Thursday, March 02, 2006

DEFIANCE!!!! PERLAWANAN!!!!

Would you call this pornography?
Apakah anda akan menyebut ini Pornografi?

Today, March 3, we shows our defiance to the anti pornography bill by staging a vivacious cultural rally at Puputan Margarana Square in Renon.

Hari ini, 3 Maret, kami tunjukkan perlawanan kami terhadap RUU APP dengan menyelenggarakan aksi budaya yang riuh rendah di Lapangan Puputan Margarana, Renon.

Various traditional performing arts, including the Joged Bumbung dancer pictured on the photo, demonstrated one single important fact:...

Sejumlah pertunjukan kesenian tradisional, termasuk penari Joged Bumbung di foto sebelah, telah mendemonstrasikan satu fakta penting:...

...that sensuality and sexuality have always been an integral element of our cultural heritage.
...bahwa sensualitas dan seksualitas telah selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan budaya kami.

...that sensuality and sexuality have never been viewed through a banal and superficial perspective.
...bahwa sensualitas dan seksualitas tidak pernah dipandang melalui pola pikir yang dangkal dan rendah.

...that the Balinese has always respected sensuality and sexuality, both in arts and religious teachings, as a sacred metaphor of the Divine's power of creation and sustenance of the universe.
...bahwa orang Bali selalu menghormati sensualitas dan seksualitas, baik di dalam kesenian maupun ajaran relijius, sebagai metafora sakral dari kekuatan Tuhan dalam penciptaan dan pemeliharaan semesta.

...that Goddes Durgha is always portrayed with full, bare breasts to underline her unlimited compassion in "breast-feeding", in nurturing the whole universe.
...bahwa Dewi Durgha selalu digambarkan dengan payudara yang penuh dan telanjang untuk menekankan rasa welas asih Sang Dewi yang tak terbatas dalam "menyusui", memelihara seluruh semesta.

Look at the dancer's bare, wrinkled breasts...
Pandanglah payudara sang penari yang telanjang, yang keriput....

...and remember, the love she has given through the breasts, the hardships she has endured, to give life to her children and grandchildren.
...dan ingatlah, cinta yang telah diberikannya melalui payudara itu, keseusahan hidup yang telah ditanggungnya, untuk memberi hidup pada anak dan cucunya.

We will fight the bill, any bill, that degrade our cultural heritage and does not have any respect to our mothers and sisters.
Kami akan lawan setiap undang-undang yang merendahkan budaya kami serta yang tidak memiliki rasa hormat kepada para ibu dan saudari perempuan kami.

Marlowe and Jun

12 Comments:

At 6:19 AM, Anonymous Anonymous said...

Beautiful picture!!

 
At 6:28 AM, Anonymous Anonymous said...

Sorry jika saya meng-copy paste komentar romo saya ini... Patut dibaca...

"Sekitar RUU Antipornografi"

Oleh: Franz Magnis-Suseno


BANYAK pengamat menolak sebuah RUU antipornografi. Dengan argumen-argumen yang cukup kuat. Akan tetapi, di sini diandaikan bahwa dalam masyarakat seperti Indonesia UU tersebut masih diperlukan.
Namun, RUU yang sekarang sedang dibahas menurut saya tidak memenuhi syarat minimum kompetensi yang harus dituntut. Pertama, RUU ini tidak membedakan antara porno dan indecent (tak sopan) dan bahkan
mencampuraduk dua-duanya dengan erotis. Porno adalah segala apa yang merendahkan manusia menjadi objek nafsu seksual saja. Tetapi dalam sebuah UU pengertian filosofis ini harus diterjemahkan ke dalam definisi yang operasional yang dapat dipertanggungjawabkan.
Paham indecent malah tidak muncul di RUU ini. Istilah yang dipakai, "bagian tubuh tertentu yang sen-sual", menunjukkan inkompetensi para konseptor RUU ini. Yang dimaksud (penjelasan pasal 4) adalah "antara lain alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya."
Dan itu semuanya porno? Astaga!
Bedanya porno dan indecent adalah bahwa porno di mana pun tidak diperbolehkan, sedangkan indecent tergantung situasi. Alat-alat kelamin primer memang di masyarakat mana pun ditutup. Tetapi bagian tengah tubuh perempuan di India misalnya tidak ditutup. Tak ada pornonya sedikit pun (dan perut bagian tengah terbuka pada anak perempuan sekarang barangkali tak sopan tetapi jelas bukan porno). Lalu, "bagian payudara perempuan" mulai di mana?
Paha di kolam renang tidak jadi masalah, tetapi orang dengan pakaian renang masuk di jalan biasa bahkan didenda di St Tropez. Yang harus dilarang adalah yang
porno, sedangkan tentang indecency tak perlu ada undang-undang, tetapi tentu boleh ada peraturan-peraturan (misalnya di sekolah, dan bisa berbeda di Kuta dan di Padang).

