Friday, March 17, 2006

Swastika NAZI?

Hidup dalam damai dengan semua aliran keagamaan adalah prinsip moral yang kami coba tawarkan di Jiwamerdeka. Sebuah tawaran yang tercermin dalam karya grafis Coexist (Hidup Bersama).

Sebagai sebuah tawaran, tentunya setiap orang memiliki hak untuk menerima atau menolak prinsip moral itu.

Yang menyedihkan adalah kalau penolakan (juga penerimaan) itu tidak dilandasi dengan kesadaran dan pemahaman yang memadai, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh dua pemberi komentar Anonimus terhadap karya grafis Coexist di atas.

Menyamakan Swastika Hindu dengan Swastika NAZI jelas-jelas menunjukkan pemahaman historis dan filosofis yang dangkal.

Dari bentuknya saja sudah ada perbedaan yang sangat mendasar, Swastika Nazi itu "sinistroverse"; miring ke kiri sekitar 45 derajat, sedangkan Swastika Hindu berdiri tegak.

Belum lagi perbedaan menyangkut nilai-nilai simbolik kemanusiaan yang diwakili oleh kedua Swastika yang berbeda tersebut.

Sebagai bahan pikiran, di bawah ini adalah makalah saya "Tentang Simbol dan Kreativitas" yang salah satu bagiannya secara khusus memaparkan dimensi historis dan filosofis Swastika.

Makalah ini disampaikan dalam Seminar tentang “Simbol-simbol Keagamaan dan Kreativitas Seni” yang diselenggarakan oleh FRONTIER di aula Fakultas Hukum Universitas Udayana pada 24 Januari 2006 lalu.

Moga-moga bermanfaat.

------------------------------------------------------------------------------------------------

Tentang Simbol dan Kreativitas

Oleh: I Wayan Juniartha

Dua Jalan

Sebelumnya, marilah dipahami bahwa baik kesenian maupun agama merupakan jalan serta upaya manusia untuk memahami dirinya, memahami dunianya.

Artinya, kesenian serta agama bukanlah dua hal yang secara alami berada dalam posisi berseberangan, dalam posisi saling meniadakan.

Dengan kesadaran seperti ini, semoga percakapan selanjutnya didasarkan pada niat untuk saling mencerahkan, bukannya kehendak untuk saling mengalahkan, menghancurkan.


Empat Sebab


Selama ini ada empat sebab utama di balik perselisihan mengenai simbol yang umumnya melibatkan kalangan keagamaan dengan kalangan kreatif.


Yang pertama adalah semangat fundamentalisme agama. Semangat, yang didasari pada keinginan untuk memurnikan dan memperteguh keyakinan relijius, tersebut bermuara pada upaya-upaya penegakan identitas keimanan. Simbol-simbol suci keagamaan merupakan salah satu elemen paling penting dalam menegakkan identitas keimanan. Karenanya, harus dijaga agar tidak “dicemari” dan digunakan oleh pihak “lain”. “Pencemaran”, baik dalam bentuk pengubahan atau pentafsiran ulang atas simbol tersebut, serta penggunaan oleh pihak “lain” berpeluang melemahkan kekuatan simbol itu sebagai identitas keimanan. Sebagai identitas keimanan, simbol tersebut adalah milik ekslusif kelompok pengiman tersebut. Hanya kelompok pengiman tersebut yang berhak menggunakan serta mentafsir ulang simbol tersebut.


Yang kedua adalah ketidakpekaaan seniman. Ketidakpekaan, baik yang disebabkan kebodohan maupun kesengajaan seniman, dalam menggunakan serta mentafsirkan simbol-simbol suci keagamaan secara provokatif dan radikal.


Yang ketiga adalah kesalahpahaman. Kebuntuan jalur komunikasi antara seniman dengan kelompok keagamaan yang bermuara pada prasangka dan tuduhan tak berdasar.


Yang keempat adalah tabrakan antara semangat kreatif kesenian dengan semangat konservatif relijius. Dalam hal ini, baik seniman maupun kelompok keagamaan telah beroperasi dengan cara serta norma yang dapat diterima. Namun, kedua kelompok gagal mencapai kesepakatan.

Tiga Alat

Untuk mencermati penggunaan simbol dalam karya-karya kreatif ada satu syarat mendasar yang harus dimiliki dan digunakan oleh semua pihak yang terlibat; keterbukaan pikiran.

Tanpa keterbukaan pikiran mustahil dilakukan sebuah dialog yang santun dan saling menghargai.

Keterbukaan pikiran inilah yang kemudian digunakan untuk mencermati intensi (kehendak, niat, landasan pikir) serta aktualisasi (penerapan, pelaksanaan) dari sebuah penggunaan secara kreatif atau pemaknaan baru terhadap sebuah simbol keagamaan.

Selama intensi dan aktualisasi tersebut nyata-nyata berada pada alur memulyakan kemanusiaan dan atau meluhurkan spiritualitas maka seyogianya kelompok-kelompok keagamaan memberi dukungan penuh pada kreativitas seniman.

Seandainya intensi dan aktualisasi si seniman ternyata menciderai kemanusiaan maka menjadi hak kelompok keagamaan untuk melakukan perlawanan, tentunya dalam koridor-koridor yang dipujikan oleh agama maupun Negara.

Satu Simbol


(bagian ini disusun berdasarkan tulisan dan hasil penelitian sejumlah sejarahwan dan arkeolog, seperti Jyotsna Kamat, Jennifer Rosenberg, Shiv Darshanlal Sharma, Count Goblet d'Alviella dan Heinrich Schliemann)


Swastika, salah satu simbol yang paling disucikan dalam tradisi Hindu, merupakan contoh nyata tentang sebuah simbol relijius yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang kompleks sehingga hampir mustahil untuk dinyatakan sebagai kreasi atau milik sebuah bangsa atau kepercayaan tertentu.

Diyakini sebagai salah satu simbol tertua di dunia, telah ada sekitar 4000 tahun lalu (berdasarkan temuan pada makam di Aladja-hoyuk, Turki), berbagai variasi Swastika dapat ditemukan pada tinggalan-tinggalan arkeologis ( koin, keramik, senjata, perhiasan atau pun altar keagamaan) yang tersebar pada wilayah geografis yang amat luas.


Wilayah geografis tersebut mencakup Turki, Yunani, Kreta, Cyprus, Italia, Persia, Mesir, Babilonia, Mesopotamia, India, Tibet, China, Jepang, Negara-negara Scandinavia dan Slavia, Jerman hingga Amerika.


Simbol ini, yang dikenal dengan berbagai nama; tetragammadion di Yunani atau fylfot di Inggris, menempati posisi penting dalam kepercayaan maupun kebudayaan bangsa-bangsa kuno, seperti bangsa Troya, Hittite, Celtic serta Teutonic.

Simbol ini dapat ditemukan pada kuil-kuil Hindu, Jaina dan Buddha maupun gereja-gereja Kristen (Gereja St. Sophia di Kiev, Ukrainia, Basilika St. Ambrose, Milan, serta Katedral Amiens, Prancis), mesjid-mesjid Islam ( di Ishafan, Iran dan Mesjid Taynal, Lebanon) serta sinagog Yahudi Ein Gedi di Yudea.

