Friday, March 03, 2006

The Hands That Rock The Republic

The Balinese people have raised the hands that will rock the republic into a haunting realization of finding this great nation being held hostage by a self-righteous element bent on jailing our mind.

Tangan-tangan masyarakat Bali akan mengguncang dan menyadarkan republik ini bahwa negara tercinta sedang disandera kelompok hipokrit yang ingin memenjarakan pikiran kita.

37 Comments:

At 8:57 AM, Anonymous Anonymous said...

Yang Kontradiktif dan yang Rancu
Oleh JAMAL D. RAHMAN
DPR RI kini sedang membahas Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU Pornografi). RUU tersebut terdiri dari 93 pasal. Dari 93 pasal, 30 pasal berisi larangan, 34 pasal berisi ketentuan sanksi terhadap pelanggaran atas larangan tersebut, dan 11 pasal tentang Badan Anti Pornografi dan Pornoaksi Nasional (BAPPN). Di samping itu ada pasal tentang ketentuan umum pornografi dan pornoaksi, peran serta masyarakat dalam mencegah pornografi dan pornoaksi, peran pemerintah, perizinan, dan penjelasan atas RUU tersebut.

RUU Pornografi itu ternyata mengandung banyak sekali persoalan, kontradiksi, dan kerancuan. Salah satu kelemahan RUU tersebut adalah kaburnya definisi pornografi, pornoaksi, dan erotika yang dimaksud oleh RUU itu sendiri. Pasal 1 ayat 1, umpamanya, menyebutkan, "Pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika." Pasal 1 ayat 2: "Pornoaksi adalah perbuatan mengekploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum.

Sampai di mana batas sesuatu dapat dikatakan "mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika?" Sejauhmana sebuah perbuatan dapat dikatakan "mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum"? Dan, sejauhmana sesuatu dapat dikatakan erotis atau tidak? RUU Pornografi mencoba memberikan definisi tentang itu, tapi bagaimanapun pada akhirnya semua itu akan sangat subjektif dan relatif.

RUU Pornografi pada akhirnya juga mengobjektivasi hal-hal yang sesungguhnya sangat subjektif. Pasal 25 misalnya, "Setiap orang dewasa dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual." Apakah, misalnya, berpakaian ketat yang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh dan pusar merupakan pornoaksi? Apakah hal itu merupakan tindakan mempertontonkan bagian tubuh yang sensual sebagaimana dimaksud oleh RUU Pornografi? Dan lagi, benarkah itu merupakan perbuatan mengeksploitasi seksual dan erotika? Kasus semacam ini akan sangat bergantung pada yang bersangkutan di satu pihak dan pada orang yang melihatnya di pihak lain.

Di samping itu, sebanyak 24 pasal (dari pasal 66 sampai pasal 88) RUU Pornografi mengandung pengertian atau maksud yang saya kira keliru. Beberapa pasal dari 24 pasal tersebut terdiri dari beberapa ayat, dan semuanya saya kira keliru. Pasal 66, misalnya, (susunan kata atau struktur kalimat saya kutip persis; kesalahan ketik ejaan saya perbaiki) berbunyi, "Setiap orang dilarang menyiarkan, memperdengarkan, mempertontonkan, atau menempelkan tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa melalui media massa cetak, media massa elektronik dan/atau alat komunikasi media sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah)". Melihat struktur kalimatnya, Pasal 66 tersebut bermakna, orang yang dilarang menyiarkan pornografi saja sudah bisa dipenjara meskipun tidak melakukannya! Wow seraamm!

Yang tak kalah serius dalam RUU Pornografi adalah kontradiksi-kontradiksi. Dalam pasal-pasal tentang larangan (Bab II) dikatakan, setiap orang dilarang membuat tulisan --antara lain berupa syair lagu dan puisi-- dan film serta lukisan yang mengeksploitasi bagian tubuh yang sensual dari orang dewasa. Tetapi dalam pasal pengecualian (Bab III) dikatakan bahwa pelarangan pornoaksi dikecualikan untuk kegiatan seni. Dirumuskan dalam bahasa lain: pornografi dalam puisi dilarang, kecuali puisi itu merupakan kegiatan seni; pornografi dalam film dilarang, kecuali film itu merupakan kegiatan seni; pornografi dalam lukisan dilarang, kecuali lukisan itu merupakan kegiatan seni. Bukankah puisi, film, dan lukisan --dalam batas berbeda-beda-- adalah seni?

Dalam hal pengecualian kesenian, RUU Pornografi hanya mengatur pornoaksi: pornoaksi sebagai kegiatan seni tidak dilarang, sepanjang dilakukan di tempat kesenian yang berizin (Pasal 36, ayat 1 dan Pasal 37). RUU Pornografi tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa pornografi dalam kesenian juga dikecualikan. Karena itu, dalam RUU ini pornografi dalam karya seni tetap dilarang. Yang dibolehkan adalah pornoaksi. Maka, jika sebuah puisi, novel, dan lukisan misalnya dipandang mengandung pornografi (dan bukan pornoaksi), ia tetap bisa dikenai pasal-pasal mengenai larangan membuat tulisan yang mengeksploitasi tubuh manusia yang sensual. Dan karena itu pembuatnya bisa dipidana hingga Rp 1 miliar.

Masih banyak kelemahan RUU Pornografi, tapi tak mungkin dikemukakan di sini seluruhnya. Belum lagi implikasi-implikasinya, yang di samping pada dunia kesenian, akan sangat serius juga pada media massa dan dunia usaha. Sebab, RUU Pornografi berisi banyak sekali larangan menyiarkan hal-hal sensual; juga berisi banyak sekali larangan mengedarkan hal-hal yang dipandang mengandung pornografi atau sensualitas. Implikasi-implikasi tersebut bermasalah terutama karena betapa relatifnya batasan pornografi, pornoaksi, erotika, dan sensualitas dalam RUU Pornografi itu sendiri.

Tetapi, dari sekian banyak hal yang tidak jelas dan tidak pasti dalam RUU itu, ada juga hal yang cukup pasti. Misalnya, setiap orang dewasa dilarang dengan sengaja telanjang di muka umum (Pasal 26); setiap orang dilarang melakukan masturbasi atau onani di muka umum (Pasal 29). Tapi siapa yang mau telanjang dan melakukan onani di muka umum? Kemudian ini: setiap orang dilarang menjadikan dirinya sebagai model aktivitas hubungan seksual antara orang dengan orang yang sudah meninggal, dan antara orang dengan hewan (Pasal 20).

Demikianlah, RUU Pornografi mengatur warga negara Indonesia hingga soal melakukan onani dan hubungan seks antara manusia dengan hewan.***

Penulis, pemimpin redaksi majalah sastra Horison, anggota Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta.

 
At 3:03 PM, Anonymous Anonymous said...

Saya PROTES berat! Dan akan mengerahkan massa untuk mengobrak abrik tempat mangkal orang2 jiwamerdeka....

Alasannya:... koq foto2nya gak di publish lebih banyak lagi sih?

:D

 
At 3:25 AM, Anonymous Anonymous said...

To assume that Indonesian people are easily morally corrupted by pornography is derogatory to our strong cultural integrity.
To assume that by mere exposure of human flesh Indonesian people will not be able to think for themselves, and therefore that the government needs to tell them what to think, is demeaning to human minds and endeavours.

 
At 4:24 PM, Anonymous Anonymous said...

Saya bukan orang Bali. UU ini merupakan awal dari sebuah skenario besar dari segelintir manusia yg standar moralnya ala Timur Tengah dan berkeinginan untuk di terapkan pada Republik yang majemuk.