Sedangkan "erotis" bukan porno sama sekali. Erotis itu istilah bahasa kesadaran. Apakah sesuatu itu erotis 'lies in the eyes of the beholder (tergantung yang memandang)! Bagi orang yang sudah biasa, perempuan dalam pakaian renang di sekitar kolam renang tidak erotis dan tidak lebih merangsang daripada perempuan berpakaian penuh di lain tempat. Tetapi perempuan elegan, berpakaian gaun panjang, kalau naik tangga lalu mengangkat rok sehingga 10 cm terbawah betisnya jadi kelihatan, bisa amat erotis.
Tarian erotis mau dilarang? Tetapi apakah ada tarian yang tidak erotis? Seni tari justru salah satu cara (hampir) semua budaya di dunia mengangkat kenyataan
bahwa manusia adalah seksual secara erotis dan sekaligus sopan. Jadi erotis juga tidak berarti tak
sopan. Hal erotis seharusnya sama sekali tidak menjadi objek sebuah undang-undang. RUU seharusnya tidak
bicara tentang "gerak erotis", "goyang erotis".
Yang harus dilarang adalah tarian porno. Karena itu porno harus didefinisikan secara jelas, tidak dengan mengacu pada "sensual" atau "merangsang" atau "mengeksploitasi".

Saya mengusulkan bahwa definisi porno menyangkut (1) alat kelamin, payudara perempuan (itu pun ada
kekecualian, jadi tidak mutlak; apalagi tak perlu embel-embel "bagian"), dan, kalau mau, pantat; dan (2) melakukan hubungan seks untuk ditonton orang lain.

Kedua, dan itu serius: Moralitas pribadi bukan urusan negara. Menurut agama saya memang semua pencarian nikmat seksual di luar perkawinan sah adalah dosa.
Jadi kalau saya sendirian melihat-lihat gambar porno, itu dosa. Tetapi apakah negara berhak melarangnya?
Bidang negara adalah apa yang terjadi di depan umum. Kalau orang dewasa mau berdosa di kamar sendiri, itu bukan urusan negara. Begitu pula, apabila saya beli
barang porno untuk saya sendiri, itu tanda buruk bagi moralitas saya, tetapi bukan urusan negara (tetapi tawaran barang porno tentu boleh dilarang).

Yang perlu dikriminalkan adalah segala urusan seksual dengan orang di bawah umur. Menjual, memiliki,
mendownload gambar, apalagi terlibat dalam aktivitas, yang menyangkut ketelanjangan, atau hubungan seks, dengan anak harus dilarang dan dihukum keras.

