Friday, March 17, 2006

Indonesia: Awake

19 Comments:

At 3:32 AM, Anonymous Anonymous said...

Lho ? Itu lambang NAZI ?

 
At 3:33 AM, Anonymous Anonymous said...

Iya ya, yang ke-enam dari kiri. NAZI !

 
At 5:19 AM, Blogger jiwamerdeka said...

Hidup dalam damai dengan semua aliran keagamaan adalah prinsip moral yang kami coba tawarkan di Jiwamerdeka. Sebuah tawaran yang tercermin dalam karya grafis Coexist.

Sebagai sebuah tawaran, tentunya setiap orang memiliki hak untuk menerima atau menolak prinsip moral itu.

Yang menyedihkan adalah kalau penolakan (juga penerimaan) itu tidak dilandasi dengan kesadaran dan pemahaman yang memadai, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh dua pemberi komentar Anonimus di atas.

Menyamakan Swastika Hindu dengan Swastika NAZI jelas-jelas menunjukkan pemahaman historis dan filosofis yang dangkal.

Dari bentuknya saja sudah ada perbedaan yang sangat mendasar, Swastika Nazi itu "sinistroverse"; miring ke kiri sekitar 45 derajat, sedangkan Swastika Hindu berdiri tegak.

Belum lagi perbedaan menyangkut nilai-nilai simbolik kemanusiaan yang diwakili oleh kedua Swastika yang berbeda tersebut.

Sebagai bahan pikiran, saya telah mem-posting makalah saya "Tentang Simbol dan Kreativitas" yang salah satu bagiannya secara khusus memaparkan dimensi historis dan filosofis Swastika.

Moga-moga bermanfaat.
Salam Damai

I Wayan Juniartha

 
At 5:35 AM, Anonymous Anonymous said...

bolehkah gamar itu dijadikan baju kaos??? he-he apakah mesti minta izin resmi??????? dsb???? hi hi

uci

 
At 5:44 AM, Blogger jiwamerdeka said...

Silahkan dipakai baju kaos, stiker, bendera, atau apa saja.

Hanya ada dua syarat:
-Mohon dicantumkan alamat blog http://jiwamerdeka.blogspot.com atau http://electronposts.blogspot.com di sisi bawah grafis. Cukup tulisan kecil saja. asal terbaca saja.

-Mohon digunakan untuk kebaikan bersama umat manusia.

terimakasih
salam damai

I Wayan Juniartha

 
At 8:27 AM, Anonymous Anonymous said...

Saya sangat tertarik dengan gambar tersebut, apalagi idenya.

Salam Damai

 
At 4:59 PM, Anonymous Anonymous said...

Aduh duh duh...

Sampai kapan ya para anonymous ni berani pake nama manusia...

 
At 5:05 PM, Anonymous Anonymous said...

Satu lagi ketinggalan...
Barusan aja ada suara 'gedubrak' 2X karena ada anonymous #1 & #2 yang kena pukulan KO ya, telak mengenai rahang... Udah nyadar belon atuh, moga-moga kagak masuk UGD... Saya berdoa untuk mereka, moga-moga nyadar lahir (ga kasih comments blo'on lagi) & batin (no comments, masalah kapasitas mental, niat, spiritual, itu masalah mereka ama Tuhan)...
Amien!

 
At 8:06 PM, Anonymous Anonymous said...

Semoga Hyang Widi memaafkan dan menyadarkan kita semua,... bahwa agama (wahyu) yang di turunkan ke dunia adalah untuk mensejatrakan dan mendamaikan dunia, sebagai orang yang percaya kepada agamanya masing-masing, harusnya menjalanakan tujuan agama itu yaitu untuk KEDAMAIAN DUNIA.
moga teman, sahabat atau saudara saya yang anonymous paham akan agamanya. MARI BUAT DUNIA INI DAMAI mulai dari kita!!!

 
At 11:17 PM, Blogger Madé Harimbawa said...

Swastika ( su + asti + ka)
Su = prefiks yang lebih kurang berarti "baik"
Asti = keberadaan atau keadaan
Ka = sufiks yang lebih kurang berarti "pembawa"

Jadi, swastika 'seharusnya' adalah simbol yang membawa keadaan yang baik. Jika simbol ini dipakai untuk membenarkan pembantaian etnis dan penghapusan keberagaman (seperti yg NAZI lakukan) ya sudah jelas bukanlah 'swastika' lagi. ;)

 
At 4:47 AM, Anonymous Anonymous said...

uci!
kalo kaosnya udah jadi..pls sms yach...hehehe

 
At 7:01 PM, Anonymous Anonymous said...

hmmm kok di bilang lambang nazi sih ?
ngeliatnya pake mata bukan ya
atau mang pengetahuannya sebatas itu aja ?