Swastika pernah (dan masih) mewakili hal-hal yang bersifat luhur dan sakral, terutama bagi pemeluk Hindu, Jaina, Buddha, pemeluk kepercayaan Gallic-Roman (yang altar utamanya berhiaskan petir, swastika dan roda), pemeluk kepercayaan Celtic kuna (swastika melambangkan Dewi Api Brigit), pemeluk kepercayaan Slavik kuno (swastika melambangkan Dewa Matahari Svarog) maupun bagi orang-orang Indian suku Hopi serta Navajo (yang menggunakan simbol itu dalam ritual penyembuhan). Jubah Athena serta tubuh Apollo, dewa dan dewi Yunani, juga kerap dihiasi dengan simbol tersebut.


Di pihak yang lain, Swastika juga menempati posisi sekuler sebagai semata-mata motif hiasan arsitektur maupun lambing entitas bisnis, mulai dari perusahaan bir hingga laundry.


Bahkan, swastika juga pernah menjadi simbol dari sebuah kekejaman tak terperi saat Hitler menggunakannya sebagai perwakilan dari superioritas bangsa Arya. Jutaan orang Yahudi tewas di tangan para prajurit yang dengan bangga mengenakan lambang swastika (Swastika yang “sinistrovere”; miring ke kiri sekitar 45 derajat) di lengannya.


Nol


Realita sejarah serta kultural yang dipaparkan di atas secara jelas menunjukkan kepada kita betapa sebuah simbol bisa memiliki fungsi sakral dan profane, luhur dan remeh temeh pada saat yang bersamaan. Contoh di atas juga telah memaparkan betapa sebuah simbol yang serupa bentuknya lahir, berkembang serta memiliki nama yang berbeda pada beragam tradisi kultural di berbagai belahan dunia.

Dalam konteks seperti ini fungsi yang tunggal, nama yang satu, pemaknaan yang seragam menjadi tidak memiliki relevansi. Sakral dan profane, suci dan cemar tak lagi menjadi pembagian atau pembatasan yang absolute, melainkan perbedaan titik pandang---perbedaan dimensi ruang dan waktu---.

Pemaknaan menjadi hal yang sangat temporal dan kontekstual.

Kesadaran seperti ini seyogianya mendorong kita untuk menanggapi setiap permasalahan yang berhubungan dengan simbol keagamaan dengan cara-cara yang berlandaskan kehati-hatian, kecermatan dan, terutama, kebijaksanaan.

15 Comments:

At 6:24 PM, Anonymous Anonymous said...

Menjadikan Indonesia 'Wahabbi'?Aboeprijadi Santoso*

15-03-2006

Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi RUU-APP mirip upaya menjadikan Indonesia "negara Islam." RUU yang disebutnya "RUU Porno" ini mengangkat nilai-nilai Wahabbi dari Arab Saudi dan menghina Bangsa Indonesia, demikian menurut mantan pemimpin redaksi Mingguan TEMPO, Goenawan Mohamad.


Varian Budaya Arab
RUU APP yang katanya dimaksud untuk membasmi dan menangkal pornografi dan pelecehan serta kekerasan seksual, menjadi kontroversi yang makin panas. Goenawan Mohamad mengatakan RUU tersebut banyak bersumber dari gagasan Wahabbi, yang ingin menciptakan Indonesia sebagai varian Budaya Arab Saudi.


"RUU Porno (RUU Anti Porno, red) ini adalah hasil imposisi dari satu nilai yang hanya dikenal di kalangan Wahabbi Indonesia, atau pengaruh Wahabbi di Indonesia. Kalau satu golongan yang bukan mayoritas ini - karena tidak semua orang Islam di Indonesia setuju dengan nilai-nilai itu, memaksakan sesuatu... itu namanya bukan saja anti demokrasi, tetapi memakan ongkos yang terlalu besar yang hasilnya tidak ada." Demikian Goenawan Mohamad.


Kesempatan untuk Berbeda
Ongkos yang dimaksud adalah banyaknya kesenian daerah dan peri kehidupan daerah, yang terancam. Termasuk dalamnya persatuan Indonesia. Kemudian, tambah Goenawan yang dikenal juga sebagai sastrawan ini, adalah kematian kreativitas Bangsa Indonesia. "Bukankah kreativitas yang menghasilkan kesenian Indonesia yang beribu-ribu tahun ini, adalah kesempatan untuk berbeda?"


Bahkan dalam seni Islam sendiri, terdapat demikian banyak perbedaan. Ada yang mengijinkan perempuan menari, ada yang tidak. Namun umumnya mengijinkan perempuan menyanyi. "Nah sekarang ada Islam yang punya pengaruh Arab Saudi, akan tidak mengijinkan itu," tandasnya Goenawan.


Kesalahpahaman
Lebih lanjut, budayawan dan sastrawan ini pun mengatakan melihat semangat di balik penyusunan RUU APP ini ia kuatir terjadi kesalahpahaman dalam melihat masyarakat Indonesia. "Yang menyusun RUU ini tidak pernah belajar sejarah, antropologi, dan sosiologi Indonesia," tandasnya.


"Nah Hidayat Nurwahid membantah bahwa RUU Porno (RUU Anti Porno, red), akan mengubah budaya lokal, itu pasti. Pasti akan mematikan. Tari Gandrung dari Banyuwangi, misalnya, tak akan diijinkan. Nanti akan dikatakan ‘asal di tempat yang disediakan khusus’. Dimana ada kesenian daerah atau rakyat berada di tempat yang disediakan khusus. Itu’kan biasa dilakukan di jalan-jalan, di rumah-rumah orang, tidak di gedung khusus. Kesenian rakyat tidak mengenal gedung, malah ..."


Goenawan Mohamad menyatakan bahwa sejak dulu upaya untuk memberantas pornografi dilakukan di mana-mana. Pernah dilakukan di sebuah negara kecil berpenduduk 100 ribuan di Jenewa oleh Calvin, pendiri Agama Protestan. Saat itu, lanjutnya, dibutuhkan beribu-ribu polisi untuk mengontrol perliku manusia yang dianggap pornoaksi.


Menghina Bangsa Indonesia
Hal yang sama pun pernah dicoba di Boston, Amerika, saat kaum puritan menguasai kota. "Mereka mau mengimpuls suatu nilai-nilai yang nggak ada hasilnya. Ya buktinya sekarang Boston berubah, dan memang harus berubah." "Dan," tambah Gunawan, "jika nilai-nilai Wahabbi itu yang mau dipakai, dan Indonesia dijadikan bagian dari Arab Saudi. "Ini ‘kan menghina Bangsa Indonesia!"


Selain itu, RUU APP ini menurut pendapat Gunawan adalah upaya menjadikan Negara Indonesia menjadi Negara Islam. "Walau yang dituju adalah UU bukan konstitusi; tetapi ini mau mengelabui konstitusi dengan cara lain. Mau menghancurkan Indonesia dengan cara lain, untuk suatu doktrin yang belum tentu benar.


"Saya tidak tahu peradaban apa ini. Tapi yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah suatu pertaruhan masa depan tanah air kita. Apa jadi sebuah negara Islam atau negara Pancasila yang kita kenal sekarang."


*Dirangkum Lea Pamungkas

 
At 6:26 PM, Anonymous Anonymous said...