BAPPN ( Badan Anti Pornografi dan Pornoaksi Nasional ) ? Who will enforce this ? Well those FPI guys comes mind...sigh.

I will be the first to apply my Bali citizenship if they passed the bill...hope not.

Rusdi

 
At 7:52 PM, Anonymous Anonymous said...

saya sebagai orang yg menyetujui RUU anti pornografi mau memberikan komentar..
overall, RUU tsb berniat baik..qta smua tau sudah sebejat apa moral orang indonesia saat ini yg salah satu sebabnya adalah bebasnya masyarakat qta dalam mengkonsumsi tayangan2 yg berbau pornografi.baik orang dewasa ataupun anak kecil..
tingginya tindakan pemerkosaan,pelecehan seksual,dan kelainan seksual lain disebabkan juga oleh kurangnya antisipasi pemerintah dalam peredaran material yg berbau pornografi.
dan pemerintah mencoba membendung hal ini dengan memberlakukan RUU anti pornografi..
HANYA SAJA..
tampaknya pemerintah kurang jeli dalam penyusunan UU-nya..
banyak pihak yg tidak dipikirkan dalam pembuatan UU tsb,sehingga pihak2 tsb merasa sangat dirugikan..
sehingga yg seharusnya dilakukan adalah menyusun ulang UUU tsb dengan menyertakan beberapa pihak lain dlm penyusunannya..
namun,sekali lg..pemerintah berniat baik dan tidak ingin memenjarakan kebebasan siapa pun..hanya mengaturnya agar negara qta tercinta ini dapat lebih maju dalam bidang moral dan akhlak..
mohon maaf bila saya ada salah kata..

 
At 8:55 PM, Anonymous Anonymous said...

saya bukan orang Bali juga
tapi saya merasa merupakan bagian dari warga indonesia
yang sangat majemuk
berbeda-beda
dan karena itu menjadi unik
seperti TUHAN menciptakan manusia tidak dalam keseragaman
tapi dalam ciri dan keunikannya masing-masing
agar menjadi indah
agar saling melengkapi
pornografi adalah hal yang sangat nisbi
bukan sesuatu yang eksak
maslahnya negara seakan ingin menjadi polisi moral
celakanya lagi, nilai-nilai yang dipakai untuk mengukur porno atau tidak
adalah BUKAN nilai-nilai bangsa kita
justru ciri bangsa akan terkikis
dengan nilai-nilai yang hanya menyenangkan golongan tertentu.
Urusan akhlak dan moral adalah urusan pribadi
urusan ulama dengan umatnya
jika selama ini mereka (golongan yang menginginkan golnya UU prnografi)
menilai telah terjadi kemerosotan ahlak umatnya
bukankah mereka sendiri yang bertanggungjawab?

 
At 9:27 PM, Anonymous Anonymous said...

Tolong saya tidak setuju bangsa indonesia dibilang bejat (komentar tutu. bukankah dia orang indonesia juga??????) Saa tetap tidak setuju diterapkannya UU APP karna nggak jelas. Nanti nggak boleh memberikan pendidikan seks pada anak usia dini. yang perlu diterapkan adalah meningkatkan pendidikan moral dan agama di Indonesia, adakan penyuluhan agama kedaerah-daerah bla...bla...bla....sehingga menjadikan generasi muda bermoral baik, otak jadi nggak ngeres bila lihat cewek seksi.

 
At 11:26 PM, Anonymous Anonymous said...

yang bejat itu yang ngeliat cewek pakai pakaian terbuka dikit, terrus pikirannya jadi porbno
jadi porno apa enggakn ya itu ada dalam pikiran, bukan dari pakaian
apakah berpakaian kemben itu seksi?
apakah berkain seperti wanita jawa yang ketat itu mesum?
apakah saudrara-saudara kita di Papua dengan koteka-nya itu lantas pikirannya jadi kotor semua?
tentu tidak!
Saudara/i Tutu gegabah sekali menyebut dirinya orang Indonesia
tapi tidak melihat dan berempati dengan keadaan sekelilingnya
mau ngeberesin otak-otak yang kotor ya dengan pendidikan
bukan dengan pengekangan
rakyat Afganisthan yang lebih homogen aja enggak tahan dipegang rejim Taliban
apalagi Indonesia yang heterogen
lebih baik urusin tuh koruptor-koruptor yang udah jelas-jelas mengangkang di depan mata
udah jelas-jelas bejad
daripada ngurusin cara berpakaian, berpikir atau bertindak orang yang enggak jelas juga urgensinya!

 
At 12:53 AM, Anonymous Anonymous said...

to mbak tutu, moral bangsa indonesia sedemikian bejat nya kah ? saya heran, mayoritas masyarakat kita ini orang beragama kok. lagian kalau urusan vcd porno, atau majalah2 itu kan udah ada KUHP dan KPI (komisi penyiaran) ada juga badan sensor dan ada juga ORTU (orang tua yg mengawasi anak nya) guru ? apa perlu sampe moral masyarakat dan negara ini di buatkan UU ? sedemikian parahkah ? yang perlu itu ya kinerja dari aparat2 di atas yang di optimalkan. terus apa dong kerja mereka ? dibubarkan saja ?

terimakasih

 
At 8:24 AM, Anonymous Anonymous said...

PRESS RELEASE
YOGYAKARTA UNTUK KEBERAGAMAN ( YUK )


RUU PRONOGRAFI SEBAGAI PEMISKINAN BAGI PEREMPUAN

Kemiskinan adalah kematian besar dalam pepatah Arab. Kematian yang bisa berarti denotatif (meninggal) ataupun kematian konotatif (jiwa dan semangat yang mati). Situasi inilah yang tengah mengancam perempuan dan anak saat ini. Sebabnya kontruksi sosial budaya yang menempatkan perempuan dan anak sebagai kelompok kelas dua membuat kemiskinan mereka menjadi sebuah keniscayaan. Saat BBM naik, perempuan harus bekerja keras untuk “menyesuaikan” anggaran rumah tangga dengan harga yang melambung. Jika perlu, nasi angking dikonsumsi meski tidak ada jaminan kesehatan. Saat ada konflik etnis, perempuan dan anak kerap tewas menjadi tumbal dan mereka yang hidup harus berjuang ditengah rasa tak aman yang tak kunjung terpenuhi. Termasuk adanya RUU Pornografi dan pornoaksi yang sekali lagi menempatkan perempuan sebagai pihak yang paling dirugikan.
RUU pornografi dan pornoaksi dibuat dengan semangat (katanya) untuk melindungi perempuan dari eksploitasi seksual. Namun mencermati rancangan yang telah dibuat, maka isinya semata mata menempatkan seksualitas perempuan sebagai yang bersalah. Yang mengancam norma-norma dimasyarakat. Maka hal ini mencerminkan “politik seksualitas negara”. Dalam RUU tersebut yang lebih banyak diatur adalah perempuan dibandingkan laki-laki. Inilah bentuk pemiskinan oleh negara dengan mendiskriminasikan seksualitas perempuan. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat Undang-Undang No 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW). Pasal 2 CEDAW telah secara jelas menyebutkan kewajiban pemerintah untuk menjamin terlaksananya upaya penghapusn diskriminasi terhadap perempuan melalui Undang-undang, baik ditingkat nasional maupun lokal. Namun alih-alih mengesahkan Undang-Undang yang berefek langsung seperti amandemen Undang Undang Kesehatan ataupun RUU kewarganegaraan. Pemerintah malah sibuk merespon RUU pornografi dan pornoaksi yang kontroversial dan terdapat berbagai kelemahan yang mendasar.
Untuk merespon hal ini,Yogyakarta Untuk Keberagaman, yang terdiri dari beberapa organisasi di Yogyakarta, pada peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2006, akan mengadakan aksi menolak RUU Pornografi dan Pornoaksi. Dengan Tema Global Perempuan dan Kemiskinan, akan digelar happening art ” Demi Menjaga Tradisi bukan untuk Pornoaksi”. Kegiatan tersebut terdiri dari pertunjukan tari tradisional, teater dan penggunaan baju-baju tradisional. Berbagai pertunjukan diselenggarakan berdasarkan pemikiran bahwa RUU Pornografi dan Pornoaksi mengkategorikan hal diatas sebagai pelanggaran. Sementara banyak sisi budaya masayakat Jawa yang harus dilestarikan tanpa bermaksud untuk bertindak pornoaksi. Inilah salah satu kelemahan mendasar dari RUU ini yang harus dikritisi. Kegiatan tersebut akan diselenggarakan di perempatan kantor pos besar pada tanggal 8 Maret 2005 jam 09.00 WIB.

