusi ini, apa yang diingatkan oleh John Stuart Mill – dalam karya klasiknya On Liberty – dua abad yang lalu seakan-akan hadir di depan mata, yaitu bahwa justru dalam suasana di mana kebebasan telah dijamin oleh hukum, kebebasan menghadapi ancaman baru yang bisa lebih gawat daripada ancaman penindasan politik, yakni ancaman yang datang dari masyarakat sendiri yang tidak toleran. Inilah yang oleh Mill disebut sebagai the tyrrany of the majority.(5) Mudah-mudahan itu tidak terjadi, apalagi jika negara mengambil-alih represi itu melalui undang-undang. Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru.

Jakarta, 10 Maret 2006

* Disampaikan dalam diskusi Otonomi Individu, Otonomi Publik, Di Tengah-tengah Menguatnya Tendensi Totalitarianisme Melalui Industri Budaya Massa, Gerakan-gerakan Massa dan Reotoritarianiesme Negara, yang diselenggarakan oleh Yayasan Set, bertempat di Bentara Budaya, Jakarta, 10 Maret 2006.

** Salah seorang pendiri Yayasan Arti (Arti Foundation) Denpasar yang bergerak dalam bidang konservasi dan pengembangan kesenian, khususnya seni pertunjukan.

(1) Dalam The Jakarta Post, December 9, 2005.

(2) Kendatipun ada juga merasa terbebani oleh identitas itu, seperti “keluh-kesah” kawan saya, antropolog eksentrik Degung Santikarma, dalam tulisannya , ”The Burdens of Being Exotic”, di majalah budaya Latitude (saya lupa tanggal dan tahunnya) di mana, antara lain, ia merasakan betapa absurdnya pertanyaan “mengapa Anda tak bisa menari?” ketika si penanya tahu bahwa dirinya orang Bali.

(3) Kebanggaan sebagai orang Indonesia itu mungkin bisa ditelusuri lebih jauh oleh para ahli ilmu politik, ahli sejarah, atau sosiolog, antara lain, berdasarkan fakta-fakta ini: pertama, sejak republik ini berdiri, partai yang menang mutlak dalam pemilihan umum di Bali selalu partai yang asas atau plalformnya kebangsaan; kedua, gagasan untuk mendirikan partai lokal dan atau partai yang bercorak Hindu tak pernah mendapat tempat di hati orang Bali, bahkan langsung mati ketika masih berada di tingkat isu.

(4) Untuk sekadar catatan tambahan, hingga saat ini pun jika Anda berjalan-jalan ke desa-desa di Bali, tak usah sampai ke pelosok tetapi juga desa-desa yang jalannya sudah halus beraspal hotmix yang jaraknya bahkan bisa dijangkau dalam hitungan menit dari kota Denpasar, bukan hal aneh jika Anda menemukan perempuan-perempuan separuh baya melintas di jalan raya dengan bertelanjang dada, dan orang Bali tak melihar ada “kecabulan” padanya.

(5) Franz Magnis-Suseno, “Melawan Pembodohan Bangsa: Catatan Sekitar Kebebasan Informasi” dalam St. Sularto (Ed.), Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2001, h. 69.

25 Comments:

At 6:18 AM, Anonymous Anonymous said...

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=46&func=view&id=14401&catid=17&limit=10&limitstart=0

Please check... oh my god...

 
At 10:11 AM, Anonymous Anonymous said...

cek juga yang ini: Forum Bali dan UU Antipornografi di situs hidayatullah.com

 
At 1:30 PM, Anonymous Anonymous said...

saya bukan orang bali dan saya mendukung usaha teman-teman semua dari bali!!!! analoginya: a woman wearing a mini is raped.. saya tidak akan pernah mengerti bagaimana kita bisa menyalahkan si perempuan dan bukannya si agresor. kita manusia yg bisa mengontrol diri sendiri, kemerdekaan kita harus dibela, dan keragaman budaya kita harus dipelihara. saya cinta bali dan indonesia!!!!! ;-)

 
At 1:46 PM, Anonymous Anonymous said...

hebat euy, saya nemu blog ini dari situs UCLA... sukses terus, tolak RUU APP ;-)

 
At 5:30 PM, Anonymous Anonymous said...

Puputan Margarana II bakalan terjadi :(

 
At 6:07 PM, Anonymous Anonymous said...

silahkan diisi :

PETISI MENOLAK RUU APP

 
At 6:07 PM, Anonymous Anonymous said...

http://www.petitiononline.com/ruuapp/petition.html

 
At 7:52 PM, Anonymous Anonymous said...

