Friday, February 24, 2006

Perjalanan ke Senayan (3)

Perjalanan Menolak RUU Antipornografi (3)

Antara Perda dan Pembangkangan Sipil


Gelap malam mulai menyelimuti kaki langit Jakarta saat delegasi Bali keluar dari gedung Nusantara I di komplek DPR RI, Senayan. Waktu hampir menunjukkan pukul 19.00 WIB, dan, sembari menunggu mobil jemputan, para anggota delegasi pun duduk selonjor di kaki tangga rumah wakil rakyat itu.

Pada saat itulah, di tengah deraan rasa lelah, mereka menyadari dua hal. Yang pertama, di mata Pansus RUU APP DPR RI, Bali ternyata hanya dipandang sebagai sebuah entitas politik yang kecil, yang bisa diremehkan dan diabaikan begitu saja. Kesadaran ini menimbulkan rasa jengah yang luar biasa, terutama di diri ketua delegasi Ngurah Harta, Cok Sawitri dan Wayan P Windia.

“Sepulangnya kita nanti, kita harus menggalang kerja sama dengan seluas mungkin komponen masyarakat Bali. Mari kita tunjukkan bahwa masyarakat kita itu solid dan siap mempertahankan Bali sebagai pulau yang terbuka, toleran dan menghormati keragaman budaya dan relijius,” tegas Ngurah Harta.

Wayan P Windia yang biasanya kalem dan tak banyak bicara pun tampak berusaha keras untuk menahan kegeramannya.

“Moga-moga Pansus RUU APP DPR RI ini mau berkunjung ke Bali. Kalau mereka sudah di Bali kita kan tinggal ‘nyeluk’ saja,” ujarnya sambil terkekeh-kekeh.

Sebelumnya, Prof. Dr. I Made Bandem juga telah mengingatkan Fraksi PDI Perjuangan bahwa RUU APP ini merupakan masalah serius bagi masyarakat Bali.

“Jangan sampai nanti masyarakat Bali merasa bahwa mereka sudah tidak punya pilihan lain lagi,” tandasnya.

Ketegasan untuk menolak RUU APP juga disampaikan Pedanda Sebali.


“Meski kami minoritas, kami saat ini sedang berjuang di jalan Dharma. Siapa pun yang berjuang di jalan Dharma pastilah akan menang,” katanya.

Hal kedua yang disadari para anggota delegasi adalah bahwa tiket penerbangan pulang mereka semuanya sudah “hangus”. Molornya pertemuan dengan Pansus RUU APP dan Fraksi PDI Perjuangan membuat mereka terlambat sejam dari jadwal pesawat. Padahal, dana operasional yang tersedia sudah sangat menipis.

Rasa jengah yang campur aduk dengan rasa lelah dan amarah membuat delegasi tidak terlalu peduli tentang masalah ini.

“Kita ini sedang menjalankan swadharma. Kalau kita harus pulang malam ini, Ida Sesuhunan pasti akan menolong kita untuk mendapat tiket,” kata Cok Sawitri.

Benar saja, beberapa saat kemudian Kadek Suardhana datang mengabarkan bahwa dana untuk membeli tiket telah ada.

“Ini hasil urunan nyama braya di Jakarta yang simpati dengan apa yang kita perjuangkan,” katanya.

Cok Sawitri memilih bermalam di Jakarta sembari menggalang dukungan di media pusat dan komunitas seniman di sana. Demikian pula Ngurah Harta, yang harus melobi Dirjen Bimas Hindu tentang nasib sebuah pura di Penebel, Tabanan.

“Pura itu ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah tetapi tidak pernah dipelihara dengan serius. Saat para pengempon hendak melakukan renovasi mereka terhalang aturan mengenai cagar budaya,” ujarnya.

Satu lagi anggota delegasi yang ditinggal di Jakarta adalah Pedanda Sebali.

“Soalnya ada pasien yang ingin konsultasi. Dari tadi sudah berkali-kali keluarganya menelpon,” katanya.

Dalam perjalanan ke Bandara, delegasi sempat menyambangi I Dewa Gde Palguna, putra Bali yang kini menjabat sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga yang berwenang menilai kepatutan sebuah undang-undang.

Setelah senda gurau yang hangat, Palguna memaparkan bahwa kemungkinan besar pertentangan mengenai RUU APP akan bermuara di MK. Begitu RUU APP disahkan menjadi Undang-undang, kelompok penentangnya pasti akan mengajukan judicial review ke MK.

“MK sendiri memang sudah bersiap-siap menangani hal ini. Sebagai seorang nasionalis yang percaya pada kesakralan NKRI tentunya sikap saya sudah bisa diduga,” katanya.

Ucapan Palguna serta merta menambah optimisme delegasi Bali. Entah karena suntikan optimisme ini atau mesranya rasa persaudaraan yang ditunjukkan Palguna, perjalanan pulang berlangsung dalam suasana hati yang ringan.

Sikap angkuh para anggota Pansus pun kemudian menjadi bahan canda tawa yang menyegarkan. Wayan P Windia tampil sebagai pengocok perut yang handal, apalagi setelah menyadari bahwa maskapai penerbangan yang mereka tumpangi memberikan pelayanan yang memuaskan.