Semoga catatan sederhana ini membantu membuat undang-undang yang memenuhi syarat dan, lantas, juga bermanfaat.*

 
At 10:15 AM, Anonymous Anonymous said...

saudara2ku se Bali dan setanah air,

photo indah itu, sangat tidak pantas dipertunjukan oleh beliau2 perancang RUU APP, karena pasti akan menyinggung peranakan meraka yg sudah pada korsleting itu :) ... nanti malah bukan melihat dari sisi ke ibuan dan keindahan, malah horny.
Saya setuju dan mendukung penuh gerakan saudara2ku sekalian,
dari orang2 yg mengadopsi kebudayaan bangsa lain mentah2 dgn menghancurkan kebudayaan kita sendiri. Mari kita selamatkan Republik kita yang tercinta ini dari mahluk2 yg katanya bermoral dan ber agama ini!

Agung P

 
At 11:30 PM, Anonymous Anonymous said...

Masalahnya, Bapak-bapak yang duduk di DPR ini sudah terpenuhi kebutuhannya akan keindahan ini, bukannya istrinya banyak?
Makanya nggak butuh lagi, dan dasar serakah mereka nggak rela kalo yang lain menikmati keindahan yang nggak bisa mereka raih.
Heran, masih ada yang berani membuat pernyataan bahwa tindakan mereka untuk perlindungan perempuan. Sementara mereka bolak-balik kawin atas dasar 'diijinkan agama'. Agama yang mana???
Sementara para ibu-ibu di DPR, paling mereka hanya mencoba melindungi diri sendiri, supaya para bapak nggak tertarik pada keindahan lain yang berkeliaran di sekelilingnya.
Apa jadinya negri ini kalo pemimpinnya cuma mementingkan kepentingan diri dan golongannya saja.
Sudahlah, bercermin sebelum menghakimi yang lain, apakah tindakan kita selama ini sudah yang sebenar-benarnya. Bukankah hanya Tuhan yang tau sebenar-benarnya tindakan kita?

 
At 1:10 AM, Anonymous Anonymous said...

Komentar saya untuk Pak Romo Franz Magnis-Suseno, seharusnya Romo memberi masukan dong buat meluruskan istilah-istilah yang mudah dimengerti masyarakat tapi tetap menyadari bahwa UU APP itu dibutuhkan oleh mayoritas Warga Negara ini, tolong sadari itu !

Negara memang tidak berhak melarang Romo melihat gambar-gambar porno ataupun berbuat mesum dirumahnya sendiri karena itu menyangkut masalah moralitas pribadi, tapi Negara berhak untuk melarang orang membuat dan mengedarkan gambar porno bukan ? supaya warga negaranya bermoral baik !

Kami menilai UU APP sebagai HAM warga Muslim tolong diakui itu dan pengesyahan RUU menjadi UU tentunya harus dilaksanakan secara demokratis, bukankah DEMOKRATIS itu azas yang sangat dibanggakan bangsa ini ? ya, kita tunggu saja nggak usah pake unjuk rasa penolakan segala - jangan berpikir seolah-olah Negeri ini hanya milik warga Non Muslim saja - Ingat sejarah berdirinya bangsa ini !

Kami mengingatkan !

Ketika tanah Negeri ini masih dibawah cengkeraman tangan penjajah
Begitu banyak nenek moyang kami yang telah berjuang dengan gigih dan sebagian gugur untuk melepaskannya dari belenggu penjajahan (lebih banyak jumlahnya dari Bangsa kalian)

Ketika tanah Negeri ini telah bebas dari nista kaum penjajah dengan mengumandangkan kata “MERDEKA”
Dengan lapang dada nenek moyang kami menerima tanah Negeri ini dijadikan sebuah Negara yang diberi nama Indonesia (bukan Negara Islam)

Ketika Negara ini telah bulat berdaulat
Dengan besar hati nenek moyang kami menerima undang-undang dan hukum yang diberlakukan berasal dari warisan bangsa bekas penjajah hanya dengan satu alasan, demi Bangsa kalian !

