Rumusan Seminar Universitas Udayana
PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG ANTIPORNOGRAFI DAN PORNOAKSI (RUU APP)
DARI PERSPEKTIF BUDAYA, HUKUM, DAN SEKSOLOGI
Universitas Udayana, 21 Februari 2006
PENDAHULUAN
Sehubungan dengan ramainya pembicaraan tentang RUU APP di masyarakat, Universitas Udayana, Denpasar, terpanggil untuk menggelar forum guna membahas substansi RUU tersebut. Seminar dilaksanakan Selasa, 21 Februari 2006, di Gedung Pascasarjana Unud, dengan menampilkan tiga pembicara sesuai dengan bidang ilmu masing-masing, yaitu Prof Dr I Wayan Ardika, MA dkk (tinjauan budaya), I Made Sumerta,SH (hukum), dan Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And. (tinjauan seksologi khususnya biopsikoseksual).
Seminar dibuka oleh Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD. Jumlah peserta yang mengikuti seminar 200 orang, antara lain dari kalangan akademisi, mahasiswa, ormas kepemudaan, politisi, eksekutif, dan legislatif.
Seminar yang disiarkan langsung oleh RRI Denpasar berjalan lancar dan produktif. Mendengar masukan dari pembicara dan gagasan yang muncul selama diskusi, dengan ini disusun rumusan hasil seminar sebagai berikut:
RUMUSAN HASIL
Kajian Aspek Budaya
- RUU APP tidak akomodatif. Batasan pornografi dan pornoaksi dalam RUU tidak mengakomodasi pengertian konsep tersebut yang dianut suku bangsa dengan adat, tradisi, dan agama berbeda-beda di Nusantara. Sejarah dan tradisi yang hidup berada-abad di Nusantara menunjukkan bahwa tiap-tiap tradisi, adat, dan agama memiliki pengertian yang berbeda tentang pornografi, pornoaksi, dan sensual, sementara rumusan ‘pornografi’ dan ‘pornoaksi’ dalam RUU ini tidak mengakomodasikan perbedaan persepsi keragaman budaya Nusantara. Memaknai ‘pornografi’ dan ‘pornoaksi’ secara tunggal dalam sebuah UU akan menimbulkan keresahan dalam praktek tradisi dan kehidupan religius. Perkecualian yang dibuat dalam pasal 36 tidak menjamin pengekangan hegemonis tidak akan terjadi jika RUU APP ini disahkan. Pemberlakuan RUU ini dapat mengabaikan spirit kebhinekaan (multikultur) yang diamanatkan dasar negara Pancasila dan menyuburkan spirit disintegrasi bangsa yang bibitnya sudah bermunculan di berbagai daerah.
- RUU APP mengekang kreativitas. RUU APP ini potensial memasung kreativitas seniman dalam arti luas.
- RUU APP kontra produktif. Jika disahkan, RUU APP ini dapat bersifat kontraproduktif terhadap pembangunan sektor kepariwisataan. Pemberlakuan RUU APP dikhawatirkan dapat mengancam kegiatan kepariwisataan khususnya aktivitas wisata tirta dan rekreasi di pantai. Kenyataannya, banyak daerah di Indonesia yang memiliki ketergantungan ekonomi substansial terhadap sektor pariwisata seperti Lombok, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan Bali.
Kajian Seksologi
RUU APP tidak ilmiah, antara lain karena:
1. Tujuan RUU itu tidak secara tegas dan spesifik diuraikan. Kalau RUU APP ditujukan untuk melindungi anak-anak dan remaja, berarti jangan mengatur orang dewasa. Tetapi kalau orang dewasa juga ikut diatur, maka muncul pertanyaan mengapa orang dewasa, apalagi yang sudah menikah, tidak boleh menyaksikan pornografi secara pribadi?