Yogyakarta, 8 maret 2005


Kepada semua elemen masyarakat, kami atas nama elemen Masyarakat yang tergabung dalam Yogyakarta Untuk Keberagaman (YUK) mengundang teman-teman semua untuk dapat hadir dalam Aksi memperingati Hari Perempuan Internasional dengan mengusung tema ” Menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) ”. Aksi ini akan diselenggarakan pada :

Hari/tanggal : Rabu/8 Maret 2006
Waktu : 09.00 BBWI s/d selesai
Tempat : Kantor Pos Besar Yogyakarta
(depan Museum Serangan Umum 1 Maret Yogyakarta)

Atas Nama Yogyakarta Untuk Keberagaman (YUK), kami mengucapkan terima kasih atas partisipasinya.

 
At 6:00 PM, Anonymous Anonymous said...

To tutu
tolong anda minta maaf kepada seluruh komponen bangsa indonesia
terimakasih.

 
At 12:35 AM, Anonymous Anonymous said...

KALAU YE U KA (YUK) TERDIRI DARI KAUM MUSLIMAH (KECUALI MUSLIMAH LIBERAL), PASTI TIDAK AKAN MENOLAK RUU APP ITU KARENA PENOLAKAN ITU SAMA ARTINYA MEMAKSAKAN KEHENDAK DARI YANG MINORITAS KEPADA KEPENTINGAN WARGA NEGARA YANG MAYORITAS, ATAU SAMA ARTINYA MENOLAK AZAS DEMOKRASI, ATAU SAMA ARTINYA TIDAK MENGAKUI HAM WARGA NEGARA YANG MAYORITAS YANG MEMBUTUHKAN UU APP ITU !

KALAU BENAR APA YANG SAYA UNGKAPKAN DIATAS, HANYA SATU KATA YANG PANTAS DISANDANG OLEH WARGA YE U KA ADALAH KELOMPOK KAUM HIPOKRIT ALIAS MUNAFIK !

KALIAN TIDAK MENGERTI SEJARAH BANGSA INI ! SEGERA SYAHKAN RUU APP MENJADI UNDANG-UNDANG !

Ketika tanah Negeri ini masih dibawah cengkeraman tangan penjajah
Begitu banyak nenek moyang kami yang telah berjuang dengan gigih dan sebagian gugur untuk melepaskannya dari belenggu penjajahan (lebih banyak jumlahnya dari Bangsa kalian)

Ketika tanah Negeri ini telah bebas dari nista penjajah dengan mengumandangkan kata “MERDEKA”
Dengan lapang dada nenek moyang kami menerima tanah Negeri ini dijadikan sebuah Negara yang diberi nama Indonesia (bukan Negara Islam)

Ketiga Negara ini telah bulat berdaulat
Dengan besar hati nenek moyang kami menerima undang-undang dan hukum yang diberlakukan berasal dari warisan bekas bangsa para penjajah hanya dengan satu alasan, demi Bangsa kalian !

Ketika budaya kaum kapitalis merajalela merambah negeri ini
Nenek moyang kami masih bisa tersenyum walau sejuta kesedihan melanda kalbunya dengan berkata semoga semua membawa kemajuan untuk Bangsa ini

Ketika masalah HAM dan Demokrasi kalian kumandangkan dengan penuh semangat
Nenek moyang kami hanya dapat bergumam, demi Bangsa ini

Untuk apa semua yang telah mereka korbankan, karena kesadaran bahwa bangsa ini terdiri dari banyak suku dan Agama yang dianutnya.
Itulah Toleransi yang telah dibangun oleh nenek moyang kami orang-orang Islam, untuk kalian yang telah kami akui sebagai saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air ! Tidak akan ada yang sanggup mengukur besarnya pengorbanan nenek moyang kami untuk Bangsa ini ! Jangan kalian ingkari itu !

Kini di saat kami membutuhkan payung pelindung bagi anak-anak keturunan dan generasi penerus kami, kalian dengan begitu congkak menolaknya seakan hilang hati nurani yang bersemayan di dalam diri kalian - kalian katakan masalah yang paling urgen dan mendesak untuk ditindaklanjuti adalah masalah korupsi, padahal masalah itu adalah buah dari hukum dan aturan warisan penjajah yang kalian banggakan - bukan hukum dan aturan dari Agama kami - kalian telah lupa atas apa yang dikorbankan oleh nenek moyang kami !

Kini di saat kami ingin membangun kembali Bangsa ini yang sudah jatuh terpuruk tanpa moral yang dapat di banggakan, kalian dengan berbondong-bondong datang untuk menolaknya – kalian katakan bahwa bangsa kalian harus merdeka dari kaum hipokrit – begitukah ? dimana moral dan watak toleransi kalian ?

Kini disaat kami menuntut tegaknya Demokrasi yang kalian banggakan untuk diterapkan, kalian malah mengingkarinya hanya karena memikirkan isi perut kalian sendiri – bukankah justru kalian yang kini menjadi Bangsa yang HIPOKRIT ? Kini ketika kami menuntuk HAM milik kami, kalian katakan itu bertentangan dengan HAM – bagaimana cara berpikir kalian ?

Model bangsa apakah kalian ini ?
Masih pantaskah kalian disebut sebagai bangsa yang sangat toleran ?
Masih benarkah kalian disebut sebagai Bangsa yang berpegang teguh pada Budaya dan Aturan ?
Masih pantaskah kalian disebut sebagai bagian dari Bangsa ini ?
Masih pantaskah ?

 
At 12:36 AM, Anonymous Anonymous said...

KALAU YE U KA (YUK) TERDIRI DARI KAUM MUSLIMAH (KECUALI MUSLIMAH LIBERAL), PASTI TIDAK AKAN MENOLAK RUU APP ITU KARENA PENOLAKAN ITU SAMA ARTINYA MEMAKSAKAN KEHENDAK DARI YANG MINORITAS KEPADA KEPENTINGAN WARGA NEGARA YANG MAYORITAS, ATAU SAMA ARTINYA MENOLAK AZAS DEMOKRASI, ATAU SAMA ARTINYA TIDAK MENGAKUI HAM WARGA NEGARA YANG MAYORITAS YANG MEMBUTUHKAN UU APP ITU !

KALAU BENAR APA YANG SAYA UNGKAPKAN DIATAS, HANYA SATU KATA YANG PANTAS DISANDANG OLEH WARGA YE U KA ADALAH KELOMPOK KAUM HIPOKRIT ALIAS MUNAFIK !

KALIAN TIDAK MENGERTI SEJARAH BANGSA INI ! SEGERA SYAHKAN RUU APP MENJADI UNDANG-UNDANG !