Ini aku kutip dari www.hidayatullah...

ikhwan01
Bronze

Re:Bali & UU antipornografi - 2006/03/05 13:14
----------
orang kapir emang gitu... sukanya yang maksiat-maksiat namanya juga kapir!
agamanya gak ngelarang kali... atau mungkin yang pada protes itu para pelaku pornografi.
tentang referendum... menurut gw yang bikin isu referendum ditangkep aja krn meniupkan isu disintegrasi Indonesia. RUU anti pornografi maju terus!!

OH MY GOD..... Tuhan, ampunillah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka katakan...

 
At 8:41 PM, Anonymous Anonymous said...

Ini lagi, dari majelis mujahiddin indonesia: http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/11/time/092525/idnews/556903/idkanal/10
-----
Kutipan: Yah kalau mereka menolak lebih baik kita tambahkan dalam undang2 bahwa Bali dijadikan daerah otonomi khusus pornografi..."
-----

Orang kayak gini harus dilawan. Saya menyiapkan tulisan berikutnya, untuk menyingkap orang2 kayak itu. Dan... yang terkait dengan pernyataan organisasi2 masyarakat islam idnonesia di luar negeri yang menuntut pemberlakuan UU porno ini: http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2856&Itemid=1

Mereka, dalam "argumentasinya", mengemukan kajian "ilmiah" dari ahli di Amerika Serikat (snob) bahwa ada pornografi menyebabkan perkosaan.

Teman saya menelusuri laporan yang disebut itu... dan kami akhirnya tertawa bersama. Ini catatan chat kami:

(15:05:53) Cokorda Raka: http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2856&Itemid=1
(15:07:34) My Friend: lah mana detailnya
(15:12:39) My Friend: http://www.forerunner.com/forerunner/X0388_Effects_of_Pornograp.html
(15:14:12) My Friend: Sociologists Murray Straus and Larry Baron (University of New Hampshire) found that rape rates are highest in states which have high sales of sex magazines and lax enforcement of pornography laws
(15:14:21) My Friend: haha nggak jelas causality-nya
(15:15:06) My Friend: maybe the people in those six states are buying more sex magazines AND have higher sex rates
(15:15:17) My Friend: bukan hubungan sebab akibat
(15:16:04) Cokorda Raka: oh my god
(15:16:14) Cokorda Raka: those moslems using the words of _christians_ (the infidels...)
(15:16:18) My Friend: =))
(15:16:24) Cokorda Raka: Tsk ... gak tau malu banget
(15:16:29) Cokorda Raka: bener2 gak punya harga diri (editor: selama ini mengejek2 infidels, all non-moslems,... dan sekarang menggunakan hasil kerja para infidels itu untuk membackup kepentingan mereka).

 
At 10:24 PM, Anonymous Anonymous said...

Halo. Saya baca artikal di Jakarta Pos di Anit-Porno Bill di Indonesia dan blog anda. Saya juga pikir tulis artikal. Bisa baca artikal saya di koran Japang "Japan Times" di sini:
http://search.japantimes.co.jp/cgi-bin/fl20060311cz.html
Maaf, saya tulis hanya dari bahasa engirish!

 
At 1:21 AM, Anonymous Anonymous said...

To Cok Raka,
aku posting komenku ini ke hidayatullah & aku cabut. Site itu terlalu bodoh untuk diikuti atau ditanggapi.

JASMINEs:
itu masalah mendasar kita, perbedaan mendasar antara konsep agama samawi & yang lain
Jadi perdebatan tidak akan ada ujungnya, karena kita punya pandangan mendasar yang berbeda tentang 'tubuh & pikiran manusia'.
Jadi, saya tidak ingin debat kusir, tidak juga akan mengutip ayat manapun, dari kitab suci apapun.
Hanya satu yang perlu diingat, jika seseorang ingin konsep berpikirnya dihormati (bukan berarti dibenarkan) oleh orang lain, mohon juga menghormati hak orang lain untuk menjadi berbeda.
Hal ini saya kemukakan karena saya sedih melihat percakapan di page ini. Sedih karena saudara-saudaraku moslim tidak pernah melihat, menelaah, menghayati ke-bhinneka tunggal Ika-an.
JANGAN SAMPAI phrase itu hanya menjadi simbol basa-basi di negeri NKRI ini.
Jika temen-temen muslims (seperti juga temen-temen kristiani yang fanatik) tidak BISA MENERIMA KONSEP KESELAMATAN MANUSIA di luar agama masing-masing, perdebatan sia-sia seperti ini tidak akan ada ujungnya.
Ingat juga bahwa 'kuantitas' bukan ukuran apapun dalam kaitan hubungan Tuhan & manusia.
Saya pernah belajar agama Islam & agama kristiani, dan pada akhirnya konsep cinta pada kemanusiaan adalah yang utama. Tidak ada gunanya menuding satu sama lain, menyebut satu yang lain sebagai orang kafir. Tidak juag kita akan kembali ke jaman jahilliyah, jika itu yang kita takutkan dengan virus 'pornografi' itu.
Ingat bahwa dunia ini diciptakan Tuhan begitu kompleksnya, dan satu baju ukuran seseorang (atau sekelompok orang) tidak bisa diklaim akan pas untuk orang lain.
Demikian.
Jika saya dianggap sekuler, kafir, atau apapun, silahkan, saya yakin Tuhan Maha Pengampun sekaligus Maha Mengetahui isi hati masing-masing. Itu yang terpenting.

