Thursday, February 23, 2006

Perjalanan ke Senayan (2)

Perjalanan Menolak RUU Antipornografi (2)

Tolong Perhatikan Perasaan Orang Bali

Dalam suasana pertemuan yang makin memanas, Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa serta Prof Dr I Made Bandem tampil sebagai figur yang mampu menghadapi keangkuhan intelektual para anggota Pansus RUU APP dengan dingin dan tenang.

“Memang begitulah DPR,” ujar Bandem dengan senyum dikulum.

Interupsi Garin Nugroho serta tuntutan Cokorda Sawitri yang garang akhirnya membuahkan hasil. Ketua Pansus RUU APP DPR RI Balkan Kaplale bersedia memberikan kesempatan kepada Ida Pedanda Sebali untuk menyumbangkan buah pikirannya.

Kalau sebelumnya, para anggota Pansus dengan nada yang menggurui, bahkan terkesan meremehkan, menceramahi delegasi Bali, maka kini giliran mereka untuk diceramahi oleh Ida Pedanda Sebali.

Tampak kemudian secara jelas betapa para anggota Pansus terpukau oleh kesantunan bahasa Pedanda Sebali serta keluasan pengetahuannya. Dengan fasih, Pedanda Sebali menguraikan betapa negara ini didirikan di atas dasar rasa kesatuan antara berbagai suku dan agama yang berbeda. Hal itu tercermin baik dalam Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan serta Pancasila.

“Kemerdekaan ini bukanlah hasil perjuangan orang Bali saja tetapi juga hasil perjuangan saudara-saudara kita umat muslim,” katanya.

Justru karena hal itu, Pedanda Sebali mengingatkan agar DPR RI tidak membuat aturan-aturan hukum yang berpeluang merusak persatuan itu. Dalam pandangannya, RUU APP jelas-jelas memiliki potensi untuk memicu disintegrasi bangsa dan merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Meski minoritas kami ingin tetap dihargai sebagai warga negara yang terhormat. Meski kami minoritas, tolong diingat bahwa dunia melihat Indonesia melalui Bali,” ujarnya.

“Kami adalah saudara Bapak-bapak sekalian. Kebetulan kami masih Hindu. Kalau sampai RUU ini disahkan bagaimana hati nurani Bapak? Padahal Bapak-bapak seharusnya menjadi pengemong dan pelindung kami,” tanyanya.

Dengan tenang, Pedanda Sebali kemudian meminta para anggota Pansus untuk menghentikan saja pembahasan RUU APP.

“Tolong perhatikan perasaan kami sebagai sebagian kecil rakyat Indonesia.Hentikan pembahasan RUU APP ini, toh Bapak-bapak akan tetap kami gaji,” ujarnya.

Pedanda Sebali menegaskan bahwa kalau Pansus bersikeras tetap melanjutkan pembahasan RUU APP maka besar kemungkinan masyarakat Bali, yang terpangkas habitat budaya serta hak relijiusnya, akan merasa bahwa dirinya tidak lagi dihargai sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

“Bapak ini wakil rakyat, wakil kami. Jangan sampai mengatasnamakan rakyat dan bangsa tapi nantinya membuat kami merasa seakan tidak lagi menjadi bagian dari bangsa ini,” tegasnya.

“Tolong agar kami bisa merasa aman di negara kami sendiri, di bangsa kami sendiri,” pintanya.

Ketika Pedanda Sebali mengakhiri paparannya, secara serentak para anggota Pansus serta lusinan wartawan peliput memberikan sambutan tepuk tangan yang menggemuruh.

Usai bertemu Pansus RUU APP DPR RI, delegasi Bali bergegas menuju lantai 5 gedung Nusantara I untuk menemui para anggota Fraksi PDI Perjuangan. Di sana mereka telah ditunggu oleh sejumlah anggota Pansus RUU APP serta anggota dewan yang berasal dari PDI Perjuangan, termasuk Dewi Djaksa, Eva K Sundari , Nadrah Izahari, Jacobus Mayong Padang serta Agung Sasongko.

Seorang anggota delegasi, Cok Sawitri memisahkan diri karena ingin menemui anggota DPR dari fraksi PKB, Nursjahbani Katjasungkana untuk melakukan lobi dengan kekuatan Islam moderat.

Pertemuan dengan fraksi PDI Perjuangan berlangsung blak-blakan. Wayan P Windia, yang sebelumnya tak mendapatkan kesempatan bicara, menggunakan pertemuan ini untuk menceramahi para politisi PDI Perjuangan tentang konsep porno menurut hukum adat Bali.


Dalam pertemuan ini pula, ahli hukum berkumis lebat ini untuk pertama kalinya makan nasi sesudah dipaksa berpuasa semenjak pagi gara-gara kacaunya jadwal pesawat delegasi.