Ketika tanah Negeri ini masih dibawah cengkeraman tangan penjajah
Begitu banyak nenek moyang kami yang telah berjuang dengan gigih dan sebagian gugur untuk melepaskannya dari belenggu penjajahan (lebih banyak jumlahnya dari Bangsa kalian)

Ketika tanah Negeri ini telah bebas dari nista penjajah dengan mengumandangkan kata “MERDEKA”
Dengan lapang dada nenek moyang kami menerima tanah Negeri ini dijadikan sebuah Negara yang diberi nama Indonesia (bukan Negara Islam)

Ketiga Negara ini telah bulat berdaulat
Dengan besar hati nenek moyang kami menerima undang-undang dan hukum yang diberlakukan berasal dari warisan bekas bangsa para penjajah hanya dengan satu alasan, demi Bangsa kalian !

Ketika budaya kaum kapitalis merajalela merambah negeri ini
Nenek moyang kami masih bisa tersenyum walau sejuta kesedihan melanda kalbunya dengan berkata semoga semua membawa kemajuan untuk Bangsa ini

Ketika masalah HAM dan Demokrasi kalian kumandangkan dengan penuh semangat
Nenek moyang kami hanya dapat bergumam, demi Bangsa ini

Untuk apa semua yang telah mereka korbankan, karena kesadaran bahwa bangsa ini terdiri dari banyak suku dan Agama yang dianutnya.
Itulah Toleransi yang telah dibangun oleh nenek moyang kami orang-orang Islam, untuk kalian yang telah kami akui sebagai saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air ! Tidak akan ada yang sanggup mengukur besarnya pengorbanan nenek moyang kami untuk Bangsa ini ! Jangan kalian ingkari itu !

Kini di saat kami membutuhkan payung pelindung bagi anak-anak keturunan dan generasi penerus kami, kalian dengan begitu congkak menolaknya seakan hilang hati nurani yang bersemayan di dalam diri kalian - kalian katakan masalah yang paling urgen dan mendesak untuk ditindaklanjuti adalah masalah korupsi, padahal masalah itu adalah buah dari hukum dan aturan warisan penjajah yang kalian banggakan - bukan hukum dan aturan dari Agama kami - kalian telah lupa atas apa yang dikorbankan oleh nenek moyang kami !

Kini di saat kami ingin membangun kembali Bangsa ini yang sudah jatuh terpuruk tanpa moral yang dapat di banggakan, kalian dengan berbondong-bondong datang untuk menolaknya – kalian katakan bahwa bangsa kalian harus merdeka dari kaum hipokrit – begitukah ? dimana moral dan watak toleransi kalian ?

Kini disaat kami menuntut tegaknya Demokrasi yang kalian banggakan untuk diterapkan, kalian malah mengingkarinya hanya karena memikirkan isi perut kalian sendiri – bukankah justru kalian yang kini menjadi Bangsa yang HIPOKRIT ? Kini ketika kami menuntuk HAM milik kami, kalian katakan itu bertentangan dengan HAM – bagaimana cara berpikir kalian ?

Model bangsa apakah kalian ini ?
Masih pantaskah kalian disebut sebagai bangsa yang sangat toleran ?
Masih benarkah kalian disebut sebagai Bangsa yang berpegang teguh pada Budaya dan Aturan ?
Masih pantaskah kalian disebut sebagai bagian dari Bangsa ini ?
Masih pantaskah ?

 
At 8:13 AM, Anonymous Anonymous said...

jadi dengan sendirinya anda menganggap bahwa penolakan RUU itu salah? dan anda yang memandang diri anda seperti itu adalah benar? benar2 kolot..

asal anda tahu .. pornoaksi dan pornografi hanya ada di pikiran individu saja. sekarang apakah anda berpikiran terbuka?

 
At 11:38 PM, Anonymous Anonymous said...

yang menolak RUU ini berarti menikmati hasil-hasil cabul. kembalilah ke agama kita masing-masing niscaya semua akan lebih baik. nah yang anti agama pasti bilang ah munafik loh, sok suci loh dll. nah orang-orang macam ini musuh seluruh agama karena menghina agama.

bagi yang hindu saya tanya, apa dalam agama anda boleh berzina?boleh? buat yang buddha, apa dalam agama anda wanita-wanita diajarkan jualan tubuh? buat yang kristen, apa dalam agama anda boleh menyebarkan budaya zina?. tanya pada diri sendiri.

 
At 5:06 AM, Anonymous Anonymous said...

perbedaan ini semoga menjadi rahmat bukan menjadi laknat.untuk bisa menyelesaikan memang harus dengann KOMUNIKASI (Hubermas).tapi komunikasi bisa terjalin apabila kita berangkat dari pengakuan terhadap realita. realita bahawa pornografi dan pornoaksi telah menjadi fenomena di Indonesia. tanpa ada kesepahaman bahwa bangsa kita sedang mengalami fenomena tersebut, maka mustahil ada komunikasi yang baik diantara pihak pro dan kontra.
Seni adalah hasil dari realita2 yang ada dalam kehidupan nyata, kemudian oleh seniman di tambahai dengan alut, tema, setting, dll maka jadilah sebuah karya seni. jadi tidak bisa dikatakan ada intervensi dari pihak luar terhadap seni. krn seni tdk ada dengan sendirinya. seni adalah konstruksi dari si seniman yang berasal dari relitas kmdn di imajinasikan oleh seniman.....

 
At 12:13 PM, Anonymous Anonymous said...

DPR + Pemerintahan SBY sepertinya kurang kerjaan saja.

Amanat yang menjadi prioritas tidak di jalankannya.

Capek gua sama pemerintah yang gituan.

 
At 9:20 PM, Anonymous Anonymous said...

Yuliarsa said...

To assume that Indonesian people are easily morally corrupted by pornography is derogatory to our strong cultural integrity.
To assume that by mere exposure of human flesh Indonesian people will not be able to think for themselves, and therefore that the government needs to tell them what to think, is demeaning to human minds and endeavours.

I couldn't agree more with you... absolutely... also, i will be also be applying for my Balinese citizenship if this law passes.

 
At 2:42 AM, Anonymous Anonymous said...

Tidak ada agama yang mengajarkan untuk berbuat jahat. Cuman, ada agama yang lebih agresif dari yang lainnya.. (saya Kristen), Kristen dan Islam lebih agresif (kalo tuh dua agama dipertemukan, jadilah Perang Salib), sisanya rata-rata pasif. Kalo yang pasif menjadi radikal, hasilnya menjadi lebih pasif, kalo yang agresif menjadi radikal, akan menjadi lebih agresif. Itulah kenapa radikalisme agama tidak cocok untuk dipraktekkan di muka bumi ini.

Untuk uuk/um, masa menjadi wanita yang bangga atas keindahan tubuhnya itu zinah? Wanita memang diciptakan oleh Tuhan demikian. Seperti yang gua bilang di blog-blog yang laen, kalo ngak bisa tahan liat cewe seksi, jangan salahin cewenya, salahin elu sendiri karena lunya berpikiran kotor... dan elu juga jangan munafik, kaya elunya ngak pernah berpikiran kotor aja, kalo lu liat cewe seksi, terus lu terangsang, normal lah, namanya juga cowo... lu juga pasti pernah masturbasi kan? masturbasinya mikirin apa? cewe kan? apa cowo? misalnya lu lagi masturbasi terus lu mikirin artis cewe yang seksi, lu nyalahin artis itu karena elunya masturbasi gara-gara mikirin dia? tidak masuk akal...