 
At 4:16 AM, Anonymous Anonymous said...

Mengenai RUU APP
Dari CEGLEH di KUTA

Jangan coba-coba gunakan hak mayoritas belaka tanpa memperhatikan kaum minoritas, karena negara RI adalah negara merdeka jadi, semua punya hak atas penolakan atau mendukung, tapi bukan kekerasan yang bersifat paksaan/pemerkosaan hak azasi bangsa ini. Sekarang mungkin baru hanya RUU APP tapi kalau benar terealisasi mungkin negara ini akan lambat laun akan berubah menjadi negara islam yang fanatik dan munafik dan hanya berupa topeng aja tapi prakteknya NOL BESAR.
Jangan berharap banyak dan hentikanlah seruanmu jangan lancang ”MMI & FPI” ingin menyerang bali itu suatu bukti bahwa suara kalian bersifat SANGAT PENGECUT.....!!!!.
Ingat HUKUM KARMA jika ingin terwujud suatu keharmonisan bangsa ini.
Jika kalian menyerang BALI kami siap membela bali dengan semangat ”PUPUTAN” (berjuang secara habis-habisan) dan mungkin kalian tidak tahu itu........ jangan pernah meremehkan warga bali dimanapun.

 
At 4:40 AM, Blogger nathanael said...

I love this blog :)

Aku orang Jakarta, dan menolak RUU Anti Pornografi.

Indonesia, adalah keragaman. Indonesia tanpa saudara2 dari Bali, bukan Indonesia. Indonesia tanpa saudara2 Tionghoa, itu bukan Indonesia.

Indonesia itu keragaman. Dan semua usaha yang menghancurkan dan tidak menghormati keragaman HARUS DILAWAN.

For Admin, aku ada milis tolak_ruu_app@yahoogroups.com mungkin bisa sekalian dipublikasikan (kalo tidak keberatan :p )

Temen2 udah ada yang bergabung, terutama dari jaringan di Jakarta.

Let's fight guys :)

salam,
Nathanael

 
At 5:17 PM, Anonymous Anonymous said...

ngak lah, itu salah satu emblem dari agama Buddha... swastika buddha dan nazi itu beda... silahkah cek ke www.wikipedia.org

 
At 5:18 PM, Anonymous Anonymous said...

sorry, salah informasi, buddha daaaan hindu

 
At 8:56 PM, Anonymous Anonymous said...

Mudah-mudahan agama menjadikan kita orang-orang yang beradab,orang yang penuh kasih kepada sesama.Bukan sebaliknya menjadi alasan untuk dijadikan bahan sumber konflik, alasan untuk membinasakan kelompok lain. Semoga kita semua sadar bahwa yang kita sembah adalah tuhan, bukan agama

 
At 2:08 AM, Anonymous Anonymous said...

Pornografi

oleh: Romo William P. Saunders *


Pasangan saya kecanduan pornografi, tetapi ia menyangkalnya sebagai dosa. Saya ingin memahami masalah ini dengan lebih baik. Mohon tanggapan.
~ seorang pembaca Arlington Catholic Herald


Katekismus Gereja Katolik memberikan tiga alasan mengapa pornografi adalah salah dan dosa. PERTAMA, pornografi melanggar keutamaan kemurnian. Setiap umat Kristiani dipanggil untuk hidup murni, sebab itu ia wajib menghormati kekudusan seksualitas kemanusiaannya sendiri, yang meliputi integrasi jasmani dan rohani dari keberadaannya. Ia juga wajib menghormati kekudusan perkawinan. Dalam menanggapi pertanyaan kaum Farisi mengenai perceraian, Tuhan kita mengajarkan, “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (Mat 19:4-6). Sebab itu, cinta kasih suami isteri yang mencerminkan ikatan sakramental antara mereka, dan pengucapan janji perkawinan juga sakral. Ungkapan cinta kasih suami isteri haruslah mencerminkan cinta kasih yang setia, permanen, eksklusif, saling memberi diri dan saling menghidupi antara suami dan isteri.

Namun demikian, hormat terhadap perkawinan dan cinta kasih suami isteri tidak hanya terbatas pada ungkapan secara jasmani. Rasa hormat itu juga meliputi dimensi rohani. Yesus mengajarkan, “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat 5:27-28). Sebab itu patutlah, “kemurnian menjamin sekaligus keutuhan pribadi dan kesempurnaan penyerahan diri” (Katekismus Gereja Katolik, No 2337). Sebaliknya, pornografi merupakan tindak perzinahan batin yang menghantar pada ketidakutuhan rohani orang dan dapat menghantar pada perzinahan fisik atau tindak seksual yang tidak sah lainnya.