Porno-fasis?Kolom Aboeprijadi Santoso

10-03-2006


Porno, kita tahu. Parno, di Jawa banyak. Tapi porno-fasis? Dia bukan tetangga Anda, juga bukan selebriti dalam serial ”Sex in the City”. Porno-fasis adalah anggapan bahwa biang kekerasan seksual dan ‘kemerosotan tata-susila’ gara gara berahi Anda terangsang, adalah cewe, perempuan, wanita alias kaum Hawa semata. Lantas – nah, ini kuncinya - apabila anggapan itu dilaksanakan secara konsekuen dengan dukungan aparat negara dan aparat hukum, maka dia bisa menjadi pintu menuju kehidupan publik yang cenderung fasis. Celakanya, diinsyafi atau pun tidak, anggapan itu jadi premise banyak wakil rakyat yang terhormat di Senayan.

RI cenderung fasis
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi isinya seperti sebuah check list ihwal dan kegiatan yang dianggap ‘haram’. Mulai dari “alat kelamin”, “paha”, ”pinggul”, “pantat”, “pusar”, “payudara”, “bergoyang erotis” sampai tulisan, film, foto, rekaman suara, syair lagu, puisi, bahkan “lukisan (dengan) daya tarik ketelanjangan tubuh dewasa” – semua yang dianggap “sensual” bisa mendapat sanksi hukum.

Tapi apa itu “sensual” - ini pun kata asing - itu tidak dirumuskan. Juga contoh-contohnya, seperti dikemukakan Ayu Utami, sering diawali dengan kata “antara lain”. Jadi, kalau dikatakan “telanjang” dan “separo telanjang”, maka tampak dada pun bisa masuk ranah pornografi dan pornoaksi.

Katakanlah, dengan restu sebuah fatwa dan atas nama agama mayoritas yang penghayatan religiusnya sama sekali belum tentu didukung oleh mayoritas pemeluknya, semua itu dapat diwujudkan. Lantas, apa yang bisa terjadi?

Mari kita berandai-andai. Di negara hukum yang sering tak berdaya (langka enforcement) , maka lambat laun Negara, the State, akan kewalahan. Negara harus mendisiplinkan pejabat, jaksa, hakim, dan polisi untuk mengawasi pelaksanaan konsekuen Undang Undang, lengkap dengan peta lokasi ‘porno’ di setiap kota, kampung dan juklaknya. Kalau perlu, tentara disuruh membantu polisi. Berhubung Undang Undang itu rumusannya tak selalu jelas, atau karena pejabatnya mudah bertafsir sendiri, maka, cepat atau lambat, Negara bakal memiliki mata, menjadi Big Brother, di ruang kehidupan privat Anda. Bukankah pekarangan rumah di kampung sering tak berbatas dengan gang dan jalanan?

Walhasil, ibu-ibu di Bali, Papua, pria dan wanita, dengan atau tanpa koteka, seniman dan pedagang, pria maupun wanita, yang menciptakan atau memperdagangkan karya-karya seni rupa bermotif (separo) telanjang –- mereka mendadak dapat dipidana. Mungkin juga jutaan petani di sawah yang bekerja di bawah terik matahari dengan buka dada, atau buruh yang berkeringat, bahkan para pedagang wayang berdada telanjang, Arjuna misalnya - mereka kontan menjadi ‘kriminal’, dan wayang kulit itu harus disita. Juga olahragawan? Dan tak perlu lagi ada turis-turis bule atau domestik di pantai. Tak usah berharap devisa dari ‘kriminal-kriminal’ pelanggar tata susila baru ini.

Lebih gawat, tak ada gunanya lagi anak-anak didik kita berimajinasi dan berkreasi ketika ruang imajinasi dan wawasan mereka yang sesungguhnya tak berpagar itu, harus dipagari demi norma-norma kalangan tertentu. Tak perlu lagi ada buku, lukisan, film, pameran buku, festival film, dsb, kalau setiap halaman dan adegannya harus diawasi, diperiksa dan dikaji. Tapi suatu ketika kita harus siap membayar konsekuensinya dengan generasi yang dull (hambar), tak punya daya cipta yang lengkap karena terlalu dikendalai. Imajinasi kita tentang apa itu ‘estetika’ harus kita kurbankan demi nilai-nilai tata susila baru.

Paling celaka, berapa juta polisi-susila yang dibutuhkan republik ini untuk menjamin pelaksanaan tata susila baru itu? Jadi, sebuah generasi politikus dan pejabat baru harus disiapkan, dilatih, digembleng agar siap menjalankan kebijakan tata susila baru itu.

Singkatnya, semua itu dapat bermuara pada lahirnya sebuah republik baru. Ujung akhirnya, sang negeri itu akan terasa sungguh asing, dia bukan lagi kampung halaman kita, bukan home atau pun heimat, melainkan sebuah republik baru - yang cenderung fasis.

Gambaran di atas sengaja agak (sic!) berlebihan. Dia belum tentu akan jadi kenyataan, tapi semua itu bukan imajiner belaka. Artinya, arah RUU-‘Porno-fasis’ itu bisa ke sana. Sekarang saja seorang perempuan tak berjilbab di beranda rumahnya di Aceh pernah ditahan, dan perempuan di Tanggerang, di halte bus pk. 19, ditangkap karena dianggap ‘pelacur’. Pelaksanaan UU tsb bisa terjebak ekses-ekses yang mahal harganya. Kalau itu terjadi, FPI bisa mewujudkan gelar plesetannya: “Fasis Pura-pura Islam”.

Upaya Islamisasi Indonesia makin jeli
Contoh kongkritnya, Gunawan Mohammad kepada Radio Nederland menunjuk pada kasus gagalnya ribuan polisi menjamin pemaksaan tata susila Calvinisme di sebuah kota kecil bernama Jenewa pada abad ke-16. Serupa yang pernah terjadi di kalangan Puritan di Boston, Amerika. Semua itu gagal. Sekarang, Jenewa maupun Boston, adalah kota-kota yang semarak dengan kehidupannya yang beragam, yang pluralis.

Di zaman Soviet, orang membangun banyak gedung yang arsitekturnya identik. Tapi, sejarah menunjukkan pemaksaan nilai-nilai, oleh penguasa partai tunggal atau berideologi tunggal, terhadap masyarakat yang majemuk, akhirnya, akan bermuara pada kegagalan.

Kegagalan Nazi di Jerman, komunisme di Eropa Timur dan kebangkitan generasi muda dan reformasi di Iran sejak 1990an menunjuk pada hakekat kemajemukan itu. Kita pun di Indonesia mengenal kegagalan upaya yang hendak memaksakan pola yang semacam penyeragaman, atas nama nilai-nilai kemiliteran (kesatuan dalam ‘NKRI’), doktrin (Manipol-Usdek 1964, Asas Tunggal 1980an), agama (fatwa) atau ‘Moralitas’.

Segala upaya tadi merupakan upaya penyeragaman terhadap kenyataan yang hakekatnya akan selalu beragam.

Jadi, tidaklah aneh, bahkan amat serius, bahwa banyak daerah seperti Bali dan Sulawesi Utara mengancam akan keluar dari negara kesatuan NKRI jika ‘RUU Porno-fasis’ itu disahkan. Rakyat Jakarta, Kalimantan pun tak akan mengenal seni rupa Bali dan Papua, dsb. Dengan kata lain, ‘RUU Porno-fasis’ itu menohok sendi kebangsaan.