 
At 3:09 AM, Anonymous Anonymous said...

from Dewi
kl menurutku sih RUU pornografi g terlalu penting if moral bangsa Indonesia tdk sebejat sekarang. Kl y Muslim meluk agama dgn tat mereka g akan mau berporno ria or y noni hormatin g telanjang kl keluar rumah mk RUU ini g perlu lg. Maslahnya sekarang tuh pikiran orang2 Indonesia cm seks, musik or y hura2 aja g perduli ama lingkungan sekitar. Mereka lbh suka membebek pd Barat yg terbukti bejat moralnya n banyak yg hidup ala hewan berpakaian tp telanjang.

 
At 11:59 PM, Anonymous Anonymous said...

Waduh, mbak Dewi...

Gak ngerti nih, yang dimaksud dengan "membebek pd Barat yg terbukti bejat moralnya n banyak yg hidup ala hewan berpakaian tp telanjang" maksudnya apa ya?
Kalo bicara masalah moral, seakan-akan pikiran kita selalu pada "ketelanjangan". Yang dianggap bermoral adalah mereka yang "pake baju".

Saya mengenal beberapa orang "barat" maupun "asia" yang tidak beragama, tapi "bermoral".

Memang seharusnya, kita, yang mengklaim diri "beragama" menunjukkan bahwa kita "lebih baik" dan "membawa kedamaian" untuk yang lain.

Yang perlu untuk kita sekarang, saya rasa adalah pendidikan "etika", bukan larangan2 yang gak jelas.

BTW, aku setuju banget dengan mbak, tuk "Tolak RUUAPP"!!!

Peace...

 
At 2:43 AM, Anonymous Anonymous said...

i like sex in bali.

http://www.baliguide.com/kutasex/balisex4.html

 
At 3:18 AM, Anonymous Anonymous said...

http://www.amfar.org/cgi-bin/iowa/asia/news/index.html?record=75

TREAT Asia Site Profile: Udayana University and Sanglah Hospital, Bali, Indonesia
October 2005

Bali has been called the jewel of the East, but beneath the surface of the island’s lush beauty lies an ever growing threat from AIDS. Drug use has fueled the spread of HIV across the Indonesian archipelago, which encompasses 6,000 inhabited islands scattered across 5,000 kilometers of sea. Bali alone has an estimated 3,000 people living with HIV/AIDS.

Official figures show Indonesia’s adult prevalence rate at a relatively low 0.1 percent, but many believe that the true figure is much higher. The country is home to 3.6 million drug users nationwide (1.5 percent of the total population), 31 percent of whom are classified as addicts. Indonesian IV drug users tend to be much younger than their Western counterparts, often starting drugs as young as 11 or 12. According to public health experts, the overwhelming concentration of HIV among young people and the sharp increases in HIV among injection drug users and sex workers suggest the potential for a dramatic rise in infections in the general population.





Dr. Tuti Parwati Merati, chair of the AIDS working group at Bali's Sanglah Hospital.

At the center of Bali’s fight against AIDS stands Sanglah Hospital and the School of Medicine at Udayana University, which established an AIDS program in 1991. It serves as a TREAT Asia site in Indonesia and it also fully participates in and contributes to the TREAT Asia Observational Database (TAHOD). The site provides testing as well as treatment and conducts research in areas such as attitudes and behaviors of high-risk groups.

According to Indonesia’s National Narcotic Agency, 53 percent of HIV-positive Balinese contracted the virus through IV drug use, and infection rates due to drug use follow close behind in other major provinces. (Only in Papua is the epidemic primarily driven by commercial sex.) Dr. Tuti Parwati Merati, head of tropical and infectious diseases at Udayana University and chair of Sanglah Hospital’s AIDS working group, notes that Bali’s HIV/AIDS statistics reflect in part what she calls the “higher mobility” of the Balinese—in many other parts of Indonesia the virus has spread more slowly because population movement and tourism are limited.

HIV was first diagnosed in Indonesia in 1987 by Dr. Tuti, and her commitment to fighting the disease remains steadfast. Because a Dutch tourist was the first case diagnosed, Indonesians initially shrugged off AIDS as a Western disease. And because the virus spread slowly compared with some neighboring nations—in part because of the isolation of many Indonesian islands—public health officials failed to grasp the seriousness of the unfolding epidemic for some time.

For many years very few HIV testing centers existed in Bali, and when Sanglah Hospital’s AIDS clinic first opened in 1991 its staff treated only one or two patients each month. A few years ago, however, the government launched a program at Sanglah offering free counseling and testing, free treatment for some opportunistic infections, and free antiretroviral drugs. The result has been a sharp rise in the number of cases seen at the hospital. From 1991 until 2003, around 200 people were treated at Sanglah, but from July 2004 to October 2005, 613 were tested and 136 were found to be HIV positive.

Before the introduction of free antiretrovirals, noted Dr. Tuti, survival rates for people with AIDS at Sanglah were low. “Medical students in their three-month rounds in our department were not able to meet with the same patients because the patients would have already died,” she recalled. Today, drugs are much more widely available in Indonesia, largely supplied by the government, although the Global Fund also provides some medications. The central government has also begun a program to train health-care workers to treat HIV/AIDS, Dr. Tuti said, with the goal of equipping 25 hospitals across the country with HIV expertise.

From the earliest years of the HIV/AIDS epidemic in Indonesia, stigma and discrimination have been widespread. At times, hospitals and health-care workers refused to provide care to HIV-positive patients, postponed treatment, charged additional fees for using health facilities, and revealed blood test results without permission, Dr. Tuti has reported. Perhaps most painfully, people have been shunned by their families and neighbors. Research performed at Sanglah Hospital shows that little has changed.

Recent behavioral surveillance data for Indonesia also indicate that condom use has not increased, the incidence of sexually transmitted diseases has not dropped, and the number of men buying commercial sex has increased. With public health education lagging and the virus spreading in certain communities, the challenge facing institutions such as Sanglah Hospital is significant. “It’s only a matter of time,” said Dr. Tuti, before Bali and Indonesia confront a full-scale HIV/AIDS crisis.

 
At 9:16 AM, Anonymous Anonymous said...

Buat kawan -kawan IKIP Singaraja tumben keluar kandang berani demo.... tapi sayangnya anda demo mengesampingkan intelektual anda....... dengan atas nama keutuhan NKRI , Nasionalisme dll menolak RUU APP yang ga relevan dengan alasan anda... kemarin pas ambalat diserang, ladang minyak kita di cepu dan arun, trus emas di freeport dan newmont yang diambil pihak asing "KENAPA ANDA GA PROTES ATAS NAMA NASIONALISME" satu lagi saya kurang sependapat anda menolak RUU APP alsannya karena melanggar HAM, apakah anda menggelar demo dengan pakaian seperti itu merupakan tiindakan rasis dan pelanggaran HAM.... kalo anda memang seorang mahasiswa lakukan penyampaian aksi secara proporsional dan bermartabat jangn murahan kaya gitu... HIDUP MAHASISWA

 
At 9:18 AM, Anonymous Anonymous said...

DUKUNG RUU APP

 
At 9:22 AM, Anonymous Anonymous said...