KEDUA, pornografi sangat merusak martabat semua mereka yang ikut berperan (para aktor, pedagang dan penonton). Masing-masing dari mereka mengeksploitasi diri atau mengeksploitasi yang lain dengan suatu cara demi kenikmatan atau keuntungan pribadi. Secara keseluruhan, martabat manusia - baik ia yang berpose, ia yang memproduksi, ia yang memperdagangkan, ataupun ia yang menikmatinya - direndahkan.

KETIGA, mereka yang terlibat dalam pornografi membenamkan diri dalam suatu dunia semu, dunia khayalan, lepas dari dunia nyata. Cinta kasih sejati senantiasa menyangkut memberikan diri demi kebaikan yang lain, sedangkan pornografi menarik orang untuk masuk ke dalam suatu dunia semu yang menyesatkan dan egois, yang kemudian dapat dilakukan dalam dunia nyata hingga mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Masalah pornografi telah meningkat drastis sejak internet menyajikan hubungan seksual “virtual reality”.

Dosa pornografi tidak sekedar menyangkut “suatu tindakan pada suatu saat”, melainkan dapat menjadi semacam kanker rohani yang merusak manusia.

Dr Victor Cline (1996) mengemukakan empat dampak progresif dari pornografi: (1) kecanduan, di mana hasrat untuk menikmati tayangan-tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri; (2) meningkatnya nafsu liar, di mana orang menjadi kurang puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk ke dalam pornografi yang semakin dan semakin brutal, biasanya guna memperoleh tingkat sensasi dan gairah yang sama; (3) hilangnya kepekaan moral, di mana ia tidak lagi memiliki kepekaan moral terhadap tayangan-tayangan yang tidak wajar, yang tidak sah, yang menjijikkan, yang menyesatkan, yang amoral, melainkan menikmatinya sebagai tayangan yang dapat diterima dan mulai memandang orang lain sebagai obyek; (4) pelampiasan, di mana khayalan diwujudkan dalam tindakan nyata yang jahat.

Jelas dan nyata, pornografi menimbulkan dampak buruk yang merusak segenap masyarakat, teristimewa perempuan dan anak-anak. Pornografi mengajarkan bahwa perempuan menikmati “dipaksa” dan menikmati aktivitas seksual yang brutal; pornografi mendukung pelacuran, mendukung orang mempertontonkan aurat, mendukung voyeurism (= perilaku di mana orang mendapatkan kenikmatan dengan melihat secara tersembunyi orang lain menanggalkan busana atau melakukan hubungan seksual), dan menganggap semua itu sebagai perilaku yang wajar; pornografi menganggap perempuan sebagai obyek seks belaka yang dipakai guna mendatangkan kenikmatan diri. Pada sebagian pria, secara rutin menikmati tayangan pornografi membuat mereka menganggap normal serangan terhadap perempuan dalam hal seksual maupun dalam interaksi lainnya; pornografi meningkatkan toleransi atas serangan yang demikian terhadap perempuan dalam budaya yang lebih luas (Surrette, 1992). Yang sangat menyedihkan, dampak terburuk pornografi mungkin terjadi atas diri anak-anak, khususnya anak-anak lelaki berusia antara 12 hingga 17 tahun, oleh sebab pornografi menggambarkan aktivitas seksual di luar pernikahan sebagai hal yang wajar dan dapat diterima, tanpa menghiraukan ancaman AIDS atau penyakit-penyakit kelamin lainnya yang mengerikan, dan tanpa menghiraukan beban tanggung jawab terhadap kemungkinan hadirnya kehidupan manusia baru.

Sementara sebagian orang berusaha membenarkan penggunaan pornografi demi meningkatkan keintiman dalam hidup perkawinan mereka, sebagian besar dari orang-orang ini lebih mengkhayalkan aktor-aktor dan adegan-adegan dalam tayangan-tayangan pornografi tersebut daripada pasangan mereka. Keadaan yang demikian memerosotkan kesakralan cinta kasih suami isteri menjadi suatu tindak perzinahan - yang satu mempergunakan tubuh yang lain sebagai sumber kenikmatan seksual sementara “bersetubuh” dengan suatu figur khayalan. Dr Cline melaporkan, “Pasangan mereka hampir selalu mengeluh merasa dikhianati, dilecehkan, ditipu, diacuhkan, dianiaya dan tak mampu bersaing dengan khayalan.” Tak heran Asosiasi Psikiater Amerika mendapati bahwa 20% dari pecandu pornografi bercerai atau berpisah karena kecanduan mereka.