2. Definisi atau pengertian di dalam RUU itu tidak berdasarkan ilmu pengetahuan yang terkait. Sebagai contoh, batasan pornografi dan pornoaksi tidak jelas benar dan dapat mengundang pengertian yang berbeda. RUU itu berkali-kali membedakan masturbasi dengan onani. Padahal kedua istilah itu sama menurut ilmu pengetahuan. Ini menunjukkan ketidakmengertian penyusun RUU.
3. RUU itu terkesan kuat menyudutkan kaum perempuan sebagai penyebab masalah. Seolah-olah kalau ada pria bingung karena terangsang ketika melihat seorang perempuan, itu salah perempuan. Ini sebuah contoh pemahaman yang salah dan bias jender. Sama halnya dengan selalu menyalahkan PSK yang dianggap sebagai penyebab masalah, tidak pernah menyalahkan pria yang mencari dan membujuk mereka.
4. RUU APP bahkan sampai mengatur perempuan dalam berpakaian, termasuk untuk berolahraga, dengan melarang berpakaian yang ’memperlihatkan bagian tubuh yang sensual’. Kita dapat berdebat sampai pusing untuk menentukan bagian tubuh sensual yang mana atau seberapa bagian yang tidak boleh diperlihatkan. Padahal terbukti banyak TKW kita yang berpakaian tertutup menjadi korban perkosaan. Yang pasti, kita akan menjadi bangsa aneh, kalau para perenang kita menggunakan kain kebaya agar pahanya tidak tampak ketika bertanding di SEA Games. Atau dianggap bangsa yang tidak waras, kalau pemain voli pantai kita menuntut bertanding di ruang tertutup rapat agar bokongnya tidak dilihat orang banyak. Hampir pasti para wisatawan mancanegara akan lari terbirit-birit karena mengira kita tidak waras kalau mengharuskan mereka menggunakan kain sarung ketika berjemur di pantai.
5. Harus kita sadari bahwa budaya kita sebenarnya tidak asing dengan pornografi dan pornoaksi. Tetapi karena sudah menjadi sebagian kehidupan sehari-hari, maka kita menerimanya sebagai sesuatu yang biasa saja. Tidak ada bukti seseorang menjadi pemerkosa setelah menyaksikan lukisan perempuan telanjang di pasar seni. Justru seperti inilah kesubyektifan penilaian terhadap sebuah pornografi dan pornoaksi. Kalau RUU itu dipaksakan, konsekuensinya kita juga harus berhadapan dengan budaya lokal kita sendiri.
Kajian Aspek Hukum
1. RUUAPP banyak mengandung kelemahan atau kerancuan baik dari formulasi deliknya substansinya, maupun dari segi pemidanaannya sehingga perlu kiranya dipertimbangkan atau disempurnakan agar tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat. Bila perlu untuk sementara ditunda pengesahannya atau ditolak menjadi UU dengan mempertimbangkan aspek psikologis, sosiologis, dan aspek yuridis dan aspek kemanfaatan hukum.
2. Dilihat dari aspek kebijakan hukum pidana perlu kiranya dikaji ulang tentang formulasi dari perbuatan dikriminalisasi sebagai perbuatan pornografi dan pornoaksi dalam RUUAPP tersebut, karena batasannya belum jelas tentang kedua hal tersebut. Kalau sudah salah, keliru, dalam tahapan kebijakan formulasi akan berimplikasi pula pada tahap implementasi dan eksekusi.
3. Karena kita sudah mempunyai KUHP sebagai hukum positif yang dipakai landasan untuk pemidanaan terhadap perbuatan yang bersifat porno pada saat ini dan untuk masa ke depan sudah tertampung dalam Rancangan KUHP Nasional yang isinya lebih jelas dan terperinci dibandingkan dengan apa yang tercantum dalam RUUAPP, maka perlu dipikirkan apakah RUUAPP ini disahkan sebagai UU atau tidak? Atau ditolak sama sekali agar nantinya tidak terjadi tumpang-tindih dengan UU sebelumnya dan tidak akan menghabiskan biaya (cost) yang berlebihan untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan daripada hasil yang akan dicapai.