Sebaliknya, menjadikan Bali, Papua dan Batam sebagai wilayah kekecualian yang bebas RUU tsb, sama sekali bukan solusi. Ini, selain juga menerjang sendi kebangsaan, sebenarnya malah mengingkari universalisme karya-karya seni dan intelektual. Singkatnya: memasung pikiran, hak dan daya cipta.

Clifford Geertz, antropolog termasyhur itu, menulis perbandingan masyarakat Muslim di Maroko dan Indonesia dalam “Islam Observed ” (1969). Intinya, dia menunjuk pada perbedaan penghayatan religius. Di Maroko, simbol-simbol agama merajai kehidupan publik, sedangkan di Indonesia 1950-60an, tidak. Namun Mitsuo Nakamura menggambarkan perubahan sosial kaum Muslimin di Kuta Gede, Jawa Tengah, pada 1970an. Peralihan yang dilukiskan Nakamura ini, disusul kemenangan Revolusi Iran 1978, metamorfosa Golkar-HMI dan banting stirnya Soeharto yang berpaling ke Islam akhir 1980an, kini menghasilkan perubahan Islam politik di Indonesia.

Ternyata, Maroko, di bawah Raja Mohammad, kini menjadi negara Islam paling liberal dan moderen. Sebaliknya Indonesia-kini seolah ingin mirip Marokko-dulu.

Bandul jam tengah bergoyang di dalam demokrasi pasca-Orde Baru. Tampaknya, upaya menggolkan Islamisasi di Indonesia kini lebih jeli. Tidak lagi lewat perubahan konstitusi dengan tujuh kata, seperti di tahun 1945, melainkan dengan menggalang dukungan akar rumput bagi pengaturan tata susila.

Duuuh porno, ... hidup Parno!

http://www.ranesi.nl/tema/temahukdanham/porno-fasis_kolomas_060310

 
At 9:39 PM, Anonymous Anonymous said...

Sebuah simbol sakral umumnya 'mewakili' keyakinan seseorang. Tentu tidak heran ketika gelombang protes datang dari kaum muslim diseluruh dunia ketika nabi yang sangat dihormati dilecehkan' dalam goresan kartun. Apalagi pemaknaan kartun tsb. sangat 'berat' sebelah, menggambarkan nabi yang yang diyakini pengikutnya tidak seperti digambarkan dalam kartun. Saya kaget ketika penolakan dan demo kedatangan presiden Bush ke sebuah negara amerika latin disambut dengan poster/spanduk yang menggambarkan Bush seorang Nazi dengan menggunakan lambang Swastika. Tampaknya lambang Swastika 'produk' NAZI jauh lebih mendunia dibandingkan dengan makna simbul yang diusung oleh Hindu.

 
At 10:14 PM, Anonymous Anonymous said...

Assalamualaikum warahmatullah…..

Saya siap mati berkalang tanah membela kehormatan Republik yang kita cintai. Republik Indonesia yang kaya beragam budaya dan agama. Yang sejak zaman dahulu kala ada, jauh sebelum islam masuk ke Indonesia! Saya tidak rela tanah air kita kehilangan jati dirinya. Kita bisa dan sudah terbukti bisa untuk hidup secara harmonis di dalam keanekaragaman tersebut.

Mari kita galang kekuatan untuk membendung segala bentuk pemaksaan kehendak yang berusaha menodai dan mengkhianati Ibu Pertiwi, bangsa Indonesia yang majemuk, yang toleran.

Hadang semua usaha pembodohan dan penghasutan dengan mengatasnamakan agama.

Saya tidak setuju dengan pornografi! Saya benci itu! Tapi bukan dengan RUU APP yang seperti ini solusinya.

Merdeka!

 
At 1:43 AM, Anonymous Anonymous said...

Aduh, anonymous ini lagi loh.. Siapa ya namanya... Gemes deh, ih... Pasti ada sesuatu di mukany ayang sexi jadi malu memunculkan diri...

 
At 7:06 PM, Anonymous Anonymous said...

jangan2 anda salah lihat yg di amerika latin tuh lambang nazi, tapi di otak anda liat swastika.
lagian ada bukti / source url mungkin? saya pengen liat spanduk nya itu.

 
At 4:11 AM, Anonymous Anonymous said...

Mengenai RUU APP
Dari CEGLEH di KUTA

Jangan coba-coba gunakan hak mayoritas belaka tanpa memperhatikan kaum minoritas, karena negara RI adalah negara merdeka jadi, semua punya hak atas penolakan atau mendukung, tapi bukan kekerasan yang bersifat paksaan/pemerkosaan hak azasi bangsa ini. Sekarang mungkin baru hanya RUU APP tapi kalau benar terealisasi mungkin negara ini akan lambat laun akan berubah menjadi negara islam yang fanatik dan munafik dan hanya berupa topeng aja tapi prakteknya NOL BESAR.
Jangan berharap banyak dan hentikanlah seruanmu jangan lancang ”MMI & FPI” ingin menyerang bali itu suatu bukti bahwa suara kalian bersifat SANGAT PENGECUT.....!!!!.
Ingat HUKUM KARMA jika ingin terwujud suatu keharmonisan bangsa ini.
Jika kalian menyerang BALI kami siap membela bali dengan semangat ”PUPUTAN” (berjuang secara habis-habisan) dan mungkin kalian tidak tahu itu........ jangan pernah meremehkan warga bali dimanapun.

 
At 1:26 AM, Anonymous Anonymous said...

Bali, 4 tahun sudah aku tinggal disini. Bukan untuk bekerja tapi menimba ilmu. Awalnya, aku sangat suka sekali di Bali. Tenang, damai, rakyat rukun& saling tolong menolongnya kuat.
Namun sejak RUU APP digelontorkan oleh Pansus DPR, serta merta rakyat Bali kebakaran jenggot. Ada apa? Kenapa pemerintah tidak mau mendengar ocehan kami?
Bali, sejak 2 kali bom mengguncangnya, membuat Pariwisata sbg sumber utama kehilangan kendali. Org Bali bingung, mau kerja apa, karena turis jg sepi. Tanah ga punya, sudah digadaikan utk beli bakso. Sedangkan pendatang, jual bakso beli tanah. Otomatis mereka (pendatang)senang atas keglamouran masyarakat Bali.
Anehnya, orang Bali tenang - tenang aja. malah mengancam kpd pendatang utk membayar Kipem, retribusi, atau iuran lainnya. Mereka tidak lantas, cari cara utk bangkit dari keterpurukannya.
Pemerintah yg menelurkan program jalan layang, ditolak. PLTPB (panas Bumi) Bedugul, ditolak juga. Proyek jalan lintas Nusa Dua-Tanjung Benoa, ditolak pula. Kereta api, apalagi. Trus, Bali mau maju darimana, kalau semua proyek ditolak?hah?
Bali juga jangan terlalu mengagungagungkan pariwisata. Kembalilah ke dunianya dulu. pariwisata bali kini sudah tdk menjanjikan. Karena grand design (masterplan)nya jg ga jelas.
Utk Bali, marilah kita jaga persatuan kita, Indonesia.
Jangan mau merdeka jd negara sendiri. Emang bisa kita jadi negara swa (mencukupi kebutuhan sendiri)??
Banten aja masih impor dari Jawa. Apalagi yg lain?
Kembali ke APP, jangan memandang sebelah mata rancangan itu. Marilah cermati semuanya, kita urun rembug. Kenapa koq begini, begitu? jangan langsung main tolak aja. Aku ingin masyarakat Bali lebih dewasa menghadapi tantangan hidup yg makin berat. Di tengah arus globalisasi yg makin memanas.
RUU APP hanyalah menawarkan segelintir solusi dari permasalahan degradasi moral bangsa, kalau ada yg lebih bagus dari RUU APP ini, toh pasti kita dukung. Karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak dan demi anak cucu kita. Gimana mau anak cucu kita baik, kalau kita sekarang tidak baik?
generasi kita perlu teladan,maka jadilah kita teladan yg baik. Tunjukkan budaya ketimuran kita. Mari kita wujudkan Bhinneka Tunggal Ika, demi tegaknya Indonesia Raya.

