Tuesday, March 14, 2006

The Proud Warriors' Response

TANGGAPAN KOMPONEN RAKYAT BALI (KRB)
ATAS SOMASI MMI

Komponen Rakyat Bali’s Response to the Legal Grievance (Somasi) of Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)


Menanggapi berita pada sejumlah media mengenai Somasi MMI terhadap Gubernur Bali dan tokoh-tokoh masyarakat Bali, Komponen Rakyat Bali (KRB) menyatakan sikap sebagai berikut:

In response to the MMI’s Somasi published and broadcasted in several media outlets, Komponen Rakyat Bali (KRB) has took several stances:

Pertama, KRB tidak akan mengambil tindakan apa pun sampai Somasi itu kami terima secara resmi. Jika Somasi itu telah kami terima secara resmi, maka kami akan segera melakukan tindakan-tindakan legal yang pantas dan bermartabat untuk melawan Somasi tersebut. Untuk itu KRB secara resmi telah menunjuk saudara Gede Widiatmika SH, Direktur LBH Bali, sebagai koordinator tim hukum KRB Bali.

First, KRB will not take any measures until the time we receive the Somasi through and/or from legal, official channels and/or sources. When that time come, we will immediately launch legal and dignified measures to counter the Somasi. The KRB has officially appointed Gede Widiatmika, Director of Denpasar’s Legal Aid Foundation, as the chief legal advisor of the KRB.

Kedua, sesudah mencermati salinan Somasi MMI, yang beredar di internet, kami berkesimpulan bahwa substansi Somasi tersebut sungguh-sungguh dangkal dan emosional. Tampak jelas bahwa penyusun Somasi tersebut tidak memiliki pemahaman yang utuh atas penolakan serta keberatan masyarakat Bali terhadap RUU APP. Dimensi sosio, relijius, kultural yang mendalam dari keberatan masyarakat Bali sudah terangkum pada Rumusan Penolakan KRB yang bisa diakses secara bebas pada http://jiwamerdeka.blogspot.com.

Second, a careful examination on the copy of the Somasi, which is widely distributed in the internet, has convinced us that it is a document of shallow and emotional substances. The Somasi clearly shows that its drafter did not have a thorough understanding on the Balinese people’s rejection against the Anti Pornography Bill. A deep, comprehensive socio-cultural and religious rationale on the rejection has been offered in the KRB Rejection Statement that could easily be accessed in http://jiwamerdeka.blogspot.com.

Kami menyarankan kepada semua pihak yang ingin melakukan perdebatan intelektual tentang penolakan masyarakat Bali agar sebaiknya mempelajari Rumusan Penolakan KRB tersebut terlebih dahulu.

We would be very grateful if any party that wish to engage us in an intellectual debate on the rejection carefully examining the KRB Rejection Statement beforehand.

Ketiga, tuduhan dalam Somasi bahwa gerakan penolakan RUU APP telah diboncengi upaya-upaya separatisme sungguh-sungguh menyakitkan hati kami. Masyarakat Bali memandang bahwa penolakan terhadap RUU APP ini justru merupakan sebuah tindakan pembelaan, ekspresi kesetiaan, kepada NKRI yang Pancasilais dan berlandaskan Bhineka Tunggal Ika.

Third, the accusation, which was made in the Somasi that the rejection was a pretext for a separatism movement, has really offended us. The Balinese people considers the rejection as an expression of allegiance toward and an act of protecting the Republic of Indonesia, a unitary nation state built upon Pancasila and the multiculturalism principle of Bhineka Tunggal Ika.

RUU APP jelas-jelas merupakan sebuah upaya pengingkaran terhadap nilai-nilai luhur Pancasila, UUD 45 dan Bhineka Tunggal Ika. Oleh karena itu, KRB berkesimpulan, bahwa upaya melawan RUU APP adalah tindakan patriotik untuk menyelamatkan NKRI, bukan tindakan separatis.

The Anti Pornography Bill is an obvious effort to subvert and betray the noble principles of Pancasila, the 1945 Constitution and Bhineka Tunggal Ika. Naturally, KRB concludes that any effort to reject the Bill is a patriotic act to rescue the Republic and definitely not an act of separatism.

KRB justru memandang bahwa kelompok-kelompok seperti MMI, yang ingin memaksakan sebuah RUU yang tidak menghormati keragaman budaya dan relijius bangsa, adalah kelompok-kelompok yang sedang berupaya untuk merongrong persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk ini.