SARAN
Berikut saran yang dapat diberikan:
Para penyusun jangan memaksakan RUU itu kalau
- tidak dapat memberikan batasan yang jelas secara yuridis dan konseptual mengenai pornografi dan pornoaksi
- tidak dapat menghilangkan anggapan salah bahwa hanya perempuan yang menjadi penyebab masalah
- tidak dapat melindungi hak masyarakat untuk melakukan kegiatan sehari-hari
- tidak mampu memberlakukan secara konsisten terhadap budaya lokal yang tergolong pornografi dan pornoaksi
- Kalau sudah ada aturan yang dapat digunakan untuk menertibkan pornografi dan pornoaksi, tidak perlu dibuat UU yang baru. Efektifkan pelaksanaan UU yang terkait.
- Berikan pendidikan seksualitas kepada masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja untuk mencegah dampak pronografi dan pornoaksi.
Denpasar, 21 Februari 2006
Tim Perumus
Prof. Dr. I Wayan Ardika,M.A. (pemrasaran)
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And. (pemrasaran)
I Made Sumerta,SH (pemrasaran)
Drs. Ida Bagus Gede Pujaastawa,MA (moderador)
Dr. I Nyoman Darma Putra,M.Litt. (panitia).
3 Comments:
Kenapa dan harus di terbitkan RUU APP??? Dalam hal ini,kenapa para intelektual bangsa yang duduk di bangku legislatif katanya intelek tapi mereka tidak dapat mengambil keputusan yang bijaksana didalam polemik penetapan RUU APP!! Jangan hanya untuk kepetingan segelintir orang yang menginginkan penetatapan RUU APP dan akhirnya jelas menimbulkan kepincangan dan ketidak harmonisan diantara masyarakat luas.Kenapa dan mengapa harus memperkeruh suasana Bangsa yang lagi Sakit dengan berbagai macam konflik di berbagai daerah. Bukankah masih banyak hal-hal penting lainnya yang harus dikerjakan oleh mereka yang duduk di bangku Legislatif didalam penyelesaian PR yang bertumpuk didepan mata mereka dari hari kehari??? Kemunafikan semata yang mereka tutupi didalam pencanangan RUU APP dengan mengatas namakan ajaran agama yang dianut dan mau di bawa kemanakah Bangsa kita pabila RUU APP ditetapkan!!!!! Berpikirlah secara Bijaksana dengan tidak hanya mementingkan kepentingan mereka yang nota bene hidup didalam kemunafikan.( Babi Haram namun Babu HALAL) Salam
Legal Opinion: Urgensi RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi
Tim Pengajar FHUI -Depok
Fatmawati, SH. MH.
Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.
Yetty Komalasari Dewi, SH. M.Li.
Dalam ilmu hukum dipelajari tentang kaedah hukum (dalam arti luas). Kaedah hukum (dalam arti luas) lazimnya diartikan sebagai peraturan, baik tertulis maupun lisan, yang mengatur bagaimana seyogyanya kita (suatu masyarakat) berbuat atau tidak berbuat. Kaedah hukum (dalam arti luas) meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norma), dan peraturan hukum kongkrit.
Asas-asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, merupakan latar belakang peraturan hukum konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Sementara itu, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norma)
merupakan perumusan suatu pandangan obyektif mengenai penilaian atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dijalankan (merupakan nilai yang bersifat lebih kongkrit dari asas hukum).