 
At 1:40 AM, Anonymous Anonymous said...

Mencoba melirik "Porno"








Menjelang saat pengesahannya oleh DPR RI yang direncanakan akan dilakukan pada bulan Juni 2006 besok, tidak dapat dipungkiri, pro-kontra RUU Anti pornografi dan pornoaksi (RUU APP) kian memanas saja.

Sebagaimana diketahui, kasus tindak pornografi dan pornoaksi memang sudah berlangsung sejak lama. Selama tahun 1956-1971 saja dalam catatan detik.com setidaknya terdapat 10 orang penanggungjawab media terkena hukuman karena menyiarkan materi seks.

Meski pasca tahun 1971 tidak ada lagi penanggungjawab media yang diajukan ke pengadilan, bukan karena disebabkan adanya perubahan pandangan terhadap nilai kesusilaan, akan tetapi lebih karena pasca era 1970 jika terdapat media yang menyiarkan pornografi diancam dengan teguran keras sampai dicabutnya SIUPP oleh Departemen Penerangan.

Dengan kebijakan ini majalah Jakarta-Jakarta sekitar tahun 1987 dan Popular pada tahun 1991 pernah diberi teguran tertulis secara keras dari Deppen.

Tahun 1984 pengadilan telah memutuskan Dewi Anggraini Kusuma dijatuhi hukuman penjara 3 bulan karena kasus kalender bugil, yang setelah melakukan proses banding, mendapatkan grasi dari presiden berupa keringanan hukuman pidana bersyarat selama 14 hari. Pada Juni 2000 Pengadilan Negeri Jakarta memvonis tokoh teater Nano Riantiarno hukuman selama 5 bulan penjara. Vonis dijatuhkan karena majalah Matra yang dipimpinnya memuat materi yang dinilai asusila. (detik.com.19/1/2006)

Kasus terbaru tentang tindak pornografi dan pornoaksi ini adalah kasus goyang ngebor Inul Daratista, foto telanjang Anjasmara dan fotomodel Isabel Yahya dalam pameran CP Bienalle 2005. Januari 2006 lalu juga heboh dengan munculnya aksi nudis 2 gadis Bali di internet (detik.com 17/1/2006).

Apakah sesudah itu tayangan pornografi dan pornoaksi berhenti? Tidak juga. Masih banyak kasus yang lain yang terjadi dan tidak tersentuh hukum. Selain Deppen sudah tidak ada, hukum yang ada tidak mampu menjerat tindak pornografi dan pornoaksi. Penyebab yang lainnya adalah karena ketiadaan definisi yang jelas tentang pornografi dan pornoaksi.

Kalangan seniman dan budayawan cenderung memandang pornografi sebagai seni, yang tidak boleh dicampuri oleh agama. Sebagaimana diketahui, seni sekuler (maksudnya yang lahir dari Barat) mengembangkan logika, bahwa seni adalah seni yang punya nilai sendiri, dan agama adalah agama yang harus tahu batas-batasnya. Jika seni dimasuki nilai agama maka hancurlah kesenian. (hidayatulah.com 5-10-2005). Dan umumnya, para pengusung liberalisme yang berlindung dibalik HAM memandang larangan terhadap pornografi hanyalah akan mengekang kebebasan berekspresi.

Dengan berlindung pada definisi kabur tentang pornografi dan pornoaksi ataupun berlindung dibalik “art”, tindak pornografi dan pornoaksi malah semakin marak dan telah sampai pada taraf meresahkan masyarakat.

Buktinya, begitu maraknya tayangan-tayangan yang mengumbar aurat baik media elektronik maupun cetak. Seperti dalam sinetron, film, tayangan tengah malam, VCD, DVD, internet bahkan penyebaran via ponsel. Belum lagi kemudahan untuk mendapatkan media syur menambah parahnya kondisi moral bangsa ini. Cukup dengan 1000 rupiah, tabloid syur dapat dibeli di lapak-lapak pinggir jalan oleh siapa saja dan kapan saja.(detik.com). Dengan sangat menyedihkan, pornografi seolah telah menyatu menjadi perilaku masyarakat, maka tidak mengherankan jika Indonesia ditempatkan sebagai surga pornografi kedua setelah Rusia berdasarkan hasil riset kantor berita AP. (Republika, 17/07/2003).

Oleh karena itu pihak yang mendukung dilarangnya tindak pornografi dan pornoaksi dan cenderung mendukung disahkannya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP), menilai tindak pornografi dan pornoaksi telah semakin merajalela dan dampaknya sudah sangat meresahkan dan sangat berbahaya bagi keselamatan generasi mendatang.

Penelitian yang dilakukan Pusat Studi Hukum Universitas Islam Indonesia menyebutkan sekitar 15 persen dari 202 responden remaja berumur 15 - 25 tahun sudah melakukan hubungan seks, karena terpengaruh oleh tayangan pornografi melalui internet, VCD, TV dan bacaan pornografi. Dari penelitian tersebut juga terungkap 93,5 persen remaja telah menyaksikan VCD porno dengan alasan sekadar ingin tahu 69,6 persen dan alasan lain hanya 18,9 persen.(Suara Merdeka, 29 November 2003).


Seolah menutup mata terhadap akibat yang ditimbulkan, para artis, seniman, budayawan, para pengusung Liberalisme, sebagai kalangan yang kontra terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), mereka beramai-ramai menentang upaya pemerintah yang hendak memberantas tindak pornografi dan pornoaksi ini. Sementara berbagai pihak yang merasa gerah dengan aksi pornografi dan pornoaksi yang telah terjadi selama ini juga berupaya kuat untuk mendukung upaya pemerintah. Maka pro dan kontra terhadap permasalahan pornografi dan pornoaksi dan rencana disahkannya RUU APP tidak dapat dihindari.

Mengapa pro dan kontra?


Indonesia belum satu suara dengan RUU APP ini yaitu mendukung diterapkannya aturan tentang larangan pornografi dan pornoaksi.

Hal ini terjadi karena cengkraman sistem Kapitalisme yang diterapkan di Indonesia yang menganut ide kebebasan, telah menjadikan masalah pornoaksi dan pornografi adalah hal yang wajar saja dilakukan, dengan alasan kebebasan berekspresi. Oleh karena itu seni dalam kapitalisme dianggap bebas nilai, sehingga menafikan agama. Maka pendapat para pengusung liberalisme dan kaum seniman (yang sekuler) dalam memandang persoalan pornografi dan pornoaksi cenderung setali tiga uang.