INI LEGAL OPINION JAWABAN DARI TULISAN WAKIL KITA DI DPD BAPAK SUDIRTA



LEGAL OPINION URGENSI RUU ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI (RUU APP)
>
> Tim Pengajar FHUI-Depok
> Fatmawati, SH. MH.
> Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.
> Yetty Komalasari Dewi, SH. M.Li.
>
>
> Dalam ilmu hukum dipelajari tentang kaedah hukum (dalam arti luas).
> Kaedah hukum (dalam arti luas) lazimnya diartikan sebagai peraturan,
> baik tertulis maupun lisan, yang mengatur bagaimana seyogyanya kita
> (suatu masyarakat) berbuat atau tidak berbuat. Kaedah hukum (dalam arti
> luas) meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit atau
> nilai (norma), dan peraturan hukum kongkrit.
>
> Asas-asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak,
> merupakan latar belakang peraturan hukum konkrit yang terdapat di dalam
> dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan
> perundang-undangan dan putusan hakim. Sementara itu, kaedah hukum dalam
> arti sempit atau nilai (norma) merupakan perumusan suatu pandangan
> obyektif mengenai penilaian atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau
> tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dijalankan
> (merupakan nilai yang bersifat lebih kongkrit dari asas hukum).
>
> Berkaitan dengan RUU Pornografi dan Pornoaksi, berdasarkan argumentasi
> yuridis (perspektif ilmu hukum), maka RUU ini memiliki dasar pembenar
> sebagai berikut:
>
>
> Berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis, maka RUU ini
> nantinya akan berlaku sebagai hukum khusus, yang akan mengesampingkan
> hukum umum (dalam hal ini adalah KUHP) jika terdapat pertentangan
> diantara keduanya. Hal ini sudah banyak terjadi dalam UU di R.I.,
> sebagai contoh adalah UU Kesehatan sebagai lex specialis (hukum yang
> khusus) dengan KUHP sebagai lex generalis (hukum yang umum). Dalam Pasal
> 15 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan diatur perihal
> diperbolehkannya aborsi atas indikasi medis, yaitu dalam keadaan darurat
> yang membahayakan jiwa ibu hamil dan atau janinnya. Berbeda dengan UU
> Kesehatan, KUHP sama sekali tidak memperkenankan tindakan aborsi, apapun
> bentuk dan alasannya. Artinya dalam hal ini, jika terjadi suatu kasus
> aborsi atas indikasi medis (seperti diatas), berdasarkan asas Lex
> Specialis derogate Legi Generalis, maka yang berlaku adalah UU Kesehatan
> dan bukan KUHP;
> Berdasarkan asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori, maka RUU ini
> nantinya akan menjadi hukum yang disahkan belakangan, yang akan
> menghilangkan hukum yang berlaku terlebih dahulu (KUHP) jika terjadi
> pertentangan diantara keduanya.
> Sedangkan berdasarkan argumentasi logis, maka RUU ini dapat
> dibenarkan dengan alasan sebagai berikut:
>
>
> Pornografi dan Pornoaksi yang marak belakangan ini tidak saja membawa
> korban (victim) orang dewasa tetapi juga anak-anak. Dalam kaitan ini, UU
> Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 tidak menyinggung sedikit-pun
> tentang masalah pornografi anak (child-pornography). Namun mengatur
> (senada dengan Convention on the rights of the Child 1989) bahwa anak
> wajib dilindungi dari 'bahan-bahan dan material' yang illicit dan
> membahayakan perkembangan jiwa dan masa depannya. Pornografi adalah
> satu bentuk illicit materials yang dapat membahayakan perkembangan jiwa
> anak. Oleh karena itu, diperlukan suatu dasar hukum untuk melindungi
> anak-anak dari masalah pornografi.
> UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tidak memiliki klausul yang cukup
> melindungi pers dan khalayak dari penyalahgunaan pornografi.
> UU tentang Penyiaran No. 32 tahun 2002 juga tidak banyak mengatur dan
> melindungi khalayak penyiar dan pemirsa dari penyalahgunaan pornografi
> dan pornoaksi.
> Secara fitrah manusia memang memiliki kebutuhan seksual dan tidak ada
> seorangpun yang berhak mengambil hak dasar ini. Namun demikian,
> bagaimana menggunakan kebutuhan seksual ini agar tidak memberikan
> dampak yang negative terhadap masyarakat luas, tentu saja perlu diatur.
> Sebagai perbandingan, USA yang memiliki nilai-nilai budaya yang
> cenderung lebih 'permissive' dibandingkan Indonesia, misalnya, memiliki
> Child Obscenity and Pornography Prevention Act of 2002. Di Inggris
> ada Obscene Publications Act 1959, dan Obscene Publications Act 1964
> yang masih berlaku sampai sekarang, yang mengatur dan membatasi
> substansi atau gagasan dalam media yang mengarah kepada pornografi.
> Di dalam sistem hukum Civil Law (European Continental), UU berperan
> dalam pembentukan hukum. Salah satu tujuan pembentukan hukum (UU) adalah
> untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara anggota masyarakat
> (pemutus perselisihan). Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa
> seiring dengan kemajuan zaman, kehidupan masyarakat-pun mengalami
> perubahan. Oleh karenanya, hukum-pun harus mengikuti
> perubahan/perkembangan masyarakat agar hukum mampu menjalankan fungsinya
> tersebut. Artinya, jika hukum tidak diubah sesuai dengan perkembangan
> masyarakat-nya, maka hukum menjadi mati dan tidak mampu mengatasi
> masalah sosial yang terjadi/muncul dalam suatu masyarakat. Masalah
> pornografi dan pornoaksi mungkin dulu belum dianggap atau dinilai
> penting, namun demikian beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan
> semakin berkembangnya teknologi informatika, masalah tersebut telah
> memberikan dampak social yang sangat signifikan terhadap kehidupan
> masyarakat Indonesia. Dalam kaitannya dengan RUU ini, walaupun menurut
> sebagian orang masalah pornografi dan pornoaksi dapat diselesaikan oleh
> KUHP khususnya pasal 281 dan 282, namun apabila dicermati sebenarnya
> pasal-pasal tersebut pun masih memiliki beberapa kelemahan, yaitu
> tentang kriteria kesusilaan dan tentang ancaman hukuman. Kedua-nya
> dapat dijelaskan sebagai berikut:
>
>
> Kriteria Kesusilaan. KUHP tidak memberikan definisi atau batasan
> yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan 'kesusilaan'. Tentu saja hal
> ini menyebabkan terjadinya 'multitafsir'terhadap pengertian kesusilaan,
> dengan kata lain, kapan seseorang disebut telah bertingkah laku susila
> atau asusila (melanggar susila). Terjadinya penafsiran yang berbeda
> terhadap suatu ketentuan dalam UU seharusnya tidak boleh terjadi karena
> ini menyebabkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, jika RUU
> Pornografi dan Pornoaksi justru memberikan pengertian dan batasan yang
> lebih jelas atau detail, seharusnya secara logis hal ini dapat
> dibenarkan. Logikanya, suatu peraturan yang lebih jelas atau detail
> justru akan menghindari terjadinya ketidakpastian hukum dan menghindari
> implementasi yang sewenang-wenang dari aparat penegak hukum
> (non-arbitrary implementation). Dan jika kepastian hukum justru dapat
> tercapai dengan adanya RUU ini, maka seharusnya kita mendukungnya.
>
>
>
> Ancaman Hukuman. Ancaman hukuman yang terdapat pada pasal 281 dan
> 282 KUHP sangat ringan. Kedua pasal tersebut yang dianggap oleh sebagian
> orang sudah cukup untuk mengatasi atau mengantisipasi masalah pornografi
> dan pornoaksi, hanya memberikan maksimal hukuman penjara 2 tahun 8 bulan
> dan maksimal denda Rp. 75.000 (lihat pasal 282 ayat 3). Jika tujuan
> dijatuhkan-nya hukuman adalah untuk mencegah orang untuk melakukan
> perbuatan tersebut, jelas hukuman maksimal penjara dan denda seperti
> diatas (2 tahun 8 bulan dan 75.000), tidak akan memberikan dampak apapun
> pada pelakunya. Ancaman hukuman tersebut tidak memiliki nilai yang
> signifikan sama sekali untuk ukuran sekarang.
>
> Berdasarkan paparan di atas, sebenarnya RUU APP ini memiliki cukup
> legitimasi baik dari sisi yuridis maupun sosiologis. Hanya saja,
> disarankan untuk lebih memperbanyak atau memperkuat argumentasi yuridis
> bahwa RUU ini memang dibutuhkan walaupun telah diatur secara tersebar
> dalam berbagai peraturan perundang-undangan (argumentasi kelebihan RUU
> ini dibandingkan pengaturan yang telah ada). Sebagai contoh, UU
> Kesehatan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Disamping itu ada juga
> UU KDRT, yang sebenarnya secara substansi telah diatur dalam KUHP,
> tetapi toh dapat diberlakukan UU KDRT karena memiliki argumentasi logis
> yang merubah kekerasan dalam rumah tangga dari delik aduan (dalam KUHP)
> menjadi delik biasa (dapat dilaporkan oleh siapa saja yang melihat atau
> mengetahui peristiwa tersebut).
>
> Kemudian, harus diakui bahwa ada beberapa rumusan yang belum 'pas
> betul' dengan tujuan pembentukan RUU ini, yaitu antara lain rumusan/
> definisi tentang 'pornoaksi'. Karena dalam pelbagai literature agak
> sulit secara legal formal untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan
> 'pornoaksi'. Sedangkan, definisi 'pornografi' sudah lumayan ter-cover
> dalam RUU APP, di -mix dengan definisi pada UU sejenis di negara lain
> dan encyclopedia. Maka, suatu studi yang lebih kritis tentang
> 'pornoaksi' amat perlu dilakukan.
>
> Untuk keberlakuan RUU APP ini, dapat mengikuti metode pemberlakuan UU
> Lalu Lintas (penggunaan seat-belt), dimana diberikan cukup waktu untuk
> sosialisasi RUU ini, atau masa transisi, dan setelah sekian tahun (misal
> 2 atau 3 tahun), baru-lah RUU ini diberlakukan secara penuh.
>
>
> Wilayah Perdebatan dan Kontroversi
> Selama ini wilayah perdebatan dan kontroversi yang paling banyak
> diungkap oleh para pengkritisi RUU APP ini adalah :
> * Apakah pornografi dan pornoaksi adalah issue public atau
> issue privat yang berarti termasuk ranah publik-kah atau ranah privat?
> * Apakah pornografi dan pornoaksi ada dalam wilayah persepsi
> yang berarti masuk dalam ranah moral dan agama (yang berarti pelanggaran
> terhadapnya hanya dapat dikenakan sanksi moral atau sanksi agama)
> ataukah masuk dalam ranah hukum public dan kenegaraan yang berarti dapat
> dikenakan sanksi hukum yang mengikat dan memaksa (sanksi pidana).
> * Apakah pelarangan terhadap pornografi dan pornoaksi adalah
> suatu bentuk pelanggaran HAM terhadap kebebasan berekspresi dan
> kebebasan pers ataukah justru perlindungan terhadap pers yang sehat dan
> edukatif dan perlindungan terhadap anak dan khalayak penikmat pers dan
> media.
> * Apakah pelarangan terhadap pornografi atau pornoaksi adalah
> suara dari mayoritas masyarakat ataukah semata-mata 'pemaksaan' issue
> dari 'kelompok-kelompok tertentu' saja atau bahkan sebagai 'pintu masuk
> pemberlakuan syari'at Islam di Indonesia'?
> * Apakah pornografi memang harus diatur dengan Undang-Undang,
> atau cukup diserahkan pada UU yang ada saja (jawabannya ada di atas).
> * Apakah pelarangan pornografi dan pornoaksi tidak akan
> menimbulkan viktimisasi terhadap perempuan ataukah malah menimbulkan
> viktimisasi perempuan?
>
> Menurut hemat kami, keberatan-keberatan tersebut harus disikapi
> dengan proporsional. Ada memang ranah yang harus diseimbangkan,
> bahwasanya pelanggaran pornografi misalnya tidak boleh sekali-sekali
> melanggar hak anak dan perempuan. Bahwasanya pornografi disini aktornya
> adalah laki-laki dan perempuan, tidak hanya perempuan, sehingga
> kekhwatiran terhadap viktimisasi terhadap perempuan mestinya tak usah
> terjadi. Bahwasanya pornografi memang harus diatur dengan UU karena
> ketidakdigdayaan UU yang ada. Juga, karena di negara-negara barat saja
> pornografi memiliki pengaturan tersendiri. Dan, bahwasanya RUU APP ini
> bukan agenda sektarian kelompok-kelompok tertentu saja (apalagi sebagai
> pintu masuk Syari'at Islam seperti selama ini dikhawatirkan khalayak
> penolak dan pengamat asing), melainkan lahir dari suatu kebutuhan untuk
> menciptakan media yang sehat dan edukatif disamping sebagai legislasi
> yang menjamin perlindungan terhadap masyarakat, utamanya anak-anak dan
> kaum perempuan dari penyalahgunaan pornografi dan pornoaksi.
>
> Yang terakhir, suatu RUU semestinya harus mencerminkan keadilan dan
> kepastian hukum (justice and certainty of law), maka suatu studi
> mendalam diiringi proses penyusunan yang aspiratif (akomodatif terhadap
> suara-suara dan kebutuhan dalam masyarakat maupun pemerintah) sudah
> semestinya dilakukan.
> Wallahua'lam
>
>
> Depok, 8 Maret 2006
>
> Disclaimer : Legal opinion ini adalah pendapat para pengajar tersebut
> di atas dan tidak mewakili institusi