Berkaitan dengan RUU Pornografi dan Pornoaksi, berdasarkan argumentasi yuridis (perspektif ilmu hukum), maka RUU ini memiliki dasar pembenar sebagai berikut:
1. Berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Legi
Generalis, maka RUU ini nantinya akan berlaku sebagai hukum khusus, yang akan mengesampingkan hukum umum (dalam hal ini adalah KUHP) jika terdapat pertentangan diantara keduanya. Hal ini sudah banyak terjadi dalam UU di R.I., sebagai contoh adalah UU Kesehatan sebagai lex specialis (hukum yang khusus) dengan KUHP sebagai lex generalis (hukum yang umum). Dalam Pasal 15 ayat
(1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan diatur perihal diperbolehkannya aborsi atas indikasi medis, yaitu dalam keadaan darurat yang membahayakan jiwa ibu hamil dan atau janinnya. Berbeda dengan UU Kesehatan, KUHP sama sekali tidak memperkenankan tindakan aborsi, apapun bentuk dan alasannya. Artinya dalam hal ini, jika terjadi suatu kasus aborsi atas indikasi medis
(seperti diatas), berdasarkan asas Lex Specialis derogate Legi Generalis, maka yang berlaku adalah UU Kesehatan dan bukan KUHP;
2. Berdasarkan asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Maka RUU ini nantinya akan menjadi hukum yang disahkan belakangan, yang akan menghilangkan hukum yang berlaku terlebih dahulu (KUHP) jika terjadi pertentangan diantara keduanya.
Sedangkan berdasarkan argumentasi logis, maka RUU ini dapat dibenarkan dengan alasan sebagai berikut:
* Pornografi dan Pornoaksi yang marak belakangan ini tidak saja membawa korban (victim) orang dewasa tetapi juga anak-anak. Dalam kaitan ini, UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 tidak menyinggung sedikit-pun tentang masalah pornografi anak (child-pornography). Namun mengatur (senada dengan Convention on the rights of the Child 1989) bahwa anak wajib dilindungi dari
‘bahan-bahan dan material’ yang illicit dan membahayakan perkembangan jiwa dan masa depannya. Pornografi adalah satu bentuk illicit materials yang
dapat membahayakan perkembangan jiwa anak. Oleh karena itu, diperlukan suatu dasar hukum untuk melindungi anak-anak dari masalah pornografi.
* UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tidak memiliki klausul yang cukup melindungi pers dan khalayak dari penyalahgunaan pornografi.
* UU tentang Penyiaran No. 32 tahun 2002 juga tidak banyak mengatur dan melindungi khalayak penyiar dan pemirsa dari penyalahgunaan pornografi dan pornoaksi.
* Secara fitrah manusia memang memiliki kebutuhan seksual dan tidak ada seorangpun yang berhak mengambil hak dasar ini. Namun demikian, bagaimana menggunakan kebutuhan seksual ini agar tidak memberikan dampak yang negative terhadap masyarakat luas, tentu saja perlu diatur. Sebagai perbandingan, USA yang memiliki nilai-nilai budaya yang cenderung lebih ‘permissive’ dibandingkan Indonesia, misalnya, memiliki Child Obscenity and Pornography Prevention Act of 2002. Di Inggris ada Obscene Publications Act 1959, dan Obscene Publications Act 1964 yang masih berlaku sampai sekarang, yang mengatur dan membatasi substansi atau gagasan dalam media yang mengarah kepada pornografi.
Di dalam sistem hukum Civil Law (European Continental), UU berperan dalam pembentukan hukum. Salah satu tujuan pembentukan hukum (UU) adalah untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi diantara anggota masyarakat (pemutus perselisihan). Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa seiring dengan kemajuan zaman, kehidupan masyarakat-pun mengalami perubahan. Oleh karenanya, hukum-pun harus mengikuti perubahan/perkembangan masyarakat agar hukum mampu menjalankan fungsinya tersebut.
