Perjalanan Menolak RUU Antipornografi (1)
Harapan Dialog yang Kandas di Senayan
Lima tokoh masyarakat Bali, yaitu Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa, I Gusti Ngurah Harta, Prof. Dr. I Made Bandem, Wayan P. Windia serta Cok Sawitri, pada Selasa (21/2) menemui Pansus RUU Antipornografi dan Pornoaksi (APP) di Gedung DPR RI, Senayan, guna menyampaikan penolakan masyarakat Bali atas rancangan undang-undang yang kontroversial itu. Wartawan I Wayan Juniartha melaporkan perjalanan mereka dalam tiga tulisan bersambung.
Sejak awal, sejumlah kesulitan telah menghadang rencana keberangkatan perwakilan masyarakat Bali ini ke Jakarta. Halangan pertama adalah minimnya dana yang tersedia untuk membiayai keberangkatan delegasi, yang terdiri dari lima anggota inti dan tiga anggota tim pendukung.
Delegasi ini akan mempresentasikan penolakan masyarakat Bali atas RUU (APP)yang sedang dibahas oleh sebuah Panitia Khusus (Pansus) di DPR RI. Penolakan terhadap RUU tersebut disepakati secara bulat dalam sebuah semiloka yang diadakan oleh Yayasan Sandhi Murti Indonesia pada Sabtu (11/2) lalu di Denpasar. Semiloka dihadiri oleh lebih dari 20 cendekiawan, budayawan dan seniman.
Budayawan Ketut Sumarta merumuskan pikiran para peserta semiloka ke dalam sebuah pernyataan sikap yang komprehensif serta argumentatif sementara cendekiawan muda Made Marlowe menyusun sebuah presentasi visual dari rumusan penolakan tersebut.
“Kita persiapkan semuanya secara hati-hati serta mendalam agar presentasi kita nantinya tidak terkesan asal tolak. Rumusan penolakan mencakup argumentasi-argumentasi dari sisi hukum, sosial serta kultural,” kata pinisepuh Sandhi Murti, I Gusti Ngurah Harta yang mengetuai delegasi tersebut.
Kesulitan dana keberangkatan teratasi setelah ada sumbangan pribadi dari Tjokorda Ardhana Sukawati sejumlah satu juta rupiah serta dari AA Puspayoga sejumlah empat juta rupiah. Selain itu, salah seorang anggota tim pendukung, Made Marlowe, menyatakan bahwa ia akan berangkat dengan biaya sendiri.
Kesulitan kedua menghadang di Bandara Ngurah Rai. Pesawat yang ditumpangi para anggota delegasi mengalami penundaan keberangkatan selama satu jam, yang membuat penanggungjawab logistik dan transport, Kadek Suardhana ketar ketir.
“Ini artinya sesudah tiba di Cengkareng kita harus langsung kebut ke Senayan. Tidak ada waktu untuk makan siang karena waktunya sudah mepet sekali,” tegasnya.
Bahkan sesudah tiba di Cengkareng pun kesulitan masih menanti. Saking antusiasnya, sejumlah warga Bali di Jakarta mengirimkan kendaraan mereka untuk menjemput delegasi. Bahkan sutradara Garin Nugroho juga datang langsung ke Bandara untuk menyambut delegasi. Untuk menunjukkan rasa hormat kepada para pendukung ini, delegasi pun di pecah ke dalam empat kendaraan berbeda.
Celakanya, sopir kendaraan yang ditumpangi Ngurah Harta ternyata tidak paham rute menuju gedung DPR RI. Sang ketua delegasi pun akhirnya datang terlambat ke ruang pertemuan setelah sebelumnya berputar-putar di Ancol dan terjebak kemacetan.
Terlepas dari semua kesulitan itu, delegasi memasuki ruang Pansus RUU APP dengan semangat serta harapan tinggi bahwa para anggota Pansus akan mengakomodasi penolakan masyarakat Bali.
“Saya secara khusus bermeditasi dan memakai jas baru untuk menghadapi peristiwa ini,” ujar Wayan P Windia.
Tak ada yang tahu bahwa harapan tinggi itu sebentar lagi akan berganti dengan kekecewaan yang menyesakkan dada.
“Manusia-manusia Langit”
Sekitar pukul 14.15 WIB, para anggota delegasi diterima oleh Ketua Pansus Balkan Kaplale beserta delapan anggota Pansus, termasuk anggota DPR dari Bali, Dewi Djaksa.
Cok Sawitri mengawali pemaparan delegasi dengan membacakan sambutan I Gusti Ngurah Harta. Pinisepuh Sandhi Murti tersebut mengingatkan para anggota Pansus bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa dan negara yang memiliki keragaman sosial budaya serta kepercayaan religius.
Oleh karena itu, menurut Ngurah Harta, setiap aturan yang dibuat seyogianya berdasarkan kesepakatan bersama semua komponen bangsa serta menghormati ke-bhinekaa-an Indonesia. RUU APP jelas-jelas telah mengabaikan kedua hal itu.