 
At 6:06 PM, Anonymous Anonymous said...

Wah ada mata kuliah hukum nih.....
Tinjauanya sangat menggumkan.....

Mas/mbak.....tinjauan kebudayaan mana....tau ngak kalu hukum kita itu warisan jaman Ratu Wilhelmina di Amsterdam sono. Jadi kalau ada kelemahan....ya itu pasti, soalnya udah ngak cocok dengan budaya kita sepatutnya di revisi. Terus yang membutuhkan pruduk UPP itu siapa....ibarat orang lapar dikasi beras....kasi nasi dong!!!!!
Yang di butuhkan sekarang adalah UU tentang perburuhan, UU tentang korupsi, UU tentang peredaran barang-barang ilegal, UU hak cipta, UU terorisme, UU jaminan tentang pendirian tempat ibadah, Masalah kependdukan, pengangguran, dll......
Jadi masalah UPP itu bagus tapi kurang tepat, soalnya msyarakat kita degradisinya bukan di kebudayaan melainkan moral dari pemimpinnya. Pembahasan UPP itu akan menambah masalah diatas masalah.
Bay the way thank's postingnya.

 
At 1:07 AM, Anonymous Anonymous said...

BALI & NUSA TENGGARA


Penderita AIDS Bali Mencapai 496 Orang

Denpasar, 5 Agustus 2004 10:00
Penderita virus Human Immunodeficiany Virus/Acquired Immnune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Bali, secara komulatif sejak tahun 1987 hingga sekarang mencapai 496 orang.

Hal itu berarti dalam kurun waktu enam bulan terjadi penambahan 44 orang penderita HIV/AIDS baru, demikian data yang dihimpun Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali, Kamis.