Artinya, jika hukum tidak diubah sesuai dengan perkembangan masyarakat-nya, maka hukum menjadi mati dan tidak mampu mengatasi masalah sosial yang terjadi/muncul dalam suatu masyarakat. Masalah pornografi dan pornoaksi mungkin dulu belum dianggap atau dinilai penting, namun demikian beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan semakin berkembangnya teknologi informatika, masalah tersebut telah memberikan dampak social yang sangat signifikan terhadap kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam kaitannya dengan RUU ini, walaupun menurut sebagian orang masalah
pornografi dan pornoaksi dapat diselesaikan oleh KUHP khususnya pasal 281 dan 282, namun apabila dicermati sebenarnya pasal-pasal tersebut pun masih memiliki
beberapa kelemahan, yaitu tentang kriteria kesusilaan dan tentang ancaman hukuman. Kedua-nya dapat dijelaskan sebagai berikut:
* Kriteria Kesusilaan. KUHP tidak memberikan definisi atau batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan ‘kesusilaan’. Tentu saja hal ini menyebabkan terjadinya ‘multitafsir’ terhadap pengertian kesusilaan, dengan kata lain, kapan seseorang disebut telah bertingkah laku susila atau asusila (melanggar susila). Terjadinya penafsiran yang berbeda terhadap suatu ketentuan dalam UU seharusnya tidak boleh terjadi karena ini menyebabkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, jika RUU Pornografi dan Pornoaksi justru memberikan pengertian
dan batasan yang lebih jelas atau detail, seharusnya secara logis hal ini dapat dibenarkan. Logikanya, suatu peraturan yang lebih jelas atau detail justru akan menghindari terjadinya ketidakpastian hukum dan menghindari implementasi yang sewenang-wenang dari aparat penegak hukum (non-arbitrary implementation).
Dan jika kepastian hukum justru dapat tercapai dengan adanya RUU ini, maka seharusnya kita mendukungnya.
* Ancaman Hukuman. Ancaman hukuman yang terdapat pada pasal 281 dan 282 KUHP sangat ringan. Kedua pasal tersebut yang dianggap oleh sebagian orang sudah cukup untuk mengatasi atau mengantisipasi masalah pornografi dan pornoaksi, hanya memberikan maksimal hukuman penjara 2 tahun 8 bulan dan maksimal denda Rp. 75.000 (lihat pasal 282 ayat 3). Jika tujuan dijatuhkan-nya hukuman adalah untuk mencegah orang untuk melakukan perbuatan tersebut, jelas hukuman maksimal penjara dan denda seperti diatas (2 tahun 8 bulan dan 75.000), tidak akan memberikan dampak apapun pada pelakunya. Ancaman hukuman tersebut tidak memiliki nilai yang signifikan sama sekali untuk ukuran sekarang.
Berdasarkan paparan di atas, sebenarnya RUU APP ini memiliki cukup legitimasi baik dari sisi yuridis maupun sosiologis. Hanya saja, disarankan untuk lebih memperbanyak atau memperkuat argumentasi yuridis bahwa RUU ini memang dibutuhkan walaupun telah diatur secara tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan (argumentasi kelebihan RUU ini dibandingkan pengaturan
yang telah ada). Sebagai contoh, UU Kesehatan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Disamping itu ada juga UU KDRT, yang sebenarnya secara substansi telah diatur dalam KUHP, tetapi toh dapat diberlakukan UU KDRT karena memiliki argumentasi logis yang merubah kekerasan dalam rumah tangga dari delik aduan (dalam KUHP) menjadi delik biasa (dapat dilaporkan oleh siapa saja yang melihat atau mengetahui peristiwa tersebut).
Kemudian, harus diakui bahwa ada beberapa rumusan yang belum ‘pas betul’ dengan tujuan pembentukan RUU ini, yaitu antara lain rumusan/ definisi tentang
‘pornoaksi’. Karena dalam pelbagai literature agak sulit secara legal formal untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘pornoaksi’. Sedangkan, definisi ‘pornografi’ sudah lumayan ter-cover dalam RUU APP, di –mix dengan definisi pada UU sejenis di negara lain dan encyclopedia. Maka, suatu studi yang lebih kritis tentang ‘pornoaksi’ amat perlu dilakukan.