“Contoh paling sederhana adalah definisi tentang organ-organ tubuh yang dinilai sensual di dalam RUU APP jelas-jelas telah mengabaikan berbagai definisi yang diyakini berbagai suku bangsa yang eksis di Indonesia. Bahkan, definisi RUU APP cenderung memojokkan kaum wanita,” ujarnya.
Argumentasi Ngurah Harta diperkuat oleh Prof Dr I Made Bandem, yang membacakan rumusan penolakan hasil semiloka. Bandem menegaskan bahwa masyarakat Bali tidak memandang seksualitas, sensualitas serta alat kelamin secara fisikal, material dan banal semata.
“Dalam tradisi kami, sensualitas dan seksualitas dimaknai sebagai metafora sakral tentang proses penciptaan dan pemeliharaan semesta,” ujarnya.
Dengan bernas Bandem memaparkan tentang Lingga-Yoni serta ketelanjangan yang sering tampak pada sejumlah ikon sakral tradisi Bali.
“Buah dada Dewi Kali atau Durga bukanlah sebuah upaya untuk membangkitkan berahi, tetapi simbol tentang aspek welas asih dari Tuhan sebagai “Ibu Semesta” yang mampu “menyusui” seluruh umat manusia,” tegasnya.
Delegasi Bali menyatakan bahwa RUU APP tidak hanya akan menghancurkan pariwisata Bali serta mengekang kebebasan kreatif seniman Bali, namun, yang terpenting, akan menghalangi orang Bali untuk melaksanakan ibadah keagamaannya.
“Maaf, tapi tafsir tunggal yang muncul pada RUU APP membuat kami khawatir bahwa ini adalah upaya diam-diam untuk memberlakukan syariat Islam. Karena itu, RUU ini rawan memicu disintegrasi bangsa,” tegas Cok Sawitri.
Sayangnya, sesudah paparan dari Cok Sawitri dan Bandem, pertemuan kemudian berubah menjadi ceramah satu arah. Tidak terjadi dialog yang mencerdaskan karena Balkan Kaplale justru sibuk memberikan kesempatan bicara kepada para anggota Pansus.
Paling tidak ada enam anggota Pansus yang bergiliran “berceramah”. Meski mereka memuji-muji rumusan delegasi Bali sebagai dokumen yang “komprehensif dan harus dicermati” pada akhirnya mereka malah secara panjang lebar menggurui delegasi Bali dan bersikeras untuk melanjutkan pembahasan RUU APP.
Bahkan, interupsi dari Garin Nugroho, yang meminta anggota Pansus untuk menghormati Pedanda Sebali dan memberikan kesempatan berbicara kepada beliau, disikapi dengan nada tinggi oleh Balkan Kaplale.
“Saudara anggota delegasi atau cuma penonton,” tukas Kaplale.
Hal ini segera memicu kemarahan Cok Sawitri serta I Gusti Ngurah Harta. Namun, pada akhirnya, sebagian besar waktu pertemuan itu memang dihabiskan oleh para anggota Pansus sendiri. Hingga pertemuan berakhir, dua anggota inti delegasi Bali, Ngurah Harta dan Wayan P Windia, tidak mendapat kesempatan untuk menyampaikan buah pikirannya.
“Kita seakan-akan sedang berbicara dengan manusia-manusia dari langit, yang merasa tahu dan paham segalanya dan karena itu tidak perlu lagi mendengarkan orang lain. Baru sekarang saya tahu, bagaimana sikap dan tingkah laku para anggota dewan kita ini, ” sesal Windia.
5 Comments:
Setuju, TOLAK RUU APP. Tak hanya di dunia nyata. Mari lakukan perlawanan di dunia maya-maya :-)
Yang punya web, mungkin bisa turut membantu perlawanan ini dengan memasangkan link-nya ke blog ini.
Saya sudah memasang link ke blog ini di situs saya : http://www.ilovewrite.com/word
dan akan saya tambah dengan beberapa link lain di situs saya yang lain.
Semua provinsi2 yg menolak RUU APP harus berjuang bersama2, menggalang kekuatan utk membendung niat busuk agen2 arab utk menggolkan sariah islam di Indonesia.
Mereka adalah imperialis yg haus kekuasaan dunia, berbagai taktik busuk dihalalkan utk mengelabui dunia seakan2 mereka itu peaceful, padahal sebaliknya.
Hard to belief, but actually they're highly organized internationally. They have special places everywhere for spreading their ill-doctrined and propaganda each friday!
There're many of us that just can't voice ourselves beause we're practically oppressed and risking our lifes when doing so.
Please check this links for references:
http://www.faithfreedom.org/oped/sina60219.htm
More complete list:
http://listislam.freeweb-hosting.org/
ANEH ! Ya, sungguh aneh aturan yang dibuat untuk melindungi kepentingan Bangsa (Indonesia) kok ditolak ? nggak cerdas tuh !