 
At 1:24 PM, Blogger Ndkshd said...

Sekecil apapun garis yang mengarah pada kekejian dan kemungkaran sesegera mungkin untuk dapat diluruskan kembali. Silahkan juga beri saran atas rencana penerbitan "Majalah Playboy ala Indonesia" ke: http://blog.360.yahoo.com/blog-OoZ1hRUwd6K0tyK84rMOidpuvMzx7Jc-?cq=1

 
At 11:51 PM, Anonymous Anonymous said...

To Jasmines,

Btw,
www.hidayatullah cuma sedikit kok fans-nya... dilihat dari history-nya cuma paling 200-an orang yang rajin online...

 
At 5:26 PM, Anonymous Anonymous said...

semeton bali di kobe mendukung penolakan uu app.

 
At 5:56 PM, Anonymous Anonymous said...

Please read...


http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/13/time/064845/idnews/557241/idkanal/10

 
At 7:09 PM, Anonymous Anonymous said...

Ada usul dari
Ali Nurmansyah, Empang Kauman, Bogor.

>Indonesia lebih membutuhkan Undang-undang Anti Radikalisme Agama (UU ARA). UU ARA itu mengatur antara lain: 1) Larangan untuk bergerombol dengan menggunakan atribut-atribut keagamaan, sehingga memmbuat ketaknyamanan/ketakutan bagi pihak lain. 2) Larangan menggunakan atribut-atribut keagamaan untuk bertindak atau seperti bertindak menggantikan aparat keamanan (polisi). 3) Larangan menggunakan lambang-lambang/atribut agama untuk mengambil keuntungan dalam PEMILU. 4) Larangan memberi janji secara langsung atau tak langsung sehingga seolah-olah seseorang akan mencapai surga atau pertolongan TUHAN (ALLAH), atau seolah-olah talah melakukan suatu kewajiban agamanya dalam suatu pemilihan umum atau sejenisnya. 5) Mendidik masyarakat bahwa sekularisme itu tidak tabu dan tidak bertentangan dengan agama. 6) etc

 
At 11:48 PM, Anonymous Anonymous said...

Maaf kalo bole saya ikut
saya seorang muslim
Dan Insya Allah saya berusaha menjalankan kemusliman saya sebaik mungkin.
Sebagaimana saudara menjalankan keimanan masing
Jujur saya tidak ingin menambahkan komentar entah menentang atau mendukung, karena ternyata kiranya semua saya rasa diluar kemampuan saya.
Saya hanya ingin minta maaf, jika ada sodara muslim yang lain yang mungkin mendefinisikan perasaan dan semangatnya untuk memerangi pornoigrafi hingga menyakiti hati sodara kami yang lain.
Karena sepanjang saya mengenal Islam dan Nabi kami, tidak pernah Beliau mengajarkan cara anarkis, kata2 kasar dan menghakimi orang lain apalgi merasa dirinya paling benar.
Dan sesungguhnya pula Islam sangat menghargai perbedaan, karena justru perbedaan itulah yang akan membawa kita pada kemuliaan jikalau kita mampu memberikan sikap yang tepat.
Maka jika ada seorang atau beberapa kelompok yang mengatasnamakan Islam dan berbicara kurang berkenan, maka saya minta maaf karena mungkin itu adalah sebuah kapasitas mereka sebagai pribadi. Bukan wajah Islam yang sebenarnya.
Sama seperti yang 'beli' bilang... mungkin mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.
Semoga anggota dewan yang terhormat mampu memilih mana yang tepat bagi negara ini dengan arif dan bijaksana.
Semoga


Aku memohon ampunan Tuhan jika ada kata kakaku yang salah.