Ketika budaya kaum kapitalis dari negeri penjajah merajalela merambah negeri ini seperti orang rakus yang kelaparan
Nenek moyang kami masih bisa tersenyum walau sejuta kesedihan melanda kalbunya dengan ikhlas mereka berkata semoga semua membawa kemajuan untuk Bangsa ini

Ketika masalah HAM dan Demokrasi kalian kumandangkan dengan penuh semangat yang berapi-api
Nenek moyang kami hanya dapat bergumam, demi Bangsa ini

Untuk apa semua yang telah mereka korbankan ?, karena kesadaran bahwa bangsa ini terdiri dari banyak suku dan Agama yang dianutnya.
Itulah TOLERANSI yang telah dibangun oleh nenek moyang kami orang-orang ISLAM, untuk kalian yang telah kami akui sebagai saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air ! Tidak akan ada yang sanggup mengukur besarnya pengorbanan nenek moyang kami untuk Bangsa ini ! Jangan kalian ingkari itu !

Kini di saat kami membutuhkan payung pelindung bagi anak-anak keturunan dan generasi penerus kami, kalian dengan begitu congkak menolaknya seakan hilang hati nurani yang bersemayan di dalam diri kalian - kalian katakan masalah yang paling urgen dan mendesak untuk ditindaklanjuti adalah masalah korupsi, padahal masalah itu adalah buah dari hukum dan aturan warisan penjajah yang kalian banggakan - bukan hukum dan aturan dari Agama kami - kalian telah lupa atas apa yang dikorbankan oleh nenek moyang kami !

Kini di saat kami ingin membangun kembali Bangsa ini yang sudah jatuh terpuruk tanpa moral yang dapat di banggakan, kalian dengan berbondong-bondong datang untuk menolaknya – kalian katakan bahwa bangsa kalian harus merdeka dari kaum hipokrit – begitukah ? dimana moral dan watak toleransi kalian ?

Kini disaat kami menuntut tegaknya Demokrasi yang kalian banggakan untuk diterapkan, kalian malah mengingkarinya hanya karena memikirkan isi perut kalian sendiri – bukankah justru kalian yang kini menjadi Bangsa yang HIPOKRIT ?

Kini ketika kami menuntuk HAM YANG MENJADI milik kami, kalian katakan itu bertentangan dengan HAM – bagaimana cara berpikir kalian ?

Model bangsa apakah kalian ini ?
Masih pantaskah kalian disebut sebagai bangsa yang sangat toleran ?
Masih benarkah kalian disebut sebagai Bangsa yang berpegang teguh pada Budaya dan Aturan ?
Masih pantaskah kalian disebut sebagai bagian dari Bangsa ini ?
Masih pantaskah ?

 
At 1:16 AM, Anonymous Anonymous said...

Komentar saya untuk Pak Romo Franz Magnis-Suseno, seharusnya Romo memberi masukan dong buat meluruskan istilah-istilah yang mudah dimengerti masyarakat tapi tetap menyadari bahwa UU APP itu dibutuhkan oleh mayoritas Warga Negara ini, tolong sadari itu !

Negara memang tidak berhak melarang Romo melihat gambar-gambar porno ataupun berbuat mesum dirumahnya sendiri karena itu menyangkut masalah moralitas pribadi, tapi Negara berhak untuk melarang orang membuat dan mengedarkan gambar porno bukan ? supaya warga negaranya bermoral baik !

Kami menilai UU APP sebagai HAM warga Muslim tolong diakui itu dan pengesyahan RUU menjadi UU tentunya harus dilaksanakan secara demokratis, bukankah DEMOKRATIS itu azas yang sangat dibanggakan bangsa ini ? ya, kita tunggu saja nggak usah pake unjuk rasa penolakan segala - jangan berpikir seolah-olah Negeri ini hanya milik warga Non Muslim saja - Ingat sejarah berdirinya bangsa ini !

Kami mengingatkan !