Berpikirlah ! bukankah penolakan itu sama artinya dengan memaksakan kehendak dari saudara-saudara yang merasa minoritas kepada Bangsa Indonesia (Ingat mayoritas Rakyat Indonesia itu warga Muslim) hanya demi isi perut ?, Apakah salah jika Negara ini membuat aturan yang ditujukan untuk melindungi kepentingan sebagian besar warga dan generasi penerusnya ? Bicaralah yang cerdas, bicaralah dengan pikiran yang sehat, bicaralah dari sisi yang lain hakikat HAM misalnya !
Saya bisa bayangkan saudara-saudara yang merasa minoritas berani memaksakan kehendak kepada Bangsa ini, bagaimana jika saudara-saudara berada pada kelompok yang mayoritas (terlepas dari produk aturan yang akan dirumuskan) ?
Saya pikir, jika memang ada kepentingan kelompok saudara-saudara yang perlu diakomodir oleh RUU APP tersebut, bukankah lebih baik dilakukan dengan cara memberikan masukan (mungkin dengan menetapkan batas aturan atau wilayah yang diatur ?) Berpikirlah ! Berpikirlah ! Berpikirlah ! wahai para tokoh, para cendikiawan, para tetua bijak, jangan meletakkan harga diri saudara-saudara hanya dengan seonggok isi perut !
Wuahhhh kayaknya yang pada teriak "Tolak RUU APP" bukan orang Bali yang sebenarnya menjunjung tinggi budayanya, saya yakin mereka hanya merupakan alat bagi kepentingan para oppurtunis, investor dan pecundang !
Setahu saya budaya Bali maupun karya seni hasil kreasi para seniman Bali yang sebenarnya tidak ada yang masuk dalam kategori "PORNO" , yang ada dan ramai dibicarakan tentang hal-hal yang berbau "PORNO" di Bali adalah budaya import. Apakah hanya karena produk import ini terus orang Bali akan mengorbankan kepentingan mayoritas Bangsa Indonesia ? dengan alasan demi isi perut ? kayaknya tidak mungkin orang Bali yang benar-benar memegang teguh budayanya akan menjual harga dirinya semurah itu !
Apakah benar para pendekar yang 4 itu datang ke Jakarta mewakili mayoritas masyarakat Bali ? bukan untuk kepentingan mereka sendiri dan kelompoknya ? bukan untuk kepentingan para penyandang dana dari luar negeri yang telah mengekspor budayanya ke Bali ?
Yang berteriak "Bali Merdeka" apa sudah meresapi kata-katanya ? Siapa yang menjajah orang Bali ? apakah dia tahu bahwa orang Bali banyak tersebar hampir di semua Kepulauan Indonesia dan sudah beberapa generasi ? apakah mereka merasa terjajah oleh warga setempat ? apa bukan orang "GILA" yang melontarkan kata2 itu ?
Yang lebih "GILA" lagi yang mengucapkan kata "PERANG" dengan begitu lantangnya ! apa Bali masih membutuhkan Pahlawan yang sejatinya disebut Pahlawan ? tidak untuk sekedar mengisi perut ?
Ada lagi "PUPUTAN" sungguh kasihan para pecundang ini, kasihan sekali dia pikir ajakannya akan didenger oleh orang Bali yang sebenarnya ?
Kasihan sekali orang Bali yang sebenarnya, yang selalu menjunjung tinggi harga diri dan budayanya, yang sebenarnya hanya dijadikan obyek dan selalu dieksploitir oleh para investor dan para oppurtunis !
Wahai engkau orang yang merasa beriman....yang menjunjung tinggi kemunafikan. Cobalah engkau di posisi minoritas sadarlah, sadarlah engkau sudah banyak menginjak-nginjak bangsa ini. Masalah makan orang bali sedari dulu....sebelum adanya wisatawan tidak kenal yang namanya ngurusin isi perut. Jadi yang ngomong kalau bali menolak UPP berdasarkan isi perut"IT'S a BIG MISTAKE KAWAN". Penolakan ini berdasarkan pertimbangan pengebiran kebudayaan yang akan dilakukan oleh segelintir orang demi pemaksaan pahan yang dianutnya. Menolak berarti jangan itu di berlakukan di pulau bali
"PERANG"....HHmmm sedari dulu kita perang melawan kemunafikan.....
Coba kalau aturan itu di buat dengan hati bersih tanpa ada maksud apa-apa di balik pembuatannya, mana ada orang bali yang protes. Ingat sifat orang bali adalah paling tidak suka ngurusin kepentingan atau kehidupan orang lain kalau itu tidak menyangkut dirinya sendiri....kalian harus pada tahu betapa besar kehidupan toleransi beragama yang di junjung masyarakat bali. Mana ada orang muslim, kristen, budha....pernah dikucilkan di bali. Bali selalu menghormati agama masing-masing.
Post a Comment
<< Home