Moreover, KRB considers that any militant group, such as MMI, which wants to impose a bill that blatantly ignores the country’s rich and diverse heritage of cultural and religious values, as the group that is trying to subvert the precious unity of this heterogenous nation.

Dalam perspektif seperti ini, keinginan sekelompok kecil masyarakat Bali untuk “Merdeka”, seharusnya dimaknai sebagai upaya menyadarkan seluruh elemen bangsa akan makna luhur Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Bahwa NKRI didirikan atas perjuangan seluruh komponen bangsa, tanpa memandang batasan suku maupun agama.

Teriakan “Merdeka” itu adalah ajakan untuk kembali menjadi Bangsa Indonesia yang Sejati!

In this perspective, the wish of a small group of Balinese to secede from the Republic, must be interpreted as an effort to jolt the conscience of the Indonesian people so as they will realize once again the sanctity of the Proclamation of Independence, August 17 1945. This nation’s independence was fought for and won by all and every elements of the nation, and not the work of one single ethnic or religious group.

The Balinese’s cry for “Independence” is a call to our fellow Indonesians to return to be A True Nation of Indonesia.

Keempat, ancaman tindak kekerasan yang terkandung dalam Somasi MMI jelas-jelas menunjukkan bahwa kelompok ini bukanlah kelompok yang mempercayai perjuangan melalui dialog damai. Untuk ini, kami hanya bisa menanggapi bahwa Bali adalah pulau kedamaian namun Bali juga adalah pulau yang telah melahirkan pahlawan-pahlawan besar yang siap, rela dan gembira menyerahkan jiwanya bagi keagungan NKRI.

Fourth, the threat of possible violence solution implicitly stated in the Somasi has clearly indicated that MMI does not believe in searching for an answer through a peaceful means or dialogue. For this, we could only reiterate that Bali is the island of peace. However, Bali is also the island that had and still has given births to proud, selfless warriors, who were ready, willing and elatedly surrendered their lifes to nurture and defend this majestic Republic.

Sebagai keturunan para patriot ini, kami siap setiap saat untuk menunaikan kewajiban luhur kami bagi Republik tercinta ini.

As the descendants of the patriots, we are more than prepared to make the ultimate sacrifice for this beloved Republic.


Denpasar, 14 Maret 2006
Komponen Rakyat Bali
Salam Merdeka,


I Gusti Ngurah Harta
Ketua

23 Comments:

At 3:33 AM, Anonymous Anonymous said...

great response

 
At 4:01 AM, Anonymous Anonymous said...

Elegan dan beradab. Teruskan perjuangan! Saya dukung sepenuhnya walaupun saya orang Jawa.

 
At 5:16 AM, Anonymous Anonymous said...

Tanggapan yang cerdas dan berbobot...dari esensinya saja orang normal bisa tahu siapa yang bermasalah dan siapa yang benar dan terdzalimi.

Buat para idiot yang memperjuangkan RUU APP ini, coba bayangkan jika bali menerapkan RUU APP (anti-poligami dan pornofobia), jenggot putihnya pasti rontok dan bau angus, atau jidat hitamnya karena sering sujud makin tambah hitam sehitam arang tanda restu dari setan.