Pemerintah sendiri memandang tindak pornografi dan pornoaksi yang tengah terjadi sudah tidak dapat ditolerir lagi dan berupaya untuk menghentikannya. Seperti yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menegaskan, bahwa kegiatan pornografi dan pornoaksi yang sekarang terjadi di masyarakat tidak bisa ditoleransi lagi. Hal ini dikatakan ketika Presiden menerima Menpora Adhyaksa Dault bersama Menneg Pemberdayaan Perempuan (PP) Meutia Hatta di Kantor Kepresidenan Jakarta, Senin (28/3). (PR, 29 Maret 2005 )


Pemerintah menganggap telah melakukan usaha maksimum, termasuk penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding-MoU) pemberantasan dan penanggulangan pornografi dan pornoaksi, yang ditandatangani oleh dua instansi yang dipimpin Menpora dan Menneg Pemberdayaan Perempuan pada April 2005. MoU ini dibuat sambil menunggu diberlakukannya RUU APP, sekaligus memacunya agar segera ditandatangani.


Upaya pemerintah dalam membuat RUU APP ini memang didukung oleh pihak yang mendukung pemberantasan terhadap pornografi dan pornoaksi. Akan tetapi baik pihak yang pro maupun yang kontra terhadap RUU APP, keduanya masih memandang adanya pasal-pasal karet dan kekaburan definisi dan tentu saja dengan alasan yang berbeda. Pihak yang kontra terhadap RUU APP memandang pasal-pasal RUU APP akan menghalangi kebebasan berekspresi, menghancurkan industri pariwisata dan hiburan, menghancurkan adat istiadat sebagian bangsa Indonesia, dll. Bahkan Kepala Pusat Studi Andrologi dan Seksologi Universitas Udayana dr. Wimpie Pangkahila menyebut RUU APP akan menjadikan bangsa Indonesia terbelakang (detik.com, 11-3-2006)

Adapun pasal-pasal yang pengertiannya masih kabur menurut pihak yang pro terhadap RUU APP ini, justeru masih memungkinkan lolosnya beberapa tindakan pornografi dan pornoaksi. Namun, walaupun RUU APP ini merupakan salah satu upaya pemberantasn tindak pornografi dan pornoaksi, sampai kini permasalahan pornografi dan pornoaksi masih belum terselesaikan. Sebab, yang terjadi hanyalah 'tiarap sementara' sambil menanti hasil akhir penggodokan RUU APP. Tidak menutup kemungkinan jika RUU APP “berhasil” dikompromikan antara yang pro dan kontra, tindak pornografi dan pornoaksi akan kembali marak.


Seperti yang diberitakan detik.com (12-3-2006), dari rencana 11 Bab 93 Pasal, RUU APP kini telah menyusut menjadi 8 Bab 82 pasal setelah dilakukan kesepakatan draft kedua. Jadi sekitar 11 pasal telah dihapus, antara lain yang berkaitan tentang ciuman dan pakaian.


Berkaitan dengan definisi, dalam RUU APP draft pertama dalam Bab1 Pasal 1 dan 2 berbunyi: pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika. Pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum.


Tetapi dalam RUU APP draft kedua Pansus menyepakati definisi pornografi dikembalikan kepada definisi Yunani. Draft kedua berbunyi, pornografi berasal dari bahasa Yunani, porne yang artinya pelacur, dan graphein yang artinya gambar atau tulisan. Sedangkan pornoaksi adalah pornografi yang dijual kepada masyarakat (detik.com 12-3-2006). Draft kedua ini telah disetujui oleh 8 dari 10 fraksi di DPR (PDS belum memberikan suaranya karena izin dan PDIP masih konsultasi dengan Ketua Umum PDIP).


Dengan definisi yang ada di draft yang pertama saja masih kabur, apalagi dengan definisi di draft yang kedua yang justeru semakin tidak jelas, tentunya tidak akan mampu mengkategorikan setiap tindak pornografi dan pornoaksi yang selama ini beredar di tengah masyarakat. Akibatnya akan banyak sekali kasus pornografi dan pornoaksi yang tidak terjerat hukum.


Ini baru berbicara tentang masalah definisi apalagi jika setiap pasalnya diteliti, misalnya pasal-pasal tentang berciuman dan pakaian. Tidak dijelaskan pasal mana saja yang berkaitan tentang berciuman dan pakaian yang dihapus. Pada draft pertama, pasal tentang berciuman dan pakaian ini sudah kabur, apalagi setelah dihapuskan semuanya di draft kedua. Tentunya masyarakat akan semakin seenaknya mengenakan pakaian, tidak peduli pakaiannya tersebut mampu menutupi tubuhnya atau tidak.

Mengapa Tak Mencoba Islam?


Seaindainya saja para kaum sekuler mau sedikit 'melirik' (soalnya, draf RUU APP itu belum apa-apa sudah dituduh berbau Arab oleh Gunawan Mohammad), maka, seharusnya masalah tidaklah seribut ini. Juga tidak membingungkan. Bukan apa-apa, sebab Islam, kalau hanya menyangkut persoalan seperti ini, punya batasan yang jelas. Utamanya dalam memberikan penyelesaian.


Sebagaimana sudah dikutip juga oleh hidayatullah.com, dalam Islam dikenal batasan aurat. Dan itu, jauh lebih luas dan lugas, dibanding cuma defenisi batasan apa itu pornografi dan pornoaksi, yang selalu menjadi 'mesiu' kalangan seminan bermain kata-kata.


Dalam Islam, batasan aurat jelas. Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an.


Allah berfirman,” Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". (TQS.AnNur (24) : 31

Bagian tubuh “yang biasa tampak” yang disebutkan dalam Al Qur’an diperjelas dalam hadist yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra ketika saudarinya Asma masuk ke rumah ‘Aisyah ra dengan mengenakan pakaian tipis. Rasulullah SAW berkata,”Wahai Asma, sesungguhnya wanita yang telah haid tidak boleh nampak darinya kecuali ini dan ini (Rasul saw berkata seraya menunjuk wajah dan telapak tangannya).


Melihat batasan aurat dalam Al Qur’an dan hadits tersebut, maka batasan aurat wanita dalam Islam adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Oleh karena itu di dalam Islam jika seseorang menampakkan bagian tubuh yang lain selain wajah dan kedua telapak tangan, maka hal itu sudah termasuk pornografi.


Demikian juga dengan aurat laki-laki, dalam Islam juga sudah diberi batasan yang jelas, yaitu dari pusar sampai lutut. Oleh karena itu jika ada seorang laki-laki yang menampakkan anggota tubuhnya dari pusar sampai lutut, maka sudah terkategori pornografi. Dalam hadits disebutkan,”Aurat seorang mukmin adalah antara pusar dan lututnya.”(HR.Baihaqi).


Maka defenisi pornografi, jika memakai defenisi Islam, adalah produk grafis (tulisan, gambar, film) --baik dalam bentuk majalah, tabloid, VCD, film-film atau acara-acara di TV, situs-situs di internet, bacaan-bacaan lainnya-- yang mengumbar sekaligus menjual aurat. A artinya, aurat menjadi titik pusat perhatian. Sedangkan pornoaksi adalah sebuah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan ditonton secara langsung; dari mulai aksi yang “biasa-biasa” saja seperti aksi para artis di panggung-panggung hiburan umum hingga yang luar biasa dan atraktif seperti tarian telanjang atau setengah telanjang di tempat-tempat hiburan khusus (diskotek-diskotek, klab-klab malam, dll). (Al Islam edisi 164, 30 Juli 2003).