Ketika tanah Negeri ini masih dibawah cengkeraman tangan penjajah
Begitu banyak nenek moyang kami yang telah berjuang dengan gigih dan sebagian gugur untuk melepaskannya dari belenggu penjajahan (lebih banyak jumlahnya dari Bangsa kalian)

Ketika tanah Negeri ini telah bebas dari nista kaum penjajah dengan mengumandangkan kata “MERDEKA”
Dengan lapang dada nenek moyang kami menerima tanah Negeri ini dijadikan sebuah Negara yang diberi nama Indonesia (bukan Negara Islam)

Ketika Negara ini telah bulat berdaulat
Dengan besar hati nenek moyang kami menerima undang-undang dan hukum yang diberlakukan berasal dari warisan bangsa bekas penjajah hanya dengan satu alasan, demi Bangsa kalian !

Ketika budaya kaum kapitalis dari negeri penjajah merajalela merambah negeri ini seperti orang rakus yang kelaparan
Nenek moyang kami masih bisa tersenyum walau sejuta kesedihan melanda kalbunya dengan ikhlas mereka berkata semoga semua membawa kemajuan untuk Bangsa ini

Ketika masalah HAM dan Demokrasi kalian kumandangkan dengan penuh semangat yang berapi-api
Nenek moyang kami hanya dapat bergumam, demi Bangsa ini

Untuk apa semua yang telah mereka korbankan ?, karena kesadaran bahwa bangsa ini terdiri dari banyak suku dan Agama yang dianutnya.
Itulah TOLERANSI yang telah dibangun oleh nenek moyang kami orang-orang ISLAM, untuk kalian yang telah kami akui sebagai saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air ! Tidak akan ada yang sanggup mengukur besarnya pengorbanan nenek moyang kami untuk B

 
At 10:10 PM, Anonymous Anonymous said...

nenek moyang mu wes matek, ndul

 
At 8:45 AM, Anonymous Anonymous said...

nenek moyang endi maneh tho, cak ???? Ngerti arti ne demokratis nggak sih??? pantes negara kita tercinta ini susah diajak maju, wong masih banyak yg kapasitas berpikirnya seperti beliau ini :(

 
At 5:57 AM, Blogger aglisius said...

Hizbut taihir atau apalah itu namanya,MMI dll,mereka notabene pendatang2 keturunan arab yang nggak ngerti sejarah Indonesia,nggak ngerti UUD45,Pancasila DLSB.sekarang mereka seenaknya MENGINJAK2 negeri ini???..ohh GOD

 
At 9:08 PM, Anonymous Anonymous said...

Wah, kalo nenek moyang "orang-orang islam" berarti bukan Indonesia dong...
Karna nenek moyang orang Indonesia bukan Islam.

 
At 3:27 PM, Anonymous Anonymous said...

Legal Opinion: Urgensi RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi

Tim Pengajar FHUI -Depok
Fatmawati, SH. MH.
Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.
Yetty Komalasari Dewi, SH. M.Li.

Dalam ilmu hukum dipelajari tentang kaedah hukum (dalam arti luas). Kaedah hukum (dalam arti luas) lazimnya diartikan sebagai peraturan, baik tertulis maupun lisan, yang mengatur bagaimana seyogyanya kita (suatu masyarakat) berbuat atau tidak berbuat. Kaedah hukum (dalam arti luas) meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norma), dan peraturan hukum kongkrit.

Asas-asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, merupakan latar belakang peraturan hukum konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Sementara itu, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norma)
merupakan perumusan suatu pandangan obyektif mengenai penilaian atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dijalankan (merupakan nilai yang bersifat lebih kongkrit dari asas hukum).

Berkaitan dengan RUU Pornografi dan Pornoaksi, berdasarkan argumentasi yuridis (perspektif ilmu hukum), maka RUU ini memiliki dasar pembenar sebagai berikut:

1. Berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Legi

Generalis, maka RUU ini nantinya akan berlaku sebagai hukum khusus, yang akan mengesampingkan hukum umum (dalam hal ini adalah KUHP) jika terdapat pertentangan diantara keduanya. Hal ini sudah banyak terjadi dalam UU di R.I., sebagai contoh adalah UU Kesehatan sebagai lex specialis (hukum yang khusus) dengan KUHP sebagai lex generalis (hukum yang umum). Dalam Pasal 15 ayat
(1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan diatur perihal diperbolehkannya aborsi atas indikasi medis, yaitu dalam keadaan darurat yang membahayakan jiwa ibu hamil dan atau janinnya. Berbeda dengan UU Kesehatan, KUHP sama sekali tidak memperkenankan tindakan aborsi, apapun bentuk dan alasannya. Artinya dalam hal ini, jika terjadi suatu kasus aborsi atas indikasi medis
(seperti diatas), berdasarkan asas Lex Specialis derogate Legi Generalis, maka yang berlaku adalah UU Kesehatan dan bukan KUHP;

2. Berdasarkan asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori

Maka RUU ini nantinya akan menjadi hukum yang disahkan belakangan, yang akan menghilangkan hukum yang berlaku terlebih dahulu (KUHP) jika terjadi pertentangan diantara keduanya.

Sedangkan berdasarkan argumentasi logis, maka RUU ini dapat dibenarkan dengan alasan sebagai berikut:

* Pornografi dan Pornoaksi yang marak belakangan ini tidak saja membawa korban (victim) orang dewasa tetapi juga anak-anak. Dalam kaitan ini, UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 tidak menyinggung sedikit-pun tentang masalah pornografi anak (child-pornography). Namun mengatur (senada dengan Convention on the rights of the Child 1989) bahwa anak wajib dilindungi dari
‘bahan-bahan dan material’ yang illicit dan membahayakan perkembangan jiwa dan masa depannya. Pornografi adalah satu bentuk illicit materials yang
dapat membahayakan perkembangan jiwa anak. Oleh karena itu, diperlukan suatu dasar hukum untuk melindungi anak-anak dari masalah pornografi.
* UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tidak memiliki klausul yang cukup melindungi pers dan khalayak dari penyalahgunaan pornografi.
* UU tentang Penyiaran No. 32 tahun 2002 juga tidak banyak mengatur dan melindungi khalayak penyiar dan pemirsa dari penyalahgunaan pornografi dan pornoaksi.
* Secara fitrah manusia memang memiliki kebutuhan seksual dan tidak ada seorangpun yang berhak mengambil hak dasar ini. Namun demikian, bagaimana menggunakan kebutuhan seksual ini agar tidak memberikan dampak yang negative terhadap masyarakat luas, tentu saja perlu diatur. Sebagai perbandingan, USA yang memiliki nilai-nilai budaya yang cenderung lebih ‘permissive’ dibandingkan Indonesia, misalnya, memiliki Child Obscenity and Pornography Prevention Act of 2002. Di Inggris ada Obscene Publications Act 1959, dan Obscene Publications Act 1964 yang masih berlaku sampai sekarang, yang mengatur dan membatasi substansi atau gagasan dalam media yang mengarah kepada pornografi.

Di dalam sistem hukum Civil Law (European Continental), UU berperan dalam pembentukan hukum. Salah satu tujuan pembentukan hukum (UU) adalah untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi diantara anggota masyarakat (pemutus perselisihan). Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa seiring dengan kemajuan zaman, kehidupan masyarakat-pun mengalami perubahan. Oleh karenanya, hukum-pun harus mengikuti perubahan/perkembangan masyarakat agar hukum mampu menjalankan fungsinya tersebut.

Artinya, jika hukum tidak diubah sesuai dengan perkembangan masyarakat-nya, maka hukum menjadi mati dan tidak mampu mengatasi masalah sosial yang terjadi/muncul dalam suatu masyarakat. Masalah pornografi dan pornoaksi mungkin dulu belum dianggap atau dinilai penting, namun demikian beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan semakin berkembangnya teknologi informatika, masalah tersebut telah memberikan dampak social yang sangat signifikan terhadap kehidupan masyarakat Indonesia.