Bibi saya bekerja sebagai TKW di arab saudi, dan ngobrol selama 15 menit saja di toilet sewaktu ketemu TKW lain, sudah cukup untuk ditampar oleh majikannya. temannya yang sudah bekerja selama 4 tahun, waktu berangkat masih perawan pulang-pulang bawa oleh-oleh: ANAK ARAB!!!
Orang Arab sudah ribuan tahun menerapkan syariat islam, tapi moralnya lebih bejat dari orang indonesia.
majikan bibi saya punya istri 11 orang!!! (walaupun Muhammad punya lebih dari 11 istri sewaktu masih hidup...tetapi maksimum 4 orang secara bersamaan). Selain itu anaknya yang masih 6 tahun suka mengintip bibi saya sewaktu mandi dan minta ikut mandi sambil gedor-gedor pintu kamar mandi (saya tidak melebih-lebihkan!).
Pornografi diharamkan di arab, tetapi pemerkosaan di pakistan, iraq, afghanistanm, negara-negara arab lain jauh lebih tinggi dari di jepang di mana pornografi di jual bebas di pinggir jalan.
JADI tolong para wakil rakyat dan para pendukung RUU APP Jawa, pakai otak...tak...tak...!!! benerin dulu tuh logikanya sebelum jutaan orang terutama wanita jadi korban...ban...ban...
yang bikin pemerkosaan merajalela itu karena kekuasaan lelaki terlalu besar untuk melakukan sesuatu kepada wanita...dalam budaya paternalistik yang kuat atau hukum yang terlalu melindungi kaum pria dan mengesampingkan kaum wanita, kesempatan utk memperkaos dan memperkosa itu selalu besar...SO, ini masalah KEKUASAAN!!! THE POWER!!!coba lihat deh ceramah aa gym, bagaimana kalo si ibu pengajian bertanya "aa..gimana nih suami saya, kadang suka marah-marah kalau lagi capek, kalau saya menasehati untuk ibadah malah saya dicaci-maki", aa gym selalu menjawab "ibu harus introspeksi...apakah ibu melakukan kesalahan sebelumnya, apakah sebelumnya menyakiti hati suami, karena suami itu lelah mencari nafkah seharian...blah...blah...", nyesel dah si ibu ngasih pertanyaan cuma jadi disalahin, di depan TV nasional lagi...

Terakhir mohon maaf, sebagian kata-kata saya terlalu kasar. abis lagi bete...te...te...bgm mungkin orang kayak MMI dan FPI ini melakukan premanisme tanpa terdengar ada orang yang mengutuk di media elektronik, di koran, dll. orang berani mengutuk cuma kalo di internet...net...net...

 
At 7:02 AM, Anonymous Anonymous said...

wow..orang orang di krb hebat kerjanya.....saya heran politikus kita diseluruh indonesia tidak bekerja bagus....salut.. kerja lebih cepat dan baik ..untuk hasil biar rakyat bali dapat kerja lagi.daripada ngurusin undang undang taen blek

 
At 7:18 AM, Anonymous Anonymous said...

Dimana saya bisa baca somasi dari MMI tsb? Tolong saya dikasih tau.
Terima kasih.

 
At 7:59 AM, Anonymous Anonymous said...

Tanggapan yang sangat baik! Tanggapan MMI memang terlalu berlebihan dan emosional. Orang Indonesia kebanyakan yang cepet emosi sih. Rasanya akar masalahnya sama: kurangnya pendidikan.

Kesimpulannya. Urus dulu pendidikan Indonesia, daripada repot-repot RUU APP. Yang pasti2 saja lah.

 
At 8:07 AM, Anonymous Anonymous said...

super response. i love you. i love bali. i love indonesia.

 
At 8:58 AM, Anonymous Anonymous said...

terima kasih ....and
I LOVE BALI.

 
At 5:47 PM, Anonymous Anonymous said...

Teruskan perjuangan. Kami selalu mendukung. Hindari kekerasan
Peace................

 
At 6:29 PM, Anonymous Anonymous said...

saya siap berjuang jika orang2 tolol itu datang utk menyerang..bali bukan ambon, bukan juga poso yang bisa mereka rongrong..ini tanah yang penuh kedamain, bertahun2 kami hidup disini dengan penuh toleransi. Ngga pernah ada Mesjid yang dibakar, gereja yang dibakar, pura yang dibakar..yang ada hanya kaum2 militan yang buta akan agamanya membom tanah kami..wahai orang2 tolol yang telah terbutakan oleh kesombongan..jangan pernah anggap diri kalian suci...dan jangan pernah bermimpi utk mendapatkan Surga setelah apa yang kalian lakukan!!!!

 
At 6:32 PM, Anonymous Anonymous said...

MAJELIS MUJAHIDIN
DEPARTEMEN DATA DAN INFORMASI

Jalan Jatinegara Timur III no.26 Jaktim-13350

Tlp/Fax: 021-8517718



Nomor : 01/03/MM-DATIN/06

Lamp. : -

Perihal : SOMASI



Kepada:

1. Gubernur Propinsi Bali

2. Pimpinan DPRD TK I Bali Di Tempat



Setelah memperhatikan pernyataan Gubernur Bali I Made Dewabrata, pimpinan DPRD Tk I Bali, dan sejumlah tokoh masyarakat Bali dalam menanggapi

rencana pengesahan RUU APP, maka kami ajukan SOMASI dengan alasan sebagai berikut:


1. Logika pariwisata sebagai tulang punggung perekonomian Bali untuk menolak RUU APP adalah mengada-ada, karena masyarakat Bali sebelum ini hidup tanpa pariwisata. Justru dengan mengundang wisatawan asing, kemaksiatan merajalela, prostitusi tumbuh subur, narkoba bersimaharajalela, sehingga rakyat Bali menjadi budak di negerinya sendiri.