Pada awal Januari penderita HIV/AIDS di Bali tercatat 425 orang, pada akhir Juni 2004 tercatat 496 orang --bertambah 44 orang-- tersebar di delapan kabupaten dan satu kota di Pulau Dewata. Penderita hilangnya kekebalan daya tubuh itu paling banyak terdapat di wilayah kota Denpasar yakni mencapai 261 orang, menyusul Kabupaten Badung 159 orang, Buleleng 40 orang dan Tabanan sepuluh orang.

Sedangkan lima kabupaten lainnya dengan penderita di bawah sepuluh orang Kabupaten Gianyar tujuh orang, Jembrana enam orang, Karangasem tiga orang serta Kabupaten Klungkung dan Bangli masing-masing satu orang.

Wakil Gubernur Bali, IGN Kesuma Kelakan yang juga Ketua KPAD Bali menilai, penularan virus HIV/AIDS tersebut cukup mengkhawatirkan, sehingga perlu upaya dari berbagai pihak untuk melakukan tindakan pencegahan, penyuluhan dan pembinaan agar masyarakat terhindar dari tertularnya virus yang berbahaya itu.

KPAD Bali dengan dukungan masyarakat dan semua pihak melakukan berbagai upaya, agar kehilangan kekebalan daya tubuh itu tidak menyebar semakin meluas, katanya.

Sementara itu, dr Nyoman Mangku Karmaya, pengurus KPAD Bali menambahkan, penyebaran HIV/AIDS sangat cepat, dahsyat dan bersifat meledak. Secara global perkiraan terjangkit HIV/AIDS kini mencapai 42 juta orang.

Infeksi baru setiap tahunnya mencapai lima juta orang dan kematian mencapai 3,1 juta jiwa atau hampir sama dengan jumlah penduduk Bali, ujar Karmaya seraya menambahkan penderita tersebut sebagian besar berdomisili di negara-negara berkembang.

Penderita terbanyak adalah di Afrika 29,4 juta, menyusul Asia Selatan dan Tenggara 6 juta. Sementara di Indonesia yang rawan tertular HIV/AIDS diperkirakan 13-20 juta orang.

Oleh sebab itu, HIV/AIDS merupakan musuh biologis manusia sepanjang abad, karena dapat mengancam kemusnahan umat manusia, ujar Karmaya seraya mengharapkan, semua pihak lebih hati-hati dan waspada terhadap penyebaran yang sangat cepat tersebut.

Selain itu, menghindari perilaku seks berisiko dan penggunaan narkoba dengan jarum suntik, tutur Mangku Karmaya. [Tma, Ant]

 
At 1:38 AM, Anonymous Anonymous said...

Maksudnya apa ??......itu bisa terjadi dimana saja bung. Lalu apa hubungannya posting anda dengan UPP ???
Pah mare bangun nee....kepupungan asane !!!!!!!

 
At 3:43 PM, Anonymous Anonymous said...

Penderita busung lapar satupun tidak ada di bali........karna di bali banjir dolar.........Sadarlah bung.....!!!!!!!!

 
At 4:14 PM, Anonymous Anonymous said...

sebagai manusia yang ber akal!dan pastinya tak meletakkan akal atau otak kita di bokong! tentunya kita bisa semerta-merta mengedepankan emosi dalam pnyikapan masalah yang sangat komplek, dibilang komplek memang bangsa Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa, adat, agama, idiologi, dan lain sebagainya. disisi lain peredaran sesuatu yang berbau porno sudah sangat meresahkan, dilain pihak keanekaragaman bangsa mengharuskan kita bersikap hati-hatiu dan pandai. kawan-kawan semua yang peduli pada nasib bangsa mari kita sumbang saran, ide-ide cerdas dan lain-lain ga cuman ngomong doannk dan jadi generasi goblok! menurut hemat saya hal yang perlu diperhatikan adalah knapa lembaga legislatif dan eksekutif tidak lebih memperketat peraturan tentang media-media yang memang disinyalir membau pornoaksi dan pornografi? sperti TV aj, man kontrolnya? ya katakanlah siaran tentang gosip..........

 
At 4:14 PM, Anonymous Anonymous said...

sebagai manusia yang ber akal!dan pastinya tak meletakkan akal atau otak kita di bokong! tentunya kita bisa semerta-merta mengedepankan emosi dalam pnyikapan masalah yang sangat komplek, dibilang komplek memang bangsa Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa, adat, agama, idiologi, dan lain sebagainya. disisi lain peredaran sesuatu yang berbau porno sudah sangat meresahkan, dilain pihak keanekaragaman bangsa mengharuskan kita bersikap hati-hatiu dan pandai. kawan-kawan semua yang peduli pada nasib bangsa mari kita sumbang saran, ide-ide cerdas dan lain-lain ga cuman ngomong doannk dan jadi generasi goblok! menurut hemat saya hal yang perlu diperhatikan adalah knapa lembaga legislatif dan eksekutif tidak lebih memperketat peraturan tentang media-media yang memang disinyalir membau pornoaksi dan pornografi? sperti TV aj, man kontrolnya? ya katakanlah siaran tentang gosip..........

 
At 8:49 PM, Anonymous Anonymous said...

Tolak RUU APP, jangan beri ruang gerak sedikitpun. RUU APP adalah kata lain dari penerapan syariat islam di Indonesian detelah legislatif gagal memasukkan Piagam Jakarta kedalam UUD'45. Kalau tetap memaksakan RUU APP sebaiknya Bali memekikkan "Merdeka"

 
At 9:53 PM, Anonymous Anonymous said...

saya bukan orang bali, namun saya sangat menolak diadakannya rencana pengesahan RUU APP. RUU ini sama sekali tidak relevan dengan keadaan Indonesia masa kini. HAnya menambah pergunjingan yang tak penting dan peraturan-peraturan yang tidak jelas di Indonesia. Pengembangan budaya malu sebagai salah satu alasan disahkannya RUU ini hanyalah semata-mata pembenaran dari orang-orang yang tak tahu apa maksud tujuannya.
Saya merasa bahwa RUU ini sangat TIDAK BERGUNA.
Saya tidak setuju dengan RUU APP ini.

 
At 10:02 PM, Anonymous Anonymous said...

saya pun menolak RUU APP karena, masalah di Indonesia sudah banyak, jangan menambah hal-hal yang tidak penting untuk dipermasalahkan. Lebih baik selesaikan dahulu masalah masalah Indonesia lain satu per satu. contohnya:
- KEMISKINAN di Indonesia
- KORUPSI
- RENCANA BERHUTANG KE BANK DUNIA
- SAMPAH
- FREEPORT

masalah-masalah ini belum terselesaikan, maka jangan menambah dengan hal lain.
Jangan sok suci.
KArena sudah menjadi rahasia umum bahwa rakyat Indonesia itu MUNAFIK (termasuk saya) jdi tak usah sok-sokan menyetujui RUU APP toh sebenarnya kaum adam pun sangat senang melihat kaum hawa.
TAk usah sok-sok suci berdedikasi dan berdemo demi kemajuan akhlak bangsa.
MAka dari itu saya menegaskan sekali lagi bahwa saya MENOLAK RUU APP

 
At 10:10 PM, Anonymous Anonymous said...

RUU APP benar-benar LUCU

saya tidak akan pernah setuju

 
At 3:40 AM, Anonymous Anonymous said...

dasar manusia munafik, RUU APP diributkan, sendirinya berpoligami dan beristri banyak, dasar porno sialan.
tolak RUU APP !!. kalau saya suka wanita memang kenapa? saya pria normal, normal ko dilarang, memangnya ente penyuka sesama jenis ya. dasar homo munafik, penampilan sok suci tapi otak ngeres. jijik gw lihatnya. Tolak terus RUU APP!!!

 

Post a Comment

<< Home