 
At 12:34 AM, Anonymous Anonymous said...

http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=21861&PHPSESSID=7370c720f9142eeb34b3500316b77b77

 
At 12:59 AM, Anonymous Anonymous said...

Baguslah jikalau demikian......pro boleh sama UPP. Silahkan yang mau UPP itu berlaku terserah yang penting jangan itu berlakukan di bali. Kami sudah mempunyai norma-norma adat yang kuat yang mengatur hidup kami. Agama memang tidak mengajarkan kemunafikan tetapi....orangnya sendiri yang mempunyai tafsiran berbeda-beda. Saya rasa orang yang pendidikanya rendah yang menafsirkan agama terlalu extrimis....dan memaksakan syariat agamanya kepada orang lain.
Sekali lagi Jangan berlakukan UPP itu di Bali..

 
At 2:25 AM, Anonymous Anonymous said...

Di Indonesia ini memang buanyak sekali orang pintar begitu juga kelompok pintar, tetapi begitu diajak memikirkan kepentingan bangsanya, tiba-tiba menjadi bodoh semua, buktinya kita mendapat predikat menjadi negara terkorup didunia.Dalam banyak hal kita tertinggal oleh negara-negara tetangga termasuk negara yang dulunya banyak belajar sama kita.
Para Petinggi Negara dan elit Politik, bekerjalah untuk kepentingan Bangsa, kita sudah lebih dar 60 tahun merdeka, tetapi tidak maju-maju juga,hasil bumi dikuras, hutan dibabat, pasar dimonopoli tapi hasilnya BUMN bermasalah dan korupsi dimana-mana.
Itu semua menyebabkan rakayat melarat, karena daya saing kita jadi memble didunia internasional. Makanya PARA WAKIL RAKYAT kerjakanlah hal-hal yang mampu memperbaiki keadaan diatas sedang mengenai pornografi dan pornoaksi biarlah diatur oleh agama masing-masing atau oleh perundang-undangan yang ada dan norma-norma yang sudah berkembang. JANGAN DIBIARKAN BANGSA INI SEMAKIN BODOH OLEH ULAH ANDA.

 
At 3:00 AM, Anonymous Anonymous said...

Kebodohan indonesia terletak pada para pemimpinnya.....terus ditambah rakyatnya yang sok melaksanakan ajaran tuhan.......

 
At 8:54 PM, Anonymous Anonymous said...

untuk ronitoxid *tepuk tangan* ... Indonesia perlu orang2 seperti anda.. saya tulus, bukan sarkastis... :) radikalisme memang tidak akan pernah jadi hal yang berguna... hormatilah orang2 lain di sekitar anda.. jangan memaksakan norma2 agama sendiri ke orang lain.. Tuhan yang saya percaya adalah Tuhan yang adil... tidak akan menjudge orang berdasarkan agama, tetapi akan perilaku anda selama anda hidup di dunia.. tapi jangan salah, norma2 agama masing2 yang kita percayai juga sangatlah perlu untuk me-restrain masing2 individual untuk jangan berbuat salah. masih ingat slogan Indonesia? Bhinekka Tunggal Ika... jangan lupa itu, kakek2 kita (orang Bali(Hindu) kek, orang Batak(Kristen) kek, orang Dayak(Katolik) kek, orang Jawa(Islam) kek) wafat di medan perang hanya untuk Bhinneka(atau Bhinekka? lupa gua.. hehehee) Tunggal Ika, jangan khianati pengorbanan mereka...

 
At 3:50 AM, Anonymous Anonymous said...

UU ARA itu yang lebih penting. Bikin juga UU untuk menjamin perut dan otak anak bangsa terus terisi, biaya untuk berobat gratis. Juga aturan yang dapat menekan DPR supaya lebih produktif, misalnya kalo kinerjanya buruk kembalikan gaji yang sudah dimakannya!

RUU Antipornografi, MMI! <- saya mau bilang "kotoran manusia" tapi sepertinya MMI lebih kotor lagi.

BALI - maju terus!

 
At 5:40 PM, Anonymous Anonymous said...

Apa yang ada di kepala orang-orang di hidayatullah.com itu sama dengan isi perut mereka. Mereka sudah seenaknya MENGHINA orang Bali dan agama yang dianut ORANG BALI. Bali jangan gentar biarpun berhadapan dengan MALAIKAT MAUT sekalipun, kalau membela yang benar, setidaknya benar menurut ORANG BALI.

 
At 2:40 AM, Anonymous Anonymous said...

Janganlah goyah terhadap apa yang kita yakini itu benar. Dan kita orang bali tau mana yang benar di dunia ini.

 

Post a Comment

<< Home