2. Logika budaya untuk menolak RUU APP sama sekali tidak berdasarkan fakta sosiologis dan filosofis, mengingat pakaian adat Bali relatif menutup aurat (tidak telanjang). Bahkan patung-patung di sana pun diberi kain penutup.




3. Ancaman Gubernur dan masyarakat Bali untuk memisahkan diri dari NKRI merupakan bentuk tirani minoritas dan arogansi yang bernuansa SARA serta ancaman perang terhadap kedaulatan NKRI, di samping melecehkan penduduk mayoritas muslim.




Mencermati pernyataan tersebut maka:

1. Kami mendesak Pemerintah cq TNI untuk segera bertindak tegas terhadap anasir disintegrasi yang nampak jelas dengan memanfaatkan momentum penolakan terhadap RUU APP.


2. Jika pemerintah SBY-JK membiarkan ancaman Gubernur Bali tersebut berarti pemerintah secara langsung maupun tidak, telah merestui separatisme di wilayah hukum NKRI, sehingga pemerintahannya merupakan pemerintahan subversif, anti NKRI, dan menyulut konflik SARA.


3. Jika TNI tidak sanggup menanggulangi dan menghentikan sikap arogansi dan anasir separatisme tersebut, maka Majelis Mujahidin bersama institusi Islam lainnya siap untuk menyelesaikannya.



Ya Allah, saksikanlah, kami telah menyampaikan, Allahu Akbar!




Jakarta, 12 Maret 2006



Drs. Fauzan Al-Anshari, MM

Ketua (HP.0811-100138)

 
At 10:52 PM, Anonymous Anonymous said...

MMI FPI mana bisa diajak damai, jagonya bikin onar aja... Teriak2 nama Tuhan saat merampok, ngerusuh, ngerusak..., Pake otak keq, mana ada Tuhan mau berbuat sehina itu. Ga bakal bisa diajak damai deh kalo sudah nafsir qurhan aja salah....

by Islam cinta damai anti MMI FPI si bikin onar. Organisasinya para maksiat mengatasnamakan islam. "go to hell"

 
At 1:30 AM, Anonymous Anonymous said...

Hey MMI, FPI, dll. simak baik2 yg berikut,

http://switch5.castup.net/frames/20041020_MemriTV_Popup/video_480x360.asp?ai=214&ar=783wmv&ak=null

dan

http://switch5.castup.net/frames/20041020_MemriTV_Popup/video_480x360.asp?ai=214&ar=1050wmv&ak=null

 
At 3:04 AM, Anonymous Anonymous said...

Kalau PKI dilarang di Indonesia, kenapa MMI, FPI dan kelompok sejenisnya dibiarkan merajalela? Semua pun tahu siapa yang selalu menjadi biang masalah di Indonesia: janggut" tolol yang tidak sanggup hidup dan kalah bersaing di abad millenium ini lalu memimpikan hidup layaknya abad ke-7 di gurun pasir.

Saya bukan orang Bali, tapi saya tahu bagaimana orang Bali menjalani hidupnya sehari-hari, dalam damai. Justru antek" berjanggut dari Jawa (tanpa bermaksud mendiskreditkan orang" Jawa lainnya yang masih punya hati nurani)-lah yang selalu membuat keonaran di Bali, juga daerah" lain di Indonesia.

Dengan membaca somasi yang dikeluarkan MMI, kita bisa tahu mana bunga yang harum (rakyat Bali) dan mana bangkai yang busuk (jelas MMI)! Memang benar: pohon yang baik selalu mengeluarkan buah yang baik pula.

Rakyat Bali, kalian tidak sendirian. Daerah lainpun akan mengambil langkah yang sama untuk mencegah MMI & FPI serta IBLIS "menggurunkan" negara ini! Kalau sampai mereka melukai kalian, mereka akan berhadapan dengan kami juga!

Maju terus! Yang benar selalu menang!
Salut!