Untuk keberlakuan RUU APP ini, dapat mengikuti metode pemberlakuan UU Lalu Lintas (penggunaan seat-belt), dimana diberikan cukup waktu untuk sosialisasi RUU
ini, atau masa transisi, dan setelah sekian tahun (misal 2 atau 3 tahun), baru-lah RUU ini diberlakukan secara penuh.
Wilayah Perdebatan dan Kontroversi
Selama ini wilayah perdebatan dan kontroversi yang paling banyak diungkap oleh para pengkritisi RUU APP ini adalah :
* Apakah pornografi dan pornoaksi adalah issue public atau issue privat yang berarti termasuk ranah publik-kah atau ranah privat?
* Apakah pornografi dan pornoaksi ada dalam wilayah persepsi yang berarti masuk dalam ranah moral dan agama (yang berarti pelanggaran terhadapnya hanya dapat dikenakan sanksi moral atau sanksi agama) ataukah masuk dalam ranah hukum public dan kenegaraan yang berarti dapat dikenakan sanksi hukum yang mengikat dan memaksa (sanksi pidana).
* Apakah pelarangan terhadap pornografi dan pornoaksi adalah suatu bentuk pelanggaran HAM terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan pers ataukah
justru perlindungan terhadap pers yang sehat dan edukatif dan perlindungan terhadap anak dan khalayak penikmat pers dan media.
* Apakah pelarangan terhadap pornografi atau pornoaksi adalah suara dari mayoritas masyarakat ataukah semata-mata ‘pemaksaan’ issue dari ‘kelompok-kelompok tertentu’ saja atau bahkan sebagai ‘pintu masuk pemberlakuan syari’at Islam di Indonesia’?
* Apakah pornografi memang harus diatur dengan Undang-Undang, atau cukup diserahkan pada UU yang ada saja (jawabannya ada di atas).
* Apakah pelarangan pornografi dan pornoaksi tidak akan menimbulkan viktimisasi terhadap perempuan ataukah malah menimbulkan viktimisasi perempuan?
Menurut hemat kami, keberatan-keberatan tersebut harus disikapi dengan proporsional. Ada memang ranah yang harus diseimbangkan, bahwasanya pelanggaran pornografi misalnya tidak boleh sekali-sekali melanggar hak anak dan perempuan. Bahwasanya pornografi disini aktornya adalah laki-laki dan
perempuan, tidak hanya perempuan, sehingga kekhwatiran terhadap viktimisasi terhadap perempuan mestinya tak usah terjadi. Bahwasanya pornografi memang harus diatur dengan UU karena ketidakdigdayaan UU yang ada. Juga, karena di negara-negara barat saja pornografi memiliki pengaturan tersendiri. Dan,
bahwasanya RUU APP ini bukan agenda sektarian kelompok-kelompok tertentu saja (apalagi sebagai pintu masuk Syari’at Islam seperti selama ini dikhawatirkan
khalayak penolak dan pengamat asing), melainkan lahir dari suatu kebutuhan untuk menciptakan media yang sehat dan edukatif disamping sebagai legislasi yang menjamin perlindungan terhadap masyarakat, utamanya anak-anak dan kaum perempuan dari penyalahgunaan pornografi dan pornoaksi.
Yang terakhir, suatu RUU semestinya harus mencerminkan keadilan dan kepastian hukum (justice and certainty of law), maka suatu studi mendalam diiringi
proses penyusunan yang aspiratif (akomodatif terhadap suara-suara dan kebutuhan dalam masyarakat maupun pemerintah) sudah semestinya dilakukan.
Wallahua’lam
Depok, 8 Maret 2006
Disclaimer : Legal opinion ini adalah pendapat para pengajar tersebut di atas dan tidak mewakili institusi
This was lovelly to read
Post a Comment
<< Home