“Kalau tidak makan nasi rasanya perut saya ini terus menerus melakukan protes, bisa-bisa jadi kasus,” ujarnya.

Fraksi PDI Perjuangan secara terbuka menyatakan bahwa mereka menolak RUU APP. Sayangnya, realitas politik di DPR RI menunjukkan bahwa PDI Perjuangan akan kalah jika pendukung RUU APP memaksakan voting.

“Mereka bahkan sudah beberapa kali menyatakan keinginannya untuk voting,” ujar Agung Sasongko.

Untuk menggagalkan RUU APP, menurut Eva K Sundari, Fraksi PDI Perjuangan harus berhasil meyakinkan DPR RI bahwa penolakan yang terjadi di daerah-daerah memang mendapat dukungan besar dari masyarakat.

“Untuk itu, tolong masyarakat Bali menggalang penolakan ini dengan cara mengirimkan sebanyak mungkin surat pernyataan penolakan kepada kami. Kalau bisa, satu organisasi mengirimkan satu surat pernyataan,” ujarnya.

Rencananya, anggota pansus RUU APP dari PDI Perjuangan akan melakukan kunjungan ke beberapa daerah yang diperkirakan akan menolak RUU tersebut, seperti Irian Jaya, Bali dan Batam. Bali akan mendapat giliran pada 3-4 Maret mendatang.

“Saat itulah kami persilahkan masyarakat Bali, dari berbagai kalangan, untuk menyampaikan unek-uneknya tentang RUU ini. Kalau bisa, makin ramai makin bagus, biar ada gaungnya di nasional, ” kata Eva..

Meski bersedia untuk menyampaikan permintaan tersebut kepada rakyat Bali, Prof. Dr. I Made Bandem serta Pedanda Sebali mengingatkan politisi PDI Perjuangan bahwa delegasi Bali bukanlah alat politik dari partai manapun.

“Kita melakukan ini semata-mata untuk rakyat Bali, bukan untuk mendukung atau membesarkan salah satu kekuatan politik,” tandas ketua delegasi, I Gusti Ngurah Harta.

Rumusan penolakan delegasi Bali, makalah kunci Prof. Dr. I Made Bandem serta draft RUU APP serta sejumlah dokumen lainnya kini telah bisa diakses secara bebas di internet (http://jiwamerdeka.blogspot.com). Secara berkala halaman maya ini akan diupdate dengan berbagai informasi terbaru tentang perjuangan masyarakat Bali dalam menghadang RUU APP.

“Tampilannya masih sangat sederhana karena prioritas kita saat ini adalah untuk secepatnya menyebarluaskan berbagai rumusan delegasi Bali agar dapat dibaca dan dimengerti oleh masyarakat Bali,” ujar Made Marlowe.

Lulusan Edith Cowan University, Australia, ini adalah anggota delegasi yang bertanggung jawab untuk melakukan kampanye multimedia penolakan RUU APP.

“Kita juga sudah siapkan satu situs untuk meng-upload presentasi visual tentang benda-benda sakral serta warisan kesenian kita yang akan terkena pemasungan RUU APP,” ujarnya.

Marlowe mempersilahkan masyarakat Bali untuk mengunjungi posko virtual tersebut untuk men-download informasi atau pun untuk menulis pernyataan dukungan.

4 Comments:

At 11:13 PM, Anonymous Anonymous said...

Penolak RUU ini ya berarti Orang-orang porno, pelaku-pelaku porno,pelacur, sundal dan seterusnya... kalo memang anda merasa bahwa kebudayaan anda itu bukan sesuatu yang porno kenapa anda harus takut??? kalo anda khawatir apa-apa yang ada dalam darf RUU tersebut menimbulkan banyak tafsir, yaa... yang banyak menafsirkan itu kan anda sendiri, gua biasa-biasa aja tuh... kenapa mesti takut? kenapa mesti khawatir? karena gua orang suci, jadi ya kenapa engga gua dukung RUU ini, otak anda itu pada dasarnya memang sudah porno, makanya pada saat ke-porno-an itu akan diatur andalah yang paling kelabakan menghadapinya... dasar GOBLOK, TOLOL, DUNGU, OTAK lu itu isinya Cuma Tai doang... BINNNATANG!!!

 
At 5:27 AM, Anonymous Anonymous said...

Indonesia bukan negara Islam, tolong jangan dibuat menjadi negara Islam. Apakah kepentingan kaum minoritas sudah tidak ada artinya? Kalau sampai terjadi gerakan separatis kan lebih repot lagi.

 
At 6:05 AM, Anonymous Anonymous said...

Saya menolak RUU APP, tetapi itu bukan berarti saya mendukung pendistribusian pornografi secara tidak terkendali, atau eksploitasi perempuan dan anak-anak untuk tujuan seks yang justru seharusnya menjadi fokus dari RUU ini.