Penting untuk ditegaskan bahwa, dalam konteks pornografi dan pornoaksi yang mengumbar aurat ini, yang dimaksud adalah aurat menurut syariat Islam. Jika memakai defenisi saja, penulis yakin tak akan ada perdebatan. Karena itu, jika RUU APP ini ditudahkan berbau Islam, penulis merasa justru tidak. Sebab kenyataannya, masih banyak yang ditolelir.


Namun dalam aturan Islam seperti ini, permasalahan pornografi dan pornoaksi hanya akan terlaksana dan mampu menyelesaikan permasalahan jika diterapkan dengan tiga pilar, yaitu individu yang bertakwa, masyarakat, dan negara. Negara sebagai lembaga penaung yang berhak menerapkan aturan, sedangkan individu dan masyarakat, sebagai pengontrol tegaknya aturan di tengah-tengah mereka. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist,”Siapa saja yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangan (kekuasaan)-nya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika tidak mampu, dengan kalbunya. Namun, itulah selemah-lemah iman". (HR Muslim).

Masalahnya, para pengambil kebijakan, kaum artis dan seniman, yang merasa paling getol menolak RUU APP ini mendengar suara hatinya. Yang di situ ada nasib anak-anak dan keluarganya, yang kelak akan menjadi incaran hewan menakutkan bernama 'pornografi'. Yang justru merisaukan, belum apa-apa, mereka justru menuduh RUU ini 'berbau Islam', dan menuduh pula kelak dikhawatirkan mematinya seni.

Yg jelas, ini adalah salah satu solusi. kalau ada yg lebih bagus dari ini (RUU APP) kenapa harus bayar lebih mahal?

 
At 4:11 AM, Anonymous Anonymous said...

buat sahabat yang anoymous,.
penjelasan menurut islam begitu adanya, dan dapat diterima oleh umatnya, tapi belum tentu diterima oleh pemeluk agama lain. di sinilah letak kebhinekaan, dan saya memandang sejarah berdirinya Indonesia (merdeka) di lakukan oleh para pejuang kita yang rela berkorban harta dan nyawa, ada Pahlawan Dipenogoro, Soekarno, Cut Nyak Din, Hasanudin ada juga I Gusti Ngurah Rai. Saya tidak akan menganggap agama saya yang paling bagus trus agama lain yang jelek, tetapi menghargai cara, jalan untuk menapsirka dan membaktikan diri terhadap tujuan agama masing2.
Apa yang menurut agama satu dilarang belum tentu agama lain melarang nah, perbedaan ini harus di jembatani dengan toleransi yang tinggi. kalau pemaksaan dijadikan sarana untuk menyeragamkan saya rasa itu kurang bijaksana.
saya contohkan Aceh dengan berbagai alasan (serambi mekah) di bolehkan menjalankan syariat islam, toh sahabat non muslim tidak ada yang berteiak menolak. kemerosotan akal akhlak, budi pekerti, tindakan moral yang menjadi embrio rUU APP ini, karena tidak adanya ketegasan dalam melaksanakan UU yang sudah ada, sebagai contoh, pasar glodok DVD VCD porno banyak di jual dengan harga 3000 perak, para pelakunya VCD BF orang asing, dan tempat lainnya, pertanyaan saya orang awam saja tahu ada penjualan alat dan gambar porno kok tidak ada yang menangkap??
menurut saya mau seribu buat UU APP, kalau pendukungnya lemah tidak akan ada manfaatnya. di sini saya dapat menarik kesimpulan RUU APP:
1. tidak perlu, karena sudah ada UU (KUHP) yang mengatur mengenai porno grafi dan porno aksi.
2. untuk stasiun TV sudah ada UU pers, yang diperlukan pengawasan yang ketat terhadap mutu program TV.
3. akan mubasir dan terjadi tumpang tindih aturan (UU),
4. membuang energi dan biaya yang mahal dalam RUU APP menjadi UU,

semoga sahabat dapat memahami arti dar tulisan pita di kaki burung garuda, lambang NKRI " BHINEKA TUNGGAL IKA " artinya berbeda - beda tetapi tetap satu jua.

 
At 9:49 PM, Anonymous Anonymous said...

IF YOU PERCEIVED SWASTIKA AS NAZI, LET IT BE !!!, WE ARE PURE BALINESE BLOOD, WE DUN WANT TO MIX WITH YOU PEOPLE, ESPECIALLY WITH YOUR RELIGION !!!

 
At 3:27 AM, Anonymous Anonymous said...

"Tegakkan undang-undang anti pornografi". "Siapa tuh yang ngomong? Orang munafik ya". Saya muslim tapi saya ga kaku kok. kita harus buka mata kita lebar lebar, hei MMI dan FPI yang punya negara ini memang nya kalian & apakah agama islam itu yang mendirikan kalian, bukan kan. Jadi mulailah melihat kedalam diri kalian masing masing, sebenarnya yang salah itu siapa sih. Kalo kamu tuh kaku bisa aja bilang bali itu musrik dan apalah istilahnya. tapi itu salah mereka sangatlah sopan dan ramah, selama keluarga muslim saya tinggal dibali belum pernah tuh yang namanya dikucilkan. Kalo mo diperlakukan uud anti pornografi mengapa ga langsung aja suruh ALLAH mengulang kembali bentuk(rebuild) tubuh manusia, kalo yang wanita ga usah diberikan payudara dan ga usah diisikan vagina. Kalian tahu mengapa tuhan membuat "itu", saya kira itu dibuat untuk kebaikan manusia itu, msl untuk reproduksi dll. Karang kalo mau ditutupi ato dikekang dan apalah namanya, itu khan sama saja menolak ato menjelek-jelekkan buatan ALLAH SHUBANA WATA ALLAH. Danjuga mohon saudara yang ada di belakang nama bersar MMI(Majelis Munafik Indonesia) FPI(Fraksi Pornografi Indonesia), kalian ga pernah berpikir tuh gimana perasaan kaum perempuan modern yang ga kuno di negara kita bila diberlakukan uu anti porno itu. saya sendiri sebagai perempuan sangat-sangat-sangat-sangat-amat-amat-disangat "KEBERATAN DENGAN DIUSULKANNYA UU APP APALAGI KALO MAU DIBERLAKUKANNYA UU APP, MENGAPA? cOBA PIKIR KALO ADA WANITA MEMAKAI ROK PENDEK DAN BAJU KETAT SEDANG JALAN DIMUKA MUSLIM YANG KAKU YANG YANG SANGAT BANGGA DENGAN DIRINYA YANG ""DIANGGAP TELAH MEMATUHI AJARAN ISLAM"" DAN TERNYATA IA TERANSANG. LALU SIAPA YANG PATUT DISALAHKAN APA SI WANITA, TENTU ITU SANGAT TIDAK ADIL, "MENGAPA BUKAN LELAKI YANG MEMILIKI PIKIRAN NGERES ITU AJA YANG DIPENJARA" SANG WANITA MUNGKIN TIDAK BERMAKSUD UNTUK MERANGSANG SANG LELAKI KARENA IA HANYA INGIN MENGIKUTI MODE TAPI LAKINYA AJA YANG KEDULUAN """""PIKTOR"""""" (PIKIRAN KOTOR) SAYA RASA YANG PRO DENGAN RUU APP ADALAH ""FERKUMPULAN PIKTOR INDONESIA""(FPI). Sebagai orang muslim saya tidak terlalu fanatik saya juga dalam hal membaca kitab suci. Saya pernah membaca kitab suci hindu yaitu WEDA karena saya hanya ingin menambah wawasan. Saya disana membaca saat sri kresna memberi wejangan dharma kepada para pandawa. kresna bercerita dimana ada seorang perempuan yang terluka dikakinya dan luka itu sangat mirip dengan vagina, semua laki-laki menjauhi perempuan itu, dan di satu sisi ada juga perempuan yang telanjang hingga dan vaginanya terlihat, seluruh laki-laki segera mendatangi wanita itu krn terangsang. Kresna berkata mengapa para lelaki tidak terangsang dengan luka wanita yang satu padahal luka itu sangat mirip bahkan sama bentuknya dengan vagina yang dimiliki oleh perempuan yang telanjang itu. Makna yng bisa saya petik adalah, semua nafsu timbul dari pikiran kita, jadi segala masalah itu hanya timbul dari diri manusia. Jadi MMI dan FPI kalau ada orang wanita yg telanjang jangan salahkan wanitanya donk, """MASUKLAH DALAM PIMIRAN ANDA SENDIRI DAN KENDALIKANNLAH ITU AGAR TIDAK TERTUMPAHKAN DAN TERJADI HAL YAG TIDAK DIINGINKAN JADI KALO ADA WANITA YAG KAMU """ANGGAP MERANGSANG""" JADI YG SALAH WANITANYA APA YNG MENGANGAP WANITA ITU TERANGSANG. SO PLESE THINKING THAT PROBLEM AGAIN. JANGAN KAMU BERBICARA BERDASARKAN PIKIRAN APA YANG ADA DALAM DIRIMU SENDIRI, TAPI SEKALI-KALI COBALAH MENJADI ORANG LAIN DAN RASAKAN APA YANG ORANG LAIN RASAKAN JIKA JIKA KAMU BERBICARA SEENAKNYA, MENGATASNAMAKN AGAMA LAGI '''''''''''''''''''' TERUS TERANG JIKA SEPERTI ITU MUSLIM DI INDONESIA SAYA JADI MALU MENJADI ORANG MMMMMMMUUUUUUUSSSSSSSLLLLLLLIIIIIIIMMMMM!!!!!