NB: Nyatanya kalian tidak butuh Indonesia. Justru Indonesia-lah yang butuh Bali. Jangan mau digertak oleh otot binatang" MMI+FPI.

 
At 6:29 PM, Anonymous Anonymous said...

B aru ngebaca isi somasi ke Gub n dprd Bali. Kok isinya lucu, terbukti nggak pinter mengolah data.

FPI + MMI organisasi keras dan militan. Patut di berantas bro.....

 
At 1:19 AM, Anonymous Anonymous said...

Silent bomb destroying Bali

WITH the junkie's combination of ease and anticipation, Riky squeezes a forearm between calf and thigh as he squats in the corner of his Kuta boarding house room, waits a brief moment for the bruised vein on the back of his hand to engorge, then plunges the needle in deep.

The heroin starts working within seconds. Riky, 24, who's been shooting smack in Bali's most popular tourist district several times a day since arriving from his native Sumatra three years ago, releases the arm, leans against the tiled white wall and half closes his eyes. Gently drawing the syringe's plunger back and forth, once, twice, three times, blood clouding the barrel and wafting back into the vein to guarantee as intense a hit as possible, he draws deeply on a clove cigarette.

A tense smile plays on the gaunt man-child's face as the drug washes across it; a rooster crows in the courtyard below. Within minutes the moment has passed; soon the agitation will begin again, but for now, worry is an age away.

"Of course I want to stop," Riky says when the opiate cloud finally settles. "But it's hard. So hard. I keep falling." His friends Irfan and Ginting, also from Sumatra, join Riky in the tiny room, just big enough for a single mattress on the floor, a few pieces of clothing, some sterile syringes, a Japanese grammar book -- Riky prides himself on his rudimentary skills in the tongue -- and an Indonesian copy of Cosmo magazine.

The pair, who have waited anxiously outside in the midday sun while Riky got his third hit of the morning, are trying desperately to go clean. It's been three days since they smoked the stuff -- "I'm not game enough to inject," says Ginting, "you never know about the doses" -- and the raffishly handsome 27-year-old, who has been addicted since he arrived in Kuta six years ago, can't even watch his friend go through his ritual. "It makes me want to throw up," he says. A couple of tablets of Subatex, an oral heroin replacement being trialled in Indonesia, got Irfan and Ginting through day two of their latest shot at a heroin-free life the previous day.

They bought the pills on Kuta beach from a friend, Dewa Ketut Ardatha. He's been clean for 18 months. At 39, "Arda" is a survivor of heroin addiction who has now devoted himself to helping Bali's thousands of drug addicts. He has a special arrangement with a local doctor that enables him to provide the slow-acting Subatex to users, the logic being that at least that helps keep them off the deadly white powder.

But even for Arda, it's not easy. "Addiction doesn't go away," he admits. "You have to keep fighting it." In Riky's room, Irfan and Ginting are struggling with stomach cramps and no cash to get rid of them. Ginting tries to find a comfortable position to lie on the floor, first front, then back; Irfan props himself up on the bed, facing the west, then warily trying the east. Riky thumbs through his copy of Cosmo.

The trio and up to 20 other friends spend their days on one of the world's most famous beaches, selling whatever they can to its affluent tourists to support their habits. "I stopped when the only thing left to sell was myself," Arda says. Their gang, one of several along the popular strip, is a small part of an Indonesian narcotics addiction explosion that makes the cases of the Bali Nine -- who have been charged with conspiring to smuggle more than 8kg of heroin to Australia -- almost pale into insignificance. "They (the Bali Nine) really didn't know the situation here," former user, dealer and narcotics convict Marky tells The Australian with a smile. "There are a lot of big dealers in Denpasar. If they knew that, they would have been able to do it safely; instead they just went to the airport not even knowing what was going on there. There are other ways of doing it." Bali-based Australian drugs campaigner Bob Monkhouse -- an avid opponent of a scourge the origin of which he locates at the door of modernity -- says the epidemic is close to unmanageable. But he insists it's not only tourists who are responsible; instead, Monkhouse warns, Indonesia has a home-grown problem that presages a looming disaster.

"It's easy to blame the presence of Westerners in Bali for the drugs problem here, but there is the same drugs problem in Malang, in Surabaya (large cities in eastern Java), and in Sumatran cities, and they don't have that same kind of tourist thing at all," Monkhouse says. "It's an Indonesian problem, and it's a recent one."