“Tadi pagi kita hanya dapat satu gelas air di pesawat. Malam ini, perut kita sampai bingung menerima berbagai jenis makanan, hidangannya benar-benar multikultural,” pujinya.

Ringannya suasana hati mereka juga karena telah tercapainya kesepahaman di kalangan anggota delegasi mengenai berbagai strategi yang akan dijalankan untuk menghadang RUU APP.

“Kita telah menetapkan berbagai pilihan sikap seandainya skenario terburuk terjadi,” ujar Ngurah Harta.

Seandainya, DPR RI bersikeras meloloskan RUU APP, maka delegasi telah sepakat untuk “mendorong” pemerintah propinsi Bali serta DPRD Bali untuk membuat dan mengesahkan sebuah Perda (Peraturan Daerah) mengenai perlindungan terhadap tradisi relijius, kekayaan budaya dan kehidupan kesenian masyarakat Bali.

“Jika upaya ini pun tidak berhasil maka pilihan terakhir adalah melakukan pembangkangan sipil terhadap undang-undang tersebut,” ujarnya.

Salah satu bentuk utama dari pembangkangan sipil tersebut adalah dengan menyelenggarakan pameran serta pementasan berbagai bentuk kesenian, yang dinilai sensual oleh RUU APP.

“Misalnya dengan mementaskan joged bumbung di tempat-tempat umum, pameran lukisan dan foto serta pementasan-pementasan teater perlawanan,” ujar Cok Sawitri.

Selain bertujuan untuk menunjukkan kepada pemerintah dan para pendukung RUU betapa sempitnya pandangan serta definisi mereka tentang pornografi, pembangkangan sipil itu juga diarahkan untuk menggalang simpati dunia internasional.

“Hak-hak masyarakat tradisional dan kelompok minoritas merupakan hal-hal yang menjadi perhatian utama PBB,” katanya.

Tugas penggalangan massa dan perencanaan aksi diserahkan kepada Cok Sawitri dan Ngurah Harta sementara Prof. Dr. I Made Bandem akan memaparkan sikap Bali di berbagai pertemuan dan lembaga nasional, termasuk Komnas HAM. Made Marlowe diserahi tanggung jawab melakukan kampanye multimedia untuk menyasar generasi muda dan warga asing.

Pedanda Sebali sendiri telah menyetujui strategi pembangkangan sipil tersebut. Pedanda hanya memberikan sebuah batasan penting; pembangkangan sipil tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang damai dan bermartabat.

“Pembangkangan sipil bukan hal baru dalam tradisi keimanan Hindu. Apa yang dilakukan Mahatma Gandhi saat menentang pemerintah kolonial Inggris di India pada hakekatnya adalah sebuah pembangkangan sipil dan sosial,” tegasnya.

Saat para anggota delegasi keluar dari Bandara Ngurah Rai pada pukul 03.00 Wita, yang menyambut mereka adalah kesunyian malam yang dingin oleh rintik hujan. Di emperan bandara sekelompok sopir taksi berbincang tentang beban ekonomi yang makin berat serta pariwisata Bali yang makin sepi. Jika RUU APP disahkan, pariwisata Bali tak akan hanya sepi, tetapi pasti mati.

“Mendengar keluhan para sopir ini, saya menjadi sadar bahwa kita akan kehilangan banyak hal jika RUU APP ini benar-benar diberlakukan. Satu perjalanan memang telah kita rampungkan, tetapi masih banyak perjalanan berat yang menanti,” ujar Windia.

4 Comments:

At 7:45 AM, Anonymous Anonymous said...

Hidup Bali!

 
At 8:42 PM, Anonymous Anonymous said...

meskipun bukan orang bali, saya mendukung rekan-rekan dari bali untuk berjuang menentang ruu app ini. it's just so stupid for blaming women as the cause of moral degredation.

 
At 6:53 AM, Anonymous Anonymous said...

Setelah membaca rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, maka yang terlintas dalam benak saya adalah, telah terjadi suatu usaha yang luar biasa "jahat" untuk mengekang dan pada akhirnya memusnahkan sebuah kebudayaan dan tradisi adat serta ekspresi berkesenian (khususnya) masyarakat di Bali dari suatu kelompok yang sangat pengecut untuk berpendapat dan berbicara sehingga harus berlindung dibalik kedok yang bernama Undang-Undang.
Perumus RUU APP ini adalah orang-orang "buta" yang tidak sadar dengan keberagaman dalam NKRI.
Penilaian dan anggapan porno datang dari pikiran yang gelap dengan tingkat keimanan yang sungguh-sungguh patut dipertanyakan. Negara mengatur warganya untuk berpakaian..? TIDAK ADA DALAM KAMUS..!!! Biarkan kami menjalani hidup kami dengan tradisi dan adat istiadat kami sendiri. Kami tidak butuh orang lain untuk menilai apalagi mengatur cara kami berkesenian, berbudaya dan beradat istiadat.
MARI SATUKAN LANGKAH TOLAK RUU APP MENJADI UNDANG-UNDANG..!!

 
At 4:31 AM, Anonymous Anonymous said...

Saya menolak RUU APP karena mematikan budaya dan adat asli Indonesia yang terkenal berbuadaya tinggi. Hal ini jugalah yang membuat turis datang. Turis datang menambah devisa. Pemerintah tolonglah perhatikan Bali.
Terima Kasih.

 

Post a Comment

<< Home