 
At 7:01 PM, Anonymous Anonymous said...

yang pernah saya baca di buku kalau Swastika itu memiliki makna sebagai lambang keberuntungan. Tetapi dalam prakteknya di lapangan, sering sekali lambang ini digunakan oleh orang-orang yang kurang tepat (seperti NAZI dengan memodifikasinya) dimana sebenarnya A. Hitler ingin memperoleh keberuntungan dari negara dan pasukannya dalam perang dunia II. Jadi anggapan bahwa swastika adalah lambang NAZI, yup saya bisa menerima hal tersebut. tetapi kalau swastika disebut sebagai lambang setan dan dikutuk, saya tidak sependapat. Karena seperti yang saya katakan di atas bahwa swastika adalah lambang yang baik hanya saja digunakan oleh orang yang kurang bertanggung jawab.

 
At 12:17 PM, Anonymous Anonymous said...

Banyak nya pro dan kontra UU pornografi ini menurut saya sangat menarik karena dari sini saja sudah terlihat bahwa setipa orang berbeda dan mempunyai pemikirannya sendiri-sendiri. RUU APP ini sebenarnya cukup bagus dalam pandangan saya, namun memang ada bebrapa hal yang seharusnya tidak perlu disinggung dalam RUU ini seperti
1. Larangan dalam berpakaian, menurut saya hal ini tidak berkaitan dengan pornoaksi (harus jelas) yang seharusnya dilarang adalah hiburan atau pertunjukkan tanpa menggunakan baju untuk umum atau tidak tanpa adanya ijin-ijin tertentu. yang saya maksud dengan ijin adalah untuk membedakan antara pertunjukan seni dan bukan. nantinya pemerintah bisa memberikan batasan ijin-ijin ini. Larangan di muka umum saya rasa tidak perlu karena meskipun di singapura anda banyak melihat perempuan dengan baju yang modis, tingkat kriminalitas nya kecil, kenapa? karena mereka rata-rat well educated, dan kita tidak. so solusinya bukan dengan melarang berpakaian tapi gimana caranya membuat masyarakat kita well educated seperti di singapura.
2. Larangan berciuman. Ketika orang berciuman mereka ingin mengekspresikan perasaan mereka dan kalau orang yang melihat terangsang, itu masalah orang tersebut. Saya sendiri di satu sisi melihat ciuman itu sebagai ssuatu yang indah (its love) dan itu bukan masalah karena itu sudah ada dari ketika pertama kali manusia ada.
3.Kebudayaan
Ketika sudah menyinggung maslah kebudayaan memang ada sesuatu yang rancu. Di satu sisi kebudayaan itu sebagai nilai dari suatu bangsa tapi kalau ditilik dari masalah RUU ini budaya dijadikan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai suatu agama. nah kita harus dewasa untuk menyikapi hal ini (atau setidaknya bersikaplah dewasa). Kebudayaan itu tidak bisa dibilang melanggar sebuah kode etik, kenapa? karena kebudayaan itu lahir dari manusia yang sama yang menciptakan kode etik tersebut. Jika ada satu kelompok manusia yang merasa bahwa satu kebudayaan bertentangan dengan kode etiknya maka itu sah-sah saja (perbedaan-semua orang berbeda tidak ada satu orang pun yang sama persis). Permsalahannya adalah ketika sekelompok orang tersebut telah berkompromi dengan kelompok orang yang lain untuk hidup bersama dalam satu wilayah dan bahkan satu pemerintahan, perbandingan itu selalu ada. Dan itu masih sah-sah saja. Namun ketika sudah menggangu dan mendiskreditkan suatu kebudayaan dengan arogansinya maka kelompok orang tesebut kalau saya boleh katakan adalah orang-orang yang tidak berpendidikan dan jelas sekali bahwa mereka sangat minim tentang pengetahuan agama dan sosial. Oleh karena itu saya harap orang-orang yang open minded supaya(tolong!) jelaskan sedikit kepada orang-orang tersebut.

Akhir kata saya menyatakan setuju RUU APP tapi yang jelas dan jangan terpovokrasi dengan pihak lain, dan jangan memasuki daerah private dari masing-masing individu (hanya Tuhan yang boleh, dan anda bukan Tuhan so jangan berlagak seperti Tuhan). Saya non-muslim, dan saya menggangap ajaran Islam sebagai ajaran yang baik (its true) tapi harus disadari juga banyak orang yang lahir dengan keyakinan yang berbeda dengan para saudara muslim, dan saya rasa setiap individu berhak mempertahankan keyakinannya dan manjalani keyakinannya seperti di UUD. oleh karena itu saya rasa masyarakat Indonesia yang beragam ini masih belum siap untuk mengikuti syariat Islam (aturan-aturan di Islam) ini. Oleh karena itu saya harap para pemimpin yang mengajukan RUU ini supaya bisa maklum dan mengerti bagaimana posisi kami. TERIMA KASIH

 
At 1:29 PM, Anonymous Anonymous said...

budaya arab tdk cocok dgn budaya indonesia(asia)makanya selalu ribut
harap dimaklumi,jangan memaksa kehendak.24706

 

Post a Comment

<< Home