Saya kecewa sekali melihat Indonesia sekarang, negara yang justru dibangun atas dasar toleransi dan keanekaragaman budaya dan suku bangsa kini terpecah-pecah karena orang-orang yang merasa lebih suci dari orang lain, apakah jika segolongan orang merasa lebih bermoral dari yang lainnya, mereka merasa boleh memperlakukan manusia lain secara amoral? Yang seharusnya dilindungi di RUU ini adalah mereka yang perlu dilindungi dari kejahatan seks dan pelecehan seksual, yaitu wanita dan anak-anak, lalu kenapa tampaknya yang akan paling diberatkan oleh undang undang ini adalah mereka? ingatkah anda kepada insiden wanita-wanita kantoran yang di angkut atas tuduhan pekerja psk di Tanggerang?

seseorang tidak boleh berpikir dia seolah-olah Tuhan yang bisa mencap siapa saja kafir atau berdosa, setiap manusia ada dosa, lihat ke diri sendiri dulu sebelum menuding jari,

dan untuk si "anonymous" di atas, yang post pada pukul 11:13 PM (biar tidak salah orang) pertama tama mau saya katakan, jika anda mau mengata-ngatai orang, jangan sembunyi di belakang nama samaran, itu mencerminkan kepribadian yang pengecut, kedua, orang-orang Bali bukannya porno, tetapi tidak menganggap menunjukan kulit kita sesuatu yang bisa langsung menimbulkan nafsu, karena hal itu sebenarnya biasa-biasa saja bagi kita, mungkin lelaki Bali tidak mudah terangsang hanya karena melihat bahu perempuan atau tarian ngebor Inoel Daratista.

lagipula, saat anda mengatakan bahwa para penolak RUU APP adalah orang2 porno, pelaku2 porno, Sundal dan seterusnya, bukankan itu malah mencerminkan betapa sempit dan minimnya pemikiran anda? Bagaimana jika Ibu, atau Istri anda yang terjerat dengan sweeping pelacur karena harus pulang malam untuk satu alasan dan lainnya? kenapa anda kurang peka? anda manusia bukan? jika anda orang suci, kenapa yang keluar dari mulut anda tidak mencerminkan?

atau jangan2 anda bercanda saat menulis komentar diatas? saya tidak tahu, tetapi yang anda tulis di atas sana sangat salah.

Indonesia bisa saja maju, tetapi tidak dengan RUU ini, dan tidak dengan orang-orang yang berpikiran begitu agamis dan ekstrim dan tidak terpelajar seperti orang yang tidak berani meninggalkan namanya itu.

Saya orang Bali, saya tinggal di Jakarta, saya punya banyak sahabat-sahabat yang datang dari latar belakang sosial budaya dan agama yang berbeda-beda, dan diantaranya adalah orang-orang yang taat beragama (bukan ekstrimis), dan merekapun menolak RUU ini.

kenapa kita semua ngga bisa akur saja? kita tinggal di satu negara kan? kenapa kita harus selalu menanamkan paham2 yang selalu memisahkan orang-orang? aku tidak merasa salah jika mengucapkan selamat Idul Fitri ke sahabat saya, dan dia tidak merasa salah untuk mengucapkan selamat hari raya Galungan ke saya juga, kenapa? ada apa dengan kalian?

Indonesia tidak perlu RUU APP, kita sudah cukup terpecah belah sekarang.

yang perlu dilakukan adalah memajukan pendidikan dan toleransi diantara mereka yang sangat membutuhkannya.

mari kita berdoa untuk Indonesia...

terima kasih.

 
At 4:18 AM, Anonymous Anonymous said...

Negara kita sudah banyak masalah. Singkat kata saya hanya ingin mengatakan kalau marilah kita jujr pada diri kita sendiri.
Bukan berarti saya porna. tapi itulah realita. Kita selesaikan masalah dengan duduk bersama, memikirkannya dengan kepala dingin, jangan dengan memaksakan kehendak, apalagi ngotot.
Saya menolak RUU APP karena ini BUKAN NEGARA ISLAM. Indonesia adalah negara hukum, bukan negara Islam.
Kalau RUU APP diresmikan kita sebagai rakyat memang cuma bisa menurut, tidak usah lah yang namanya demo atau ngotot. Terimalah apa adanya, karena pemerintah selalu berusaha mencoba untuk melakukan yang terbaik untuk kita.
Apabila RUU APP disahkan, saya rasa rakyat akan berontak baik scara lanbgsung atau tidak langsung.
Banyak rakyat yang akan susah. Contoh Bali ddan Papua. RUU APP sah mereka MENDERITA.Usaha mereka mati.
Saya harap pemerintah membaca comment saya dan mempertimbangkannya

 

Post a Comment

<< Home