Monkhouse, who has lived in Bali for three decades, runs a Denpasar-based non government organisation focused on drug addiction and HIV-AIDS: the latter a timebomb inextricably connected to the former. His NGO, the Bali Health Foundation, operates a needle exchange program which he laments has reached only 20 per cent of the province's estimated 5000 intravenous drug users. "You need about 75 per cent for true effectiveness," he acknowledges. "Until we've reached that number, really we're going backwards." Well over half of Bali's injecting users are HIV-positive; Monkhouse says these people are spreading the virus further -- both through drug use and sexual activity.

Bali psychiatrist Denny Thong fears an epidemiological catastrophe is not far off: he warns that the spread of HIV through syringe sharing is "a tsunami" about to hit the Island of the Gods. "I always say that we already had a bomb in Bali before 2002, but it's a silent bomb, and nobody cries," Dr Thong says. "We already had more people died from HIV here (than in the bomb)." Police crackdowns in Denpasar's red-light and organised crime district of Kampung Flores in recent months have pushed the problem further underground, Monkhouse says.

"Six months ago it was easy to find junkies on the streets of Denpasar, which in a way was good because it meant you could help them," he says. "Now they're becoming harder to find -- they're still using but they're doing it with more secrecy. That doesn't help at all. "You have to be getting dirty needles in and replacing them with clean ones to be doing any good," he says. Bali police chief I Made Mangku Pastika, accompanying his troops on a raid of a Kampung Flores gang hideout in July, warned that criminal elements would have "tough medicine" dished out if they continued to promote their illegal businesses of drugs, gambling and prostitution. Most observers say the pressure has only forced the drug trade elsewhere, including to Denpasar's main jail in the suburb of Kerobokan, near the tourist resort areas of Kuta, Legian and Seminyak.

Heroin has always been available at the jail but several addicts told The Australian it was now easier for outsiders to buy there than ever before. It was also safer and cheaper, they said. Jail doctor Anak Agung Gede Hartawan admits there are inmates using heroin, but says it's a problem of resourcing. "At other jails (abroad) there are proper facilities provided for prisoners," he says. "Here everything comes from the outside -- food, everything. It's not surprising drugs also come in."

Bali has two methadone therapy centres -- one in the jail and one in the central hospital, at Denpasar -- and the Subatex that has put some spark back into the life of Arda's Kuta beach gang is also helping address the addiction epidemic. "These are really beautiful medications; they help catch the ones who want to give up," enthuses Dr Thong, at 65 years of age, officially retired, but as the province's pre-eminent mental health expert unwilling to let go the responsibility he feels towards his "army". "You know it's very dangerous actually, what I'm doing," he says. "You're trying to pull down the market, and some people do not like it. I get threats, sometimes, but I've got a strong army behind me. "I've got pimps, I've got prostitutes. My dream, when I die, is that I'll be in an open field and all the people coming to mourn me will be the drug addicts and the prostitutes."

Including, presumably, Riky, Irfan and Ginting, even though all three are adamant they are too "ashamed" to go to Dr Thong for treatment. "I don't want my situation known," Ginting says. "I have to fight it myself." He takes up again a discussion with Arda about how to get hold of another Subatex tablet before dark; the medication, he says, changes everything. "You can sleep, you can eat, and you want to wash. It's amazing," he says.

 
At 1:59 AM, Anonymous Anonymous said...

ketika saya membaca somasi mmi atas Bali, saya sangat sedih, ternyata masih ada orang-orang yang mengaku Indonesia tetapi menghianati bangsanya sendiri.
namun ketika saya membaca tanggapan masyarakat Bali, sungguh suatu kebanggaan mempunyai saudara-saudara seperti kalian.saudara-saudaraku mari kita terus berjuang demi Ibu Pertiwi tercinta.Bende Mataram

 
At 6:52 PM, Anonymous Anonymous said...

Perjuangan rakyat Bali dalam menerima RUU APP mencapai klimaks yang gegap gempita pada Rabu (15/3) saat, dalam dengar pendapat publik di gedung DPRD Bali di Renon, Ketua DPRD Bali IBP Wesnawa (kanan) dan Gubernur Bali I Dewa Made Beratha (kiri) secara resmi menyampaikan penolakan lembaga legislatif dan eksekutif terhadap RUU APP.