Dalam kaitannya dengan RUU ini, walaupun menurut sebagian orang masalah
pornografi dan pornoaksi dapat diselesaikan oleh KUHP khususnya pasal 281 dan 282, namun apabila dicermati sebenarnya pasal-pasal tersebut pun masih memiliki
beberapa kelemahan, yaitu tentang kriteria kesusilaan dan tentang ancaman hukuman. Kedua-nya dapat dijelaskan sebagai berikut:

* Kriteria Kesusilaan. KUHP tidak memberikan definisi atau batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan ‘kesusilaan’. Tentu saja hal ini menyebabkan terjadinya ‘multitafsir’ terhadap pengertian kesusilaan, dengan kata lain, kapan seseorang disebut telah bertingkah laku susila atau asusila (melanggar susila). Terjadinya penafsiran yang berbeda terhadap suatu ketentuan dalam UU seharusnya tidak boleh terjadi karena ini menyebabkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, jika RUU Pornografi dan Pornoaksi justru memberikan pengertian
dan batasan yang lebih jelas atau detail, seharusnya secara logis hal ini dapat dibenarkan. Logikanya, suatu peraturan yang lebih jelas atau detail justru akan menghindari terjadinya ketidakpastian hukum dan menghindari implementasi yang sewenang-wenang dari aparat penegak hukum (non-arbitrary implementation).
Dan jika kepastian hukum justru dapat tercapai dengan adanya RUU ini, maka seharusnya kita mendukungnya.
* Ancaman Hukuman. Ancaman hukuman yang terdapat pada pasal 281 dan 282 KUHP sangat ringan. Kedua pasal tersebut yang dianggap oleh sebagian orang sudah cukup untuk mengatasi atau mengantisipasi masalah pornografi dan pornoaksi, hanya memberikan maksimal hukuman penjara 2 tahun 8 bulan dan maksimal denda Rp. 75.000 (lihat pasal 282 ayat 3). Jika tujuan dijatuhkan-nya hukuman adalah untuk mencegah orang untuk melakukan perbuatan tersebut, jelas hukuman maksimal penjara dan denda seperti diatas (2 tahun 8 bulan dan 75.000), tidak akan memberikan dampak apapun pada pelakunya. Ancaman hukuman tersebut tidak memiliki nilai yang signifikan sama sekali untuk ukuran sekarang.

Berdasarkan paparan di atas, sebenarnya RUU APP ini memiliki cukup legitimasi baik dari sisi yuridis maupun sosiologis. Hanya saja, disarankan untuk lebih memperbanyak atau memperkuat argumentasi yuridis bahwa RUU ini memang dibutuhkan walaupun telah diatur secara tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan (argumentasi kelebihan RUU ini dibandingkan pengaturan
yang telah ada). Sebagai contoh, UU Kesehatan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Disamping itu ada juga UU KDRT, yang sebenarnya secara substansi telah diatur dalam KUHP, tetapi toh dapat diberlakukan UU KDRT karena memiliki argumentasi logis yang merubah kekerasan dalam rumah tangga dari delik aduan (dalam KUHP) menjadi delik biasa (dapat dilaporkan oleh siapa saja yang melihat atau mengetahui peristiwa tersebut).

Kemudian, harus diakui bahwa ada beberapa rumusan yang belum ‘pas betul’ dengan tujuan pembentukan RUU ini, yaitu antara lain rumusan/ definisi tentang
‘pornoaksi’. Karena dalam pelbagai literature agak sulit secara legal formal untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘pornoaksi’. Sedangkan, definisi ‘pornografi’ sudah lumayan ter-cover dalam RUU APP, di –mix dengan definisi pada UU sejenis di negara lain dan encyclopedia. Maka, suatu studi yang lebih kritis tentang ‘pornoaksi’ amat perlu dilakukan.

Untuk keberlakuan RUU APP ini, dapat mengikuti metode pemberlakuan UU Lalu Lintas (penggunaan seat-belt), dimana diberikan cukup waktu untuk sosialisasi RUU
ini, atau masa transisi, dan setelah sekian tahun (misal 2 atau 3 tahun), baru-lah RUU ini diberlakukan secara penuh.