Pernyataan mengenai dampak buruk pornografi didukung pula oleh bukti-bukti kriminal. Terdapat bukti akan adanya hubungan langsung antara kasus-kasus pemerkosaan, pelacuran, penganiayaan anak dan penyiksaan fisik terhadap pasangan, dengan maraknya sajian / tayangan pornografi dan gaya hidup mesum dan bisnis yang berorientasi pada seksualitas dalam suatu komunitas (Uniform Crime Report, 1990). Beberapa contoh: Pada tahun 1991, Departemen Kepolisian Los Angeles mendapati bahwa dalam periode sepuluh tahun, pornografi terlibat dalam duapertiga dari seluruh kasus pelecehan terhadap anak-anak. Satu dari enam orang di penjara-penjara negara adalah pelaku kejahatan seks; kejahatan seks berada di urutan kedua setelah kejahatan obat-obatan terlarang. Pada tahun 1988, Federal Bureau of Investigation melaporkan bahwa 81 persen dari para pelaku kekerasan seksual secara rutin membaca atau menyaksikan tayangan kekerasan pornografi.

Sebagai umat Kristiani, haruslah kita waspada terhadap pornografi, bukan hanya menghindari penggunaannya saja, melainkan juga menolak gambar, bayangan atau pemikiran apapun yang muncul secara tak sengaja, seperti misalnya ketika secara kebetulan menyaksikannya saat menonton film. Haruslah kita bertindak amat bijaksana dalam memilah-milah apa yang hendak kita saksikan ataupun apa yang hendak kita dengarkan. Kita patut menentang segala sumber pornografi yang mencemarkan serta merendahkan masyarakat kita. Di samping itu, dalam doa-doa kita, patutlah kita mohon keutamaan kemurnian, mohon pada Tuhan rahmat agar kita senantiasa murni dan menghormati martabat setiap pribadi, teristimewa dari kalangan lawan jenis. Apabila kita jatuh, dan dengan sengaja kita ikut ambil bagian dalam suatu bentuk pornografi atau menerima suatu gambar, bayangan atau pemikiran pornografi yang tidak dengan sengaja dicari, namun demikian kita terima, kita patut bertobat, mengaku dosa dan menerima absolusi. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa pornografi merupakan “satu pelanggaran berat,” artinya secara obyektif merupakan dosa berat. Jangan pernah kita menganggap remeh dosa ini dan membiarkannya berakar dalam hidup kita.


* Fr. Saunders pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.

sumber : “Straight Answers: Dealing with Addictions to Pornography” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

 
At 3:46 PM, Anonymous Anonymous said...

Tuhan bersabda.........
Wahai engkau manusia Aku beri kau pikiran gunakanlah sebaik-baiknya.
(Artinya....kita diberi pikiran gunakanlah untuk memikirkan yang baik-baik.....Jangan asal lihat orang pake bikini berjemur langsung konat....terus ada majalah sex-esex kamu beli. Sebisanyalah kita mengendalikan diri mulai dari sendiri).
Pendidikan pornografi(sex education) itu pertama berasal dari keluarga masing-masing....Orang yang tumbuh dewasa dengan pikiran ngeres mencerminkan keluarganya telah gagal mendidik. Jangan salahkan orang lain......
Walaupun anda-anda sering kegereja tetapi kalau di keluarga anda kurang mendidik Sama juga boong.
Walaupun itu diatur oleh negara....kalau basicly orang tersebut memang pikiranya mesum....Akan selalu terjadi pemerkosaan. Jangan kita lihat dunia barat yang budayanya beda jauh dengan kita "Lihat arab saudi" Walaupun hukum disana sangat ketat mengatur tatacara hidup secara syariat....toh masih banyak kita dengar para TKW kita diperkosa.......Jadi yang salah itu apanya...???? Individu, Undang-undang, atau keluarga......
Tuhan tidak pernah melarang kita untuk melakukan apapun, berpikir apapun.....Tuhan memberikan kita pikiran, keluarga, pendidikan agar kita gunakan untuk membatasi diri kita. Kalau sampai hal-hal yang bersifat prinsip dan pribadi diatur oleh negara......dimana letak kedewasaan kalian berpikir...........hhuuuuuhhhhhh..............
(made suwung)

 

Post a Comment

<< Home