Ratusan aktivis anti RUU APP, termasuk tokoh-tokoh Komponen Rakyat Bali (KRB) seperti Ngurah Harta, Cok Sawitri, Ketut Wiana, Luh Anggreni, Abubakar, Aridus serta Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa, menghadiri pertemuan tersebut.

"Dewan MENERIMA RUU APP dan kami menuntut agar DPR RI meneruskan pembahasan RUU APP tersebut," tegas Wesnawa.


Tiga fraksi DPRD Bali mendukung PENERIMAAN tersebut. Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Golkar menerima, bahkan Fraksi Kertha Mandala menerima berdasarkan suara mayoritas.


Selanjutnya, Gubernur Bali Dewa Made Beratha juga menyampaikan penolakan yang sama, menyatakan bahwa RUU APP "berpeluang menempatkan warisan budaya Bali serta benda-benda sakral keagamaan Bali menjadi wilayah tuntutan hukum." Ia juga menegaskan bahwa RUU itu akan berpengaruh buruk bagi berbagai bidang kehidupan masyarakat Bali.


Tampaknya, himbauan dari organisasi militan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yang mengharap Gubernur Bali sebagai pemimpin gerakan pendukung RUU APP, telah diselesaikan dengan baik sekali oleh Dewa Made Beratha.


"Saya telah menerima ," ujarnya sembari tersenyum ,"Saya pembela Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mereka menyebut saya sebagai seorang Negarawan."

Surat resmi dukungan mereka akan segera dikirimkan ke Ketua DPR RI, Presiden serta sejumlah kementerian terkait.


Dukungan ini menjadikan Bali sebagai propinsi pertama yang secara resmi mendukung RUU APP.


Dukungan ini juga didukung oleh semua Bupati dan DPRD kabupaten di Bali.


Aktivis pendukung RUU memberi sambutan---tepuk tangan dan teriakan--riuh rendah pada keputusan Ketua DPRD dan Gubernur Bali.


"Kita telah menyelesaikan satu tahapan penting dari perjuangan kita. Tetapi jalan yang panjang dan sulit masih terbentang di depan kita. Bersiaplah dan tetaplah bersatu," tokoh KRB Cok Sawitri berucap.

 
At 8:49 PM, Anonymous Anonymous said...

Bah......brengsek bener nih orang...."WAHAI TEMAN-TEMAN SEPERJUANGAN SI "KETUT' INI BUKAN ORANG BALI DIA ORANG JAWA TIMUR YANG MEMBIKIN BLOG ATAS NAMA ORANG BALI. DAN MEMUTARBALIKAN FAKTA DPRD BALI. SAYA MUSLIM SAYA TIDAK SETUJU DENGAN UPP TERSEBUT DAN SAYA TIDAK SETUJU DENGAN KEKERASAN FPI DAN MMI. SEJUJURNY ISLAM SELALU MENGADOPSI BUDAYA SETEMPAT DAN MEMPERTAHANKANYA. LIHATLAH DI PULAU JAWA MASIH BANYAK DILAKUKAN SESAJEN....ITU SEMUA KAN BUDAYA HINDU TAPI MASIH DIPERTAHANKAN. BUKAN MALAH MEMATIKAN DAN MENGGATINYA DENGAN BUDAYA LAIN....
(ABDUL KADIR)

 
At 8:15 AM, Anonymous Anonymous said...

Good design!
[url=http://pkuhuyxa.com/ujlu/azdj.html]My homepage[/url] | [url=http://yeusxyqy.com/bllm/nnhb.html]Cool site[/url]

 
At 8:18 AM, Anonymous Anonymous said...

Good design!
My homepage | Please visit

 
At 8:18 AM, Anonymous Anonymous said...

Well done!
http://pkuhuyxa.com/ujlu/azdj.html | http://snljuhay.com/rjcb/kzpm.html

 
At 7:05 AM, Blogger Me said...

HTI jelas2 mau hancurin RI disebut pelindung Islam. Bali mau hidup damai malah dirusak. Gimana ya, kalo suatu saat Indonesia dipecah aja, yang Islam biar di Jawa dan Sumatra, terapin tu syariah, perkosa tu perempuan dll, sementara yang masih menghargai pluralitas bikin negara Indonesia Demokratik gitu? Aq yakin, Indonesia yang Islam bakal g' maju2 kayak Pakistan, sementara yang demokratik, hmm, what a dream...

 

Post a Comment

<< Home