Wilayah Perdebatan dan Kontroversi

Selama ini wilayah perdebatan dan kontroversi yang paling banyak diungkap oleh para pengkritisi RUU APP ini adalah :

* Apakah pornografi dan pornoaksi adalah issue public atau issue privat yang berarti termasuk ranah publik-kah atau ranah privat?
* Apakah pornografi dan pornoaksi ada dalam wilayah persepsi yang berarti masuk dalam ranah moral dan agama (yang berarti pelanggaran terhadapnya hanya dapat dikenakan sanksi moral atau sanksi agama) ataukah masuk dalam ranah hukum public dan kenegaraan yang berarti dapat dikenakan sanksi hukum yang mengikat dan memaksa (sanksi pidana).
* Apakah pelarangan terhadap pornografi dan pornoaksi adalah suatu bentuk pelanggaran HAM terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan pers ataukah
justru perlindungan terhadap pers yang sehat dan edukatif dan perlindungan terhadap anak dan khalayak penikmat pers dan media.
* Apakah pelarangan terhadap pornografi atau pornoaksi adalah suara dari mayoritas masyarakat ataukah semata-mata ‘pemaksaan’ issue dari ‘kelompok-kelompok tertentu’ saja atau bahkan sebagai ‘pintu masuk pemberlakuan syari’at Islam di Indonesia’?
* Apakah pornografi memang harus diatur dengan Undang-Undang, atau cukup diserahkan pada UU yang ada saja (jawabannya ada di atas).
* Apakah pelarangan pornografi dan pornoaksi tidak akan menimbulkan viktimisasi terhadap perempuan ataukah malah menimbulkan viktimisasi perempuan?

Menurut hemat kami, keberatan-keberatan tersebut harus disikapi dengan proporsional. Ada memang ranah yang harus diseimbangkan, bahwasanya pelanggaran pornografi misalnya tidak boleh sekali-sekali melanggar hak anak dan perempuan. Bahwasanya pornografi disini aktornya adalah laki-laki dan
perempuan, tidak hanya perempuan, sehingga kekhwatiran terhadap viktimisasi terhadap perempuan mestinya tak usah terjadi. Bahwasanya pornografi memang harus diatur dengan UU karena ketidakdigdayaan UU yang ada. Juga, karena di negara-negara barat saja pornografi memiliki pengaturan tersendiri. Dan,
bahwasanya RUU APP ini bukan agenda sektarian kelompok-kelompok tertentu saja (apalagi sebagai pintu masuk Syari’at Islam seperti selama ini dikhawatirkan
khalayak penolak dan pengamat asing), melainkan lahir dari suatu kebutuhan untuk menciptakan media yang sehat dan edukatif disamping sebagai legislasi yang menjamin perlindungan terhadap masyarakat, utamanya anak-anak dan kaum perempuan dari penyalahgunaan pornografi dan pornoaksi.

Yang terakhir, suatu RUU semestinya harus mencerminkan keadilan dan kepastian hukum (justice and certainty of law), maka suatu studi mendalam diiringi
proses penyusunan yang aspiratif (akomodatif terhadap suara-suara dan kebutuhan dalam masyarakat maupun pemerintah) sudah semestinya dilakukan.
Wallahua’lam

Depok, 8 Maret 2006

Disclaimer : Legal opinion ini adalah pendapat para pengajar tersebut di atas dan tidak mewakili institusi

 
At 11:45 PM, Blogger BOLANG MOTOR RENT said...

lawan terus pornografi dan pornoasi. semuanya adalah bentuk jajahan baru dari barat. itu bukan budaya bangsa, pakaian adat indonesia boleh sedikit terbuka tetapi itu bukan pornografi melainkan itu adat dan budaya. sementara pakaian mini dan ketat adalah simbol dari miskinnya moral manusia yang ga tahu malu. musnahkan mereka dari muka bumi indonesia

 

Post